Berbicara
tentang cinta, artinya berbicara tentang sesuatu yang tidak akan pernah habis
untuk dibahas. Bahkan, sejak Nabi Adam ‘alaihissalam ada, sampai kelak
hari kiamat datang, pembahasan tentangnya juga tidak akan selesai. Setiap
generasi akan mempunyai bahasan menarik dan pelik tentangnya. Tidak nampak
adanya, namun sangat membekas dampaknya, tak terlihat bentuknya, namun nyata
adanya.
Islam
sebagai agama paripurna, juga ikut andil dalam membahas topik yang satu ini,
Islam juga mengatur tentang cara bercinta, dan siapa yang memang layak untuk
dicinta. Bahkan, tidak jarang kita temukan tentang jargon, “Islam sebagai agama
cinta.” Juga banyak manusia bisa menemukan jati dirinya dan bangkit akhirnya,
bahkan menemukan bakat yang selamanya terpendam dalam dirinya disebabkan cinta,
meski juga tidak sedikit, dengan cinta seseorang justru kehilangan akal sehat
dan melakukan setiap pekerjaan-pekerjaan tidak manusiawi atas nama cinta. Seperti
apakah ketentuannya? Mari baca pelan-pelan tulisan ini.
Hujjatul
Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam kitab monumentalnya, Ihya’
Ulumiddin, menjelaskan satu bab secara khusus tentang cinta (mahabbah).
Mulai dari dalil-dalil syariat Islam tentang cinta, hakikat, sebab, sampai yang
berhak mendapatkan cinta. Mari kita mulai dari pembahasan yang pertama.
Dalam
Al-Qur’an, tidak sedikit ditemukan berbagai ayat yang berbicara tentang cinta,
begitu pun dengan hadist Rasulullah, bahkan keimanan paling sempurna adalah
iman yang dilandasi dengan cinta. Tanpa cinta, keimanan hanyalah sebatas nama
belaka tanpa makna. Salah satu bukti bahwa Islam juga ikut andil dalam membahas
cinta, yaitu dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ
آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً للَّهِ
“Adapun
orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS.
Al-Baqarah: 165)
Dalam
hadist Rasulullah juga tidak kalah menarik ketika membahasnya, salah satu
hadistnya, yaitu:
يا رسول الله ما
الإيمان قال أن يكون الله ورسوله أحب إليك مما سواهما
“Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud iman?”
Rasulullah menjawab, menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain
keduanya.” (HR Ahmad)
Dengan
cinta, seseorang akan menjadi istimewa di sisi Penciptanya. Tanpa cinta, ia
tidak lebih sekadar seorang hamba yang tidak mempunyai nilai lebih di sisi
tuhannya. Imam al-Ghazali menulis kalam hikmah yang disampaikan Syekh Sari
as-Saqathi, salah satu tokoh sufi pertama di kota Baghdad, bunyi kalam
hikmahnya, yaitu:
تدعى الأمم يوم
القيامة بأنبيائها عليهم السلام فيقال يا أمة موسى ويا أمة عيسى ويا أمة محمد غير
المحبين لله تعالى فانهم ينادون يا أولياء الله هلموا إلى الله سبحانه فتكاد
قلوبهم تنخلع فرحا
“Kelak di hari kiamat, semua umat akan
dipanggil (menghadap Allah) sesuai dengan nama nabi mereka, maka dikatakan, ‘wahai
umat Nabi Musa, wahai umat Nabi Isa, wahai umat Nabi Muhammad.’ Kecuali para
pecinta, mereka akan dipanggil, ‘wahai kekasih Allah, kemarilah menghadap Allah
SWT,’ maka seketika hati mereka hampir terceraiberaikan karena bahagia (dengan
panggilan itu).”
Melihat
penjelasan di atas, tentunya cinta menjadi salah satu pokok penting dalam Islam.
Dengannya, seorang akan mempunyai nilai keimanan lebih di sisi tuhannya.
Seolah, cinta menjadi sebuah kewajiban secara tersirat yang hanya dirasakan
oleh orang-orang yang sudah mempunyai keimanan secara mantap. Bagaimana tidak,
dengan cinta, nilai ibadah dan ketaatan sesorang akan semakin sempurna,
sedangkan ketaatan merupakan salah satu cabang dari cinta itu sendiri. Tentu,
untuk bisa melakukan ketaatan secara sempurna harus melalui cinta terlebih
dahulu. Cukup sebagai bukti bahwa cinta adalah segalanya ialah adanya ayat yang
telah disebutkan di atas, bahwa orang-orang beriman akan mempunyai cinta luar
biasa kepada tuhannya. Lantas apakah yang dimaksud cinta?
Hakikat
Cinta dan Klasifikasinya
Menurut
Imam al-Ghazali, pokok penting yang perlu dipahami sebelum membahas hakikat cinta
lebih dalam adalah pengetahuan dan penemuannya. Menurutnya, cinta tidak akan
tergambar, atau minimal tidak akan ada dalam sosok seseorang jika ia tidak
mengetahui pada sosok yang ingin dicinta. Oleh karenanya, semua benda padat dan
benda mati tidak bisa dikatakan sebagai pecinta, karena keduanya tidak memiliki
indera untuk menemukan apa pun yang layak untuk dicinta.
Pengetahuan
dan penemuan menjadi sebuah pionir untuk menemukan cinta secara hakiki, tentu
nilai cinta tidak akan sama antara yang satu dengan lainnya, semua itu
tergantung seberapa besar pengetahuan dan penemuannya dalam pengembaraannya
menemukan hakikat cinta dan kepada siapa akan memberikan cinta. Maka rumusnya
menurut al-Ghazali, setiap sesuatu yang ketika menemukannya merasa nyaman dan tenang
maka ia akan dicinta (mahbub), pun setiap sesuatu ketika menemukannya
merasa tersakiti dan bingung maka ia akan dibenci (mabghud), dan setiap
sesuatu yang sama sekali tidak berdampak bahagia dan luka, tidak bisa dianggap
sebagai sesuatu yang dicinta maupun dibenci. Oleh karenanya, devinisi yang
ditawarkan al-Ghazali dalam menyikapi cinta, yaitu:
الحب عبارة عن
ميل الطبع إلى الشيء الملذ
“Cinta merupakan sebuah ungkapan dari ketertarikan
watak terhadap sesuatu yang dianggap nyaman.”
Juga
penting dipahami ialah, jika kadar cinta sesuai dengan pengetahuan dan
penemuannya, tentu akan menjadikan nilai cinta juga berbeda. Misalnya, mata
akan senang dengan cara melihat sesuatu yang indah, kuping akan senang ketika
mendengar lagu-lagu yang baik, dan irama yang tersusun nan rapi, hidung akan
senang ketika mencium bau-bau yang harum, indra perasa akan senang ketika
memakan setiap makanan yang enak dan nyaman. Begitulah rumus cinta yang disampaikan
oleh Imam al-Ghazali, beliau seolah hendak mengatakan bahwa cinta itu
universal, tidak selalu tentang materi, akan tetapi nilai cinta sesuai dengan
posisi masing-masing.
Imam
al-Ghazali, memposisikan cinta sebagai sesuatu yang pragmatis, tidak heran jika
para pecinta membahasakan cinta sebagai sesuatu yang datang tanpa diundang.
Al-Ghazali menyatakan:
ان حب القلب
للمحسن اضطرارا لا يستطاع دفعه وهو جبلة وفطرة لا سبيل إلى تغييرها
“Sesungguhnya kecintaan hati pada sesuatu
yang baik, merupakan sesuatu yang mendesak, tidak bisa ditolak. Ia merupakan
watak dan naluri yang tidak ditemukan jalan untuk merubahnya.”
Imam
al-Ghazali membagi cinta menjadi beberapa bagian, yaitu, pertama, cinta
seseorang pada dirinya, kesempurnaan dan keberadaannya. Kedua, cinta
pada setiap orang yang berbuat baik kepadanya. Ketiga, cinta pada
orang-orang yang selalu berbuat baik pada orang lain, meski kebaikan itu tidak
diperbuat untuknya. Keempat, cinta pada setiap sesuatu secara materi,
seperti kecantikan, tampan, etika baik, ucapan lemah lembut dan lainnya, baik
keduanya dinilai secara nampak atau secara bathin. Kelima, kecintaan
yang disebabkan satu frekuensi yang terjalin dalam dirinya masing-masing.
5
pembagian di atas, merupakan beberapa sebab cinta yang menurut al-Ghazali kerap
kali terjadi pada diri manusia, tentu jika 5 sebab di atas bisa dimiliki oleh
seseorang, maka secara pasti akan menjadi orang yang sangat dicinta. Contohnya,
jika seorang mempunyai anak dengan wajah tampan/cantik, baik etikanya, sempurna
ilmunya, baik perangainya, berbuat baik pada orang lain, dan berlaku baik pada
kedua orang tuanya, sudah tentu ia akan menjadi anak yang sangat dicinta oleh
kedua orang tuanya.
Yang
Berhak Untuk Dicinta
Sebagaimana
di sebutkan pada ayat dan hadist di atas, bahwa pokok penting dalam Islam di
antaranya adalah cinta, dengan cinta seseorang akan lebih semangat dan ikhlas untuk
melakukan setiap sesuatu yang disenangi oleh yang dicinta. Dengannya pula, ia
tidak lagi bertanya mengapa dan kenapa, karena semuanya dilakukan atas dasar
cinta yang sudah melebihi segalanya. Oleh karenanya, seharusnya cinta diberikan
pada yang memang berhak mendapatkan cinta dan layak untuk dicinta. Siapakah
dia? Mari baca penjelasan selanjutnya.Menurut Imam al-Ghazali, yang berhak
untuk dicinta tidak ada kecuali Allah SWT. Jika ada seorang hamba meletakkan
cintanya pada selain Allah, menunjukkan bahwa semua itu disebabkan kebodohan
dan sempitnya pengetahuan pada Allah SWT. Jika ia benar-benar mengetahui
sifat-sifat Allah, tentu ia tidak akan memperdulikan manusia, dan fokus pada
Dzat Yang Mahakuasa.
Mencintai
Allah SWT, artinya juga harus mencintai Rasulullah Saw, ulama, orang-orang
taqwa, dan para kekasih Allah. Kenapa demikian? Analoginya menurut al-Ghazali
begini,
لأن محبوب
المحبوب محبوب ورسول المحبوب محبوب ومحب المحبوب محبوب
“Karena mencintai yang dicintai kekasih
merupakan bagian dari mencintai kekasih, utusan kekasih berarti dicintai,
mencintai yang dicintai berarti mencintai kekasih (Allah).”
Melihat
analogi di atas, akan kita temukan bahwa tidak ada kekasih pada hakikatnya
kecuali Allah bunga, serta tidak ada yang berhak untuk dicinta selain-Nya,
serta yang paling layak dan paling sempurna memenuhi 5 kriteria di atas
hanyalah Allah semata, bukan yang lainnya, selain Allah mungkin hanya memiliki
salah satunya, sedangkan Allah mempunyai keseluruhannya. Tentu, jika masih
memberikan cinta pada selain Allah, disebabkan dangkalnya pengetahuan
kepada-Nya.