قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا
تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا
إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah, duhai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas
terhadap diri mereka sendiri. Janganlah berputus asa dari rahmat Allah.
Sungguh, Allah mengampuni seluruh dosa. Sungguh, Dialah Sang Maha Pengampun
serta Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar:
53)
Materi artikel ini saya tulis dan siapkan
sebelum mengisi kajian yang dihadiri jamaah seusia orang tua, bahkan
kakek-nenek saya. Tentu sebagian dari mereka semenjak muda ada yang sudah aktif
dan menjadi pengurus masjid. Namun sebagian lainnya tak
jarang yang baru meneguk manisnya iman pasca pensiun kerja atau di usia senja.
Mereka yang beberapa tahun terakhir mulai
senang shalat berjamaah di masjid, menghadiri majelis taklim, belajar baca
Al-Quran di umur yang tak lagi muda, perlu diapresiasi dan disambut dengan
hangat dan penuh rahmat (kasih sayang).
Saya sangat tidak setuju dengan kalimat yang
cukup sering dilontarkan sebagian orang, “Pensiun atau tua baru ke masjid. Dulu saat muda ke mana saja?” Kalimat
itu tidak patut diucapkan oleh siapapun, termasuk seorang ustadz atau pengurus
masjid. Sebab Allah Sang Pemilik masjid sangat menyayangi
hamba-hamba-Nya yang ingin kembali ke pangkuan-Nya.
Ayat yang dikutip di atas salah satu bukti
kasih sayang Allah swt. yang begitu luas kepada hamba-hamba-Nya yang telah
menjauhi perintah-Nya dan mengakrabi larangan-Nya. Panggilan Allah yang menggunakan
redaksi, “Duhai hamba-hamba-Ku yang telah melampaui batas” seakan menunjukkan
kecintaan Allah kepada seluruh hamba-Nya meskipun hamba itu memiliki dosa
sebanyak buih di lautan.
Sang Maha Pengasih dan Penyayang tidak memakai
diksi “Wahai orang-orang yang telah melampaui batas” saat mengajak kembali
hamba-Nya yang berlumuran dosa itu ke dekapan-Nya. Allah masih menganggap mereka sebagai hamba-Nya dengan
menyandarkan kepada diri-Nya “Duhai hamba-hamba-Ku”. Redaksi ini mengisyaratkan
kepada kita semua, dosa apapun yang telah kita lakukan, sungguh Allah sangat
menginginkan kita kembali kepada-Nya.
Ulama besar yang terkenal dengan nama Ibnu Katsir mengutip
sebuah hadits dari
kitab Al-Musnad milik Ahmad bin Hanbal. Suatu ketika Rasulullah saw. didatangi orang tua yang sudah dimakan usia.
Ia menopang tubuhnya dengan tongkat ke setiap tempat yang dituju. Lelaki
beruban itu berkata, “Wahai Rasulullah, dosa dan kejahatan yang telah kuperbuat
sangat banyak dan tak terhitung. Apakah aku akan diampuni Allah?
Rasulullah saw. menjawab, “Ya, bukankah kamu mengakui tiada tuhan selain
Allah?”
“Tentu, dan aku meyakini engkau utusan Allah.”
“Seluruh dosa dan kesalahanmu diampuni,” tutup
Rasulullah dialog singkat itu.
Setelah menukil percakapan Rasulullah bersama
bapak tua renta di atas, penulis Tafsir Al-Quran Al-Adzim atau yang
lebih dikenal dengan Tasir Ibnu Katsir itu menegaskan bahwa, Allah swt.
mengampuni seluruh dosa hamba-hamba-Nya selama mereka mau bertobat dan tidak putus
asa akan kasih sayang Allah. Meskipun dosa mereka lebih besar dan tinggi melebihi
gunung terbesar dan tertinggi di bumi ini. Sebab pintu tobat dan kasih sayang Allah tidak pernah
tertutup bagi siapapun. (Tasir Al-Quran Al-Adzim, vol. 7, hal. 106-107)
Arti dari Allah menerima tobat yaitu menghapus
dan melupakan seluruh kesalahan yang telah disesali oleh hamba-hamba-Nya,
وَهُوَ الَّذِي
يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا
تَفْعَلُونَ
“Dialah (Allah) yang menerima tobat
hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan hamba-Nya. Dia mengetahui apa
yang kalian lakukan.” (QS. As-Syura: 25)
Mengomentari ayat tersebut, pakar tafsir
ternama, Al-Baghawi menulis dalam master peace-nya, seluruh kesalahan
dan dosa seorang hamba yang bertobat tidak akan diperhitungkan Allah karena
begitu senangnya Allah menerima tobat hamba-Nya.
Ia juga mengutip sebuah hadits yang
menjelaskan bahwa, Allah sangat senang melihat hamba-Nya yang menyesali kesalahannya
dan bertobat, bahkan rasa senang Allah itu melebihi senangnya orang yang telah
kehilangan hewan tunggangannya, lalu hewan tersebut tiba-tiba datang dengan
sendirinya. Sangking senangnya, orang itu mengatakan, “Duhai Allah, Engkaulah
hambaku dan aku tuhan-Mu.” (Ma’alimut Tanzil fi Tasiril Quran, vol. 4, hal.
