Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

KH. Afifuddin Muhajir: antara ibadah dan kebiasaan (muamalah)

Avatar photo
33
×

KH. Afifuddin Muhajir: antara ibadah dan kebiasaan (muamalah)

Share this article

Dalam ibadah, dibutuhkan dalil yang memerintahkannya. Ibadah tidak boleh berbasis pada inovasi dan kreativitas. Sedangkan dalam kebiasaan atau muamalah, tidak dibutuhkan dalil yang memerintahkannya, tetapi berbasis inovasi dan kreativitas. Sepanjang tidak ada dalil yang melarang maka diperbolehkan.

Hal ini sesuai dengan kaidah fikih:

الأصل في العبادة التحريم إلا ما دل الدليل علي اباحتها والأصل في المعاملات أو العادات الاباحة إلا ما دل الدليل على تحريمها

“Hukum dasar ibadah adalah haram kecuali ada dalil yang membolehkannya. Sedangkan hukum dasar muamalah atau kebiasaan adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Dalam konteks ini, ada dua contoh yang menarik dibahas, yaitu politik dan Islam Nusantara. Politik termasuk kategori muamalah sehingga dalam pedomannya, sepanjang tidak ada dalil yang melarang, maka diperbolehkan. Kebijakan kebijakan atau undang-undang yang dilahirkan berbasis kebutuhan dan inovasi diperbolehkan selama tidak ada dalil yang melarang.

Pertama, politik adalah produktivitas akal manusia. Maka, sepanjang tidak ada dalil yang melarang diperbolehkan. Hal ini memberikan keleluasaan praktisi politik untuk mengejawantahkan kemaslahatan publik secara luas sesuai situasi dan kondisi.

Oleh sebab itu, ketika ada seseorang yang berkata kepada Imam Ibnu Aqil al-Hanbali bahwa, tidak ada politik kecuali yang sesuai dengan syara’ (لا سياسة إلا ما وافق الشرع), maka ia berkata “Apa maksudmu?” Jika maksudnya politik tidak bertentangan dengan syara’, maka itu benar.

Hal ini berdasarkan pengalaman para sahabat yang membuat kebijakan dengan prinsip tidak bertentangan dengan syara’ demi kemaslahatan manusia. Oleh karenanya, Imam Ibnu Aqil al-Hanbali membuat definisi politik: “Setiap sistem politik yang berusaha mendekatkan diri kepada kemaslahatan dan menjauhkan diri dari kerusakan, meskipun tidak dijelaskan dalam wahyu atau tidak dijelaskan dalam Sunnah, maka politik seperti inilah politik suci yang menyucikan, bukan politik yang terkena najis atau menjadi najis.”

Kedua, Islam Nusantara. Islam Nusantara adalah nama baru, namun substansinya lama (اسم جديد لمسمي قديم). Sebelum ada istilah Islam Nusantara, praktiknya sudah dilakukan selama berabad-abad sejak Wali Songo sampai sekarang. Justru, ironisnya, yang diperdebatkan adalah namanya, bukan substansinya. Islam Nusantara berkaitan dengan tiga hal: bagaimana Islam didakwahkan di Nusantara; bagaimana Islam dipahami oleh ulama Nusantara; dan, bagaimana Islam diamalkan atau dipraktikkan kaum Muslimin Nusantara.

Dalam keyakinan umat Muslim Nusantara, syariat Islam adalah syariat agama yang mencakup tiga dimensi, akidah, syariat amaliyah, dan tasawuf. Ini adalah definisi yang universal. Dalam Islam Nusantara, tidak ada akidah Nusantara dan tasawuf Nusantara. Akidahnya sesuai dengan doktrin Ahlusssunnah wal Jama’ah ala Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi, sedangkan tasawufnya sesuai dengan ajaran Imam Junaid al-Baghdadi dan Imam al-Ghazali.

Syariat Islam dalam definisi yang terbatas hanya mencakup hukum amaly (praktisi) yang melingkupi hak-hak Allah Swt dan hak-hak manusia. Dalam aspek syariat amaliyah (fikih), dibagi dua: syariat yang sifatnya tetap permanen (ثوابت). Hal ini biasanya ditetapkan dengan nash qath’i (nash yang tidak multi-tafsir); syariat yang sifatnya bisa berubah (متغيرات) karena punya potensi berkembang sesuai situasi dan kondisi yang disebabkan tidak adanya aturan yang terang benderang. Hal ini biasanya ditetapkan oleh dalil zhanni (asumsi yang multitafsir).

