Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Konsep al-wala’ wa al-bara’: bibit radikalisme agama salafi kontemporer

Avatar photo
40
×

Konsep al-wala’ wa al-bara’: bibit radikalisme agama salafi kontemporer

Share this article

Genealogi Salafi dan Salafism

Salafism (paham salaf) dan salafi (orang yang menganut paham salaf) bermuara dari istilah al-salaf al-ṣālih yang merujuk pada generasi sahabat, tābi’īn dan tābi’u al-tābi’īn. Generasi sahabat diperkirakan berakhir sekitar tahun 690 Masehi, generasi tābi’īn pada tahun 750 Masehi dan generasi tābi’u al-tābi’īn pada tahun 810 Masehi.

Istilah al-salāf al-ṣālih mengacu kepada tiga generasi tersebut karena mereka dianggap sebagai generasi yang paling dekat dengan masa Rasulullah saw., sehingga akidah dan pengetahuan keislaman yang mereka aplikasikan merupakan yang paling murni dan otentik. Pendapat ini dikemukakan oleh Roel Meijer dalam kata pengantar buku Global Salafism: Islamic’s New Religious Movement.

Sementara itu, Bernard Haykel menganggap istilah salafism mengacu kepada kelompok ahl al-ḥadīts di era daulah Abbasiyah. Pernyataan ini berdasarkan fakta bahwa di zaman itu, kelompok ahli hadits sangat gigih memperjuangkan kemurnian Islam dari pengetahuan yang keruh dari luar Islam dengan sarana hadits Nabi sebagai benteng.

Seruan terhadap pengkajian Islam dari sumber utama Al-Qur’an dan hadits, penolakan taqlid, dan semangat untuk berijtihad menunjukkan kemiripan sikap antara kelompok ahli hadits di masa itu dengan kelompok salafi dalam usaha menjaga kemurnian Islam. Karena sikap beragama yang demikian, kelompok salafi juga dikenal sebagai kumpulan orang-orang yang literalis dan skripturalis dalam memahami Islam.

Terlepas dari asal-usul munculnya kelompok salafi dengan gerakan-gerakan menjaga kemurnian Islam, kesimpulannya kelompok salafi adalah orang yang menganggap menjaga kemurnian Islam harus dilakukan dengan menggunakan produk dan properti intelektual dari umat Islam saja dan melakukan penolakan terhadap properti intelektual non-Islam.

Secara garis besar mereka enggan menerima ilmu dan peradaban dari orang non-Islam seperti filsafat, teori-teori sosial dan humaniora dari Barat. Sekalipun pada perkembangannya kelompok salafi juga terpecah menjadi banyak aliran dengan sedikit perbedaan, namun sikap mereka dalam beragama dapat dikatakan tetap sama. Pemikiran mereka berakar dari tokoh-tokoh seperti Ahmad ibn Hanbal, Ibn Taimiyah, Muhammad ibn Abd al-Wahhab, al-Syaukani dan al-Dihlawi.

Konsep al-Walā’ wa al-Barā’ sebagai Ideologi

Salah satu konsep yang diaplikasikan kelompok salafi atau wahabi sebagai prinsip keagamaan mereka adalah al-walā’ wa al-barā’. Konsep al-walā’ wa al-barā’ dapat diartikan sebagai loyalitas dan pengingkaran. Konsep ini dipahami kelompok salafi dengan pemahaman bahwa semua orang Islam harus taat dan loyal kepada Tuhan, Islam dan orang Islam yang lain.

Pemahaman ini berlanjut dengan menganggap segala sesuatu selain apa yang telah disebutkan di atas harus diingkari dan diabaikan. Kelompok salafi menjadikan konsep ini sebagai salah satu benteng dalam menjaga kemurnian Islam. Namun konsep ini juga menjadikan kelompok salafi memandang dunia hanya dalam dua sisi, yaitu sisi baik dan sisi jahat. Dari sini dapat dilihat bahwa konsep al-walā’ wa al-barā’ tak terelakkan menjadi salah satu konsep yang menjadi basis radikalisme beragama.

Jika dilihat secara historis, konsep al-walā’ wa al-barā’secara substantif telah ada sejak masa pra-Islam dengan istilah khala’ dan khali’. Istilah ini secara aplikatif menunjukkan sikap bangsa Arab pra-Islam dalam menjaga dan melindungi eksistensi sebuah suku. Setelah Islam datang, konsep al-walā’ wa al-barā’ pertama kali digunakan oleh kelompok khawārij sebagai respon terhadap kontestasi politik antara Ali ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah di peristiwa taḥkīm.

Konsep ini juga digunakan oleh kelompok shī’ah dengan dalih bahwa mereka walā’ terhadap imam-imam shī’ah dan balā’ terhadap tiga khalifah sebelum Ali. Namun kelompok sunni menentang konsep ini sebagaimana yang dilakukan oleh Ahmad ibn Hanbal.

Konsep ini digaungkan kembali oleh Ibn Taimiyah dengan berlandaskan Al-Qur’an surah Al-Mā’idah ayat 51. Ia melihat bahwa Yahudi dan Nasrani di masa itu mulai menunjukkan ancaman dan bahaya yang lebih besar. Oleh karenanya penerapan dari surah Al-Mā’idah ayat 51 perlu digencarkan kembali dengan mengusung kembali konsep al-walā’ wa al-barā’.

Ibn Taimiyah juga menggunakan konsep ini untuk melawan bid’ah dan menjaga kemurnian Islam. Konsep ini dikembangkan lebih jauh oleh Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan Sulaiman ibn Abdallah sebagai konsep yang tidak hanya melawan bid’ah, namun lebih jauh melawan kekufuran.

Konsep ini tidak dapat dipisahkan dari agama Islam sebagai representasi ketaatan kepada Allah. Ideologi inilah yang menjadi prinsip dan dasar pemikiran kelompok salafi kontemporer hingga saat ini

Inkonsistensi Penerapan al-Walā’ wa al-Barā’

Kelompok salafi berupaya untuk memegang teguh konsep al-walā’ wa al-barā’ dalam menjaga kemurnian Islam. Namun faktanya di beberapa situasi, dapat dilihat adanya inkonsistensi dalam aplikasinya.

Sebagai contoh, Abdullah ibn Baz, yang merupakan salah satu ulama rujukan kelompok salafi kontemporer sekaligus mufti Arab Saudi di masanya, dengan tegas menyatakan bahwa umat muslim harus memusuhi orang-orang Yahudi. Pernyatan ini berdasarkan anggapan bahwa kaum Yahudi adalah kaum musyrik terbesar dalam permusuhan terhadap umat Islam, dan juga terkait agresi Yahudi terhadap bangsa Arab.

Sementara itu, ia tidak berkomentar atau melakukan larangan apapun terkait rekonsiliasi dengan Israel sebagai bentuk walā’ non-Islami. Argument yang dikemukakan oleh Ibn Baz adalah tidak perlu terbentuknya persahabatan dan loyalitas dengan negara Yahudi dalam hal keamanan kerjasama, perdagangan dan pertukaran duta.

Selain contoh di atas, memang terjadi banyak silang pendapat antara para ulama tentang implementasi al-walā’ wa al-barā’. Ada yang secara ketat menerapkan barā’ dalam masyarakat namun toleran terhadap penguasa. Bahkan dalam kasus Juhaiman al-‘Utaybi, ia menggunakan konsep ini sebagai dasar percobaan untuk menggulingkan pemerintahan Arab Saudi di tahun 1979.

Pemikiran Juhaiman dipengaruhi oleh tokoh jihadis Abu Muhammad al-Maqdisi. Pengembangan al-Maqdisi terhadap konsep al-walā’ wa al-barā’ mengubah lebih jauh implementasi konsep ini menjadi sebuah keimanan dasar setiap muslim. Ia tidak segan memberikan label kāfir bagi setiap muslim yang tidak memiliki komitmen terhadap konsep al-walā’ wa al-barā’ ini.

Moderasi sebagai Solusi Beragama

Salafi atau wahabi sebagai representasi kelompok yang beragama secara radikal dipandang membahayakan bagi sebagian umat Islam. Banyak sentiment-sentimen dan isu-isu sensitif yang sifatnya negative kemudian oleh banyak pihak diidentikkan dengan agama Islam, seperti halnya problem terorisme. Hal ini disebabkan oleh tingkah dan sikap kelompok-kelompok Islam yang radikal, intoleran dan menimbulkan keresahan masyarakat luas.

Salah satu cara membentengi diri dari pemikiran-pemikiran radikal dalam beragama adalah dengan bersikap moderat atau tengah-tengah. Moderasi beragama membuat individu atau kelompok lebih cenderung mencari titik persamaan dalam sebuah problem dan membangun diskusi yang konstruktif.

Hal ini membantu meminimalisir ketegangan yang berpotensi menimbulkan konflik akibat ketidakpahaman dan ketidakberpihakan. Islam moderat membuat umat muslim memiliki kehati-hatian dalam menilai orang lain sehingga tidak segampang itu menyalahkan orang lain yang seolah berbeda dengan dirinya, padahal banyak kesamaan yang bisa ditemui jika melihat hal-hal yang prinsip dan fundamental.

Kontributor