146)
Rasulullah saw. juga kembali mempertegas luasnya
kasih sayang Allah dengan sabdanya, “Sebelum Allah menciptakan apapun, Dia
terlebih dahulu menulis kalimat, “Sungguh kasih sayang-Ku melampaui amarah-Ku”
di atas arasy.” (Sahih Al-Bukhari, vol. 9, hal. 160)
Kasih
sayang Allah kepada hamba-Nya tidak bisa dibatasi oleh apapun dan siapapun.
Sangat tidak patut rasanya, jika ada seorang muslim yang tidak percaya akan
luasnya rahmat dan ampunan Allah.
Abdullah
bin Mas’ud ra. pernah bercerita tentang kasih sayang Allah yang tidak bertepi.
Sahabat Nabi yang terkenal dengan hafalan Al-Qurannya itu berkisah, ada ahli
maksiat menginjak leher ahli ibadah yang sedang bersujud. Lalu orang yang
terkenal dengan shalat malam itu berkata kepada si penginjak, “Demi Allah, kamu
tidak akan diampuni Allah selamanya.” Ternyata Allah marah kepada ahli ibadah
itu dan mengampuni dosa ahli maksiat tersebut. (Mu’jam Al-Kabir, vol. 9,
hal. 158)
Kisah
singkat Abdullah bin Mas’ud tersebut menunjukkan betapa luas samudra ampunan
Allah kepada hamba-Nya. Allah tidak berkenan apabila ada yang merasa berhak mewakili-Nya dan menyatakan seakan-akan
ampunan dan kasih sayang-Nya selebar telapak
tangan manusia.
Menutup artikel singkat ini, saya kutipkan
kisah yang sangat menarik terkait pembahasan di atas. Rasulullah saw. pernah bercerita di tengah para
Sahabatnya. Dahulu ada seorang lelaki yang membunuh sembilan puluh
sembilan orang. Kemudian ia mencari orang yang paling tahu
agama di zamannya untuk menanyakan, apakah ia boleh bertobat dan dosanya akan diampuni?
Lalu ia
mendatangi seorang pendeta dan mendapatkan jawaban yang tidak melegakan.
Pendeta itu memastikan dosa-dosanya tak terampuni dan pintu tobat tak mungkin
terbuka untuk diri seorang pendosa sepertinya.
Lelaki
bertubuh tegap itu akhirnya menggenapkan korbannya menjadi seratus jiwa dengan
membunuh pendeta tersebut. Ia memutuskan mencari orang lagi yang bisa
memberikan solusi dari hidupnya yang kelam.
Seorang
alim dan bijaksana berhasil ia temukan. Setelah bercerita tentang hidupnya yang
telah menghabisi seratus nyawa, ia tertegun beberapa detik dan menampilkan
wajah sumringah seperti orang yang sedang kehausan di tengah padang pasir
menemukan sumber air. Ada secercah cahaya yang tampak menyinari hatinya.
Rupanya ia yakin akan menemukan kehidupan baru yang jauh lebih baik dari masa
lalunya.
“Bertobatlah,
tobatmu akan diterima Allah. Tapi, pergilah ke desa A karena di desa itu banyak
orang-orang saleh sehingga kamu bisa
menyembah Allah bersama mereka,” tutur orang alim tersebut.
Akhirnya
mantan pembunuh itu berjalan menuju desa yang dituju. Di tengah perjalanan maut
menjemputnya. Malaikat rahmat dan malaikat azab memperebutkannya.
Allah
mengutuskan malaikat lain menjadi penengah mereka berdua. “Ukurlah jarak dari
tempat kematian hamba Allah ini ke desa yang ia tuju dan desa yang ia
tinggalkan. Apabila lebih dekat dari desa yang dituju ia milik malaikat rahmat.
Namun jika sebaliknya, malaikat azab berhak membawanya,” seru malaikat penengah
itu.
Ternyata
jarak menuju desa yang dituju lebih dekat dari desa yang ditinggalkan meskipun
hanya sejengkal. Ia pun dikawal malaikat rahmat menuju pelukan Allah. (Riyadlussalihin, hal. 36)
Kisah pendosa mati di pelukan Allah di atas
mengingatkan saya kalimat indah dari Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri.
Dalam sebuah majelis ilmu, ulama yang terkenal
dengan kelembutan itu berkata, “Ada dosa yang lebih besar daripada dosa besar
itu sendiri, yaitu tidak mempercayai bahwa Allah yang Maha Pengasih dan
Penyayang mengampuni segala dosa-dosa besar.”
Semoga
kita selalu diberi kesempatan untuk bertobat dan beristigfar, serta tidak
pernah putus asa akan ampunan dan kasih
sayang Allah yang sangat luas. Amin. Wallahu
A’lam.
Referensi:
[1] Abul Fida’ Ismail bin Umar bin Katsir, Tasir
Al-Quran Al-Adzim (t.tp: Darut Taibah, 1999).
[2] Al-Husain bin Mas’ud bin Muhammad
Al-Baghowi, Ma’alimut Tanzil fi Tasiril Quran (Beirut: Dar Ihya’ Turats
Al-Arabi, 1420 H)
[3] Muhammad bin ‘Ismail Al-Bukhari, Sahih
Al-Bukhari (Kairo: Darut Tuq An-Najah, 1428 H).
[4] Abul Qasim At-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir
(Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1994).
[5] Yahya bin Syarof
An-Nawawi, Riyadlussalihin (Beirut: Arrisalah, 1998).