Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Makna Tahun Baru Menurut Al-Quran dan Sunnah

Avatar photo
23
×

Makna Tahun Baru Menurut Al-Quran dan Sunnah

Share this article

اَللّٰهُ
الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ
جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ
الْعَلِيْمُ الْقَدِيْرُ

“Allahlah yang menciptakan
kalian mulai dari kondisi lemah, kemudian Allah menjadikan kalian kuat, setelah
itu Ia mengembalikan kalian menjadi lemah dan beruban. Allah menciptakan apa
yang dia kehendaki. Dialah yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa.”
(QS.
Ar-Rum: 54)

Banyak orang yang meluapkan kegembiraan
dengan euforia setiap pergantian tahun. Mereka melakukan perbuatan sia-sia yang
tidak sepantasnya dilakukan oleh seorang muslim. Membuang waktu dengan hal-hal
di luar ajaran agama sebagai bentuk kebahagiaan karena telah bertambah tahun
berarti akan bertambah usia mereka.

Orang-orang semacam ini kurang pandai
memahami makna di balik pergantian tahun. Hasan al-Bashri pernah mengucapkan sebuah
petuah yang sangat penting untuk direnungkan setiap dari kita. Tabiin senior itu
mengungkapkan,

‌يَا
‌ابْنَ ‌آدَمَ، ‌إِنَّمَا ‌أَنْتَ ‌أَيَّامٌ، فَإذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ

“Wahai
manusia, engkau hanyalah hari-hari. Jika satu hari telah berlalu, berarti
Sebagian (usia) dirimu berkurang.” [1]

Kata-kata
indah, singkat, dan padat itu menyadarkan kita, bahwa sebenarnya di balik
bertambahnya umur kita setiap hari, berkurang pula jatah hidup kita di dunia
ini. Semakin banyak hari yang kita lalui, berarti semakin dekat ajal menanti.

Kalimat
Mutiara ulama asal Bashrah di atas seharusnya menjadi refleksi setiap manusia
dalam memaknai setiap tahun baru. Misalkan, Allah memberi hidup kita sampai
tahun 1445 H/2023, saat ini kita menyambut tahun baru 1443 H dan berada di
tahun 2021, itu artinya jatah hidup kita tersisa dua tahun lagi.

Oleh sebab
itu, sebaiknya momentum pergantian tahun baik tahun Hijriyah atau Masehi, kita
gunakan untuk mengoreksi, mengevaluasi, dan memperbaiki diri; keburukan apa kiranya
yang sudah seharusnya kita hentikan, dan kebaikan apa yang belum kita kerjakan.
Apabila kita bersikap seperti itu, maka kita termasuk orang-orang cerdas yang
dipuji Nabi Muhammad
dalam sabdanya:

الْكَيِّسُ ‌مَنْ ‌دَانَ ‌نَفْسَهُ، وَعَمِلَ لِمَا
بَعْدَ الْمَوْتِ، وَالْعَاجِزُ، مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا، ثُمَّ تَمَنَّى
عَلَى اللَّهِ

“Orang yang cerdas adalah yang mengevaluasi dirinya dan
mempersiapkan bekal kematian, sedangkan orang bodoh yaitu yang menuruti hawa
nafsu dan berangan-angan kepada Allah (ia akan diberi kebahagian di akhirat).”
(HR. Ibnu Majah
dari Syadad bin Auf r.a)
[2]

Umar bin Khattab juga menyatakan sebait kalimat yang mendukung hadis
tersebut dengan ucapannya yang sangat fenomenal;

‌حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا

“Koreksilah diri kalian sebelum (kebaikan dan keburukan) kalian
diperhitungkan (di hadapan Allah).” [3]

Hadis Nabi
dan ucapan Umar bin Khattab di atas, mari kita aplikasikan dalam memahami Surat
Ar-Rum ayat 54 dan merenungkannya dalam perjalanan hidup kita.

اَللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ
ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِنْۢ بَعْدِ
قُوَّةٍ ضَعْفًا وَّشَيْبَةً ۗ يَخْلُقُ مَا يَشَاۤءُۚ وَهُوَ الْعَلِيْمُ
الْقَدِيْرُ

“Allahlah yang menciptakan kalian mulai dari kondisi lemah,
kemudian Allah menjadikan kalian kuat, setelah itu Ia mengembalikan kalian
menjadi lemah dan beruban. Allah menciptakan apa yang dia kehendaki. Dialah
yang Maha Mengetahui dan Mahakuasa.”
(QS. Ar-Rum: 54)

Al-Qurtubi menafsirkan ayat tersebut
sebagai proses perjalanan kehidupan manusia di dunia. Dimulai dari kondisi yang
lemah yaitu dari masa anak-anak, lalu menjadi kuat di masa remaja atau muda,
dan kondisi manusia kembali melemah di usia tua/senja.[4]

Perlu dicatat apa yang dikemukakan ayat di
atas adalah uraian tentang tahapan hidup manusia secara umum, karena ada di
antara manusia yang meninggal dunia di usia muda, bahkan anak-anak. Jika
tahapan hidup ini dilalui oleh manusia, pasti ia akan kembali ke kondisi lemah.
Semakin tua, fisiknya melemah. Itulah ketetapan Allah SWT yang Maha Mengetahui
dan Maha Kuasa terhadap apapun yang Ia ciptakan, demikian yang ditulis pakar
tafsir Indonesia, Quraish Shihab dalam karyanya Tafsir Al-Misbah.[5]

Penjelasan
dua ulama ahli tafsir terhadap ayat tersebut mengajak kita untuk merenungkan
perjalanan hidup kita, sudah di tahap mana kita saat ini. Apakah kita sekarang
di tahapan dha’fin pertama (anak-anak) atau quwwah (remaja dan
muda), bahkan jangan-jangan sudah berada di ujung tahapan,  dha’fan wa syaibah (tua dan beruban). Semakin
tahun berganti, semakin usia bertambah, semakin ringkih dan lemah fisik kita.
Tentunya semakin dekat kita pada gerbang kematian.

Mungkin sebagian
kita justru menganggap remeh proses tahapan hidupnya karena masih muda. Perlu
kita ingat, bahwa kematian tidak memandang usia dan kondisi manusia, hanya saja
memang pada umumnya manusia meninggal dunia di usia tua.

Berbicara
tentang proses kehidupan