Berangkat dari keterangan ini maka, Islam nusantara dapat didefinisikan sebagai berikut: pertama, sarana berdakwah (وسائل الدعوة) yang dipilih sejak Wali  Songo dan terbukti diterima oleh mayoritas bangsa Indonesia yang mengedepankan toleransi, moderasi, dan keseimbangan. Model Islam Nusantara ini dipuji banyak pengamat dari luar negeri. Mereka mengatakan:

الاسلام في اندونسيا معجزة من معجزات الاسلام

“Islam di Indonesia adalah mukjizat dari beberapa mukjizat Islam yang ada.”

Kedua, Islam Nusantara berkaitan dengan ajaran Islam yang sifatnya bisa berubah (متغيرات) yang harus menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi sosial yang melingkupinya. Contoh dari tradisi Islam Nusantara misalnya adalah: Tradisi takziyah (bela sungkawa). Tradisi takziyah di Indonesia tidak mengenal pembatasan waktu. Keluarga yang terkena musibah tidak merasa terbebani, bahkan justru senang jika banyak orang yang datang bertakziyah mengungkapkan bela sungkawa, apalagi jika jaraknya jauh dan beragam kesibukan yang Ada.

Sedangkan dalam kitab Fath al-Qarib, dijelaskan bahwa takziyahsetelah tiga hari wafatnya mayit hukumnya makruh. Sedangkan di Indonesia, takziyahtidak dibatasi waktu. Kapan saja bisa melakukan takziyahdan keluarga yang tertimpa musibah merasa senang dengan kedatangan teman dan saudara yang mengunjunginya. Jadi, ajaran takziyah termasuk ajaran yang bisa berubah, karena pijakannya dalil zhanni yang bisa dikontekstualisasikan sesuai tuntutan ruang dan waktu.

Contoh berikutnya adalah Halal bihalal. KH. A. Wahab Hasbullah merintis tradisi halal bihalal setelah perayaan Idul Fitri sebagai wahana bermaaf-maafan antar-umat Islam. Dalam fikih, memohon maaf adalah door to door, dari pintu ke pintu. Namun, KH. A. Wahab Hasbullah melihat masyarakat Indonesia mulai malas atau enggan silaturahim dari rumah ke rumah maka digagaslah halal bihalal, yang bermakna bermaaf-maafan secara kolektif.

Halal bihalal juga dalam rangka membangun persaudaraan dan persatuan umat dan bangsa supaya tidak mudah dipecah belah. Jadi, praktik Islam Nusantara mampu membangun akhlak dan adab masyarakat Nusantara yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang menekankan kedamaian, persaudaraan, gotong royong, kasih sayang antar sesama.

Termasuk juga contohnya adalah, arah ketika buang air kecil dan besar. Jika kita hanya berpegang hadits secara tekstual maka, justru kita diperintahkan kencing dan buang air besar menghadap ke arah timur atau barat. Nabi Muhammad Saw bersabda:

ولكن شرقوا أو غربوا

“Tetapi, menghadaplah ke timur atau barat kamu semua. (HR. Bukhari-Muslim)

Sedangkan kita di Indonesia, justru menghadap arah sebaliknya, yaitu selatan atau utara. Hal ini karena perbedaan geografis Madinah dengan Indonesia. Madinah berada di sebelah selatan Makkah sehingga supaya tidak menghadap kiblat atau membelakanginya, harus mengarah ke barat atau timur.

Sedangkan Indonesia yang berada di timur Makkah, harus mengarah ke selatan atau utara supaya tidak menghadap kiblat atau membelakanginya. Hal ini menunjukkan pentingnya memahami al-Qur’an dan hadits secara kontekstual supaya mampu mengamalkannya secara tepat sesuai situasi dan kondisi yang mengitarinya. Hal ini dalam rangka mewujudkan tegaknya Islam rahmatan lil alamin yang menjadi tujuan utama syariat Islam diturunkan di muka bumi.

Pemikiran KH. Afifuddin Muhajir tersebut adalah, sebuah lompatan yang luar biasa dari tokoh pesantren yang mampu mengambil substansi dari kitab kuning, kemudian melakukan kontekstualisasi dengan situasi dan kondisi kontemporer sehingga, mampu melahirkan pemikiran yang menjadi problem solving persoalan kebangsaan. Lompatan pemikiran inilah yang selalu dibutuhkan bangsa ini supaya bergerak maju menggapai prestasi besar.

Jika bangsa ini terus terbebani masa lalu maka, kebangkitan masa depan yang dicita-citakan hanya menjadi ilusi utopis. Pemikir seperti KH. Afifuddin Muhajir ini mampu menyelesaikan problem pemahaman keagamaan dan kebangsaan sekaligus, sebagai jembatan melakukan kerja-kerja strategis bangsa dimasa depan dengan tidak terbebani masa lalu. Wallahu a’lam bisshawab.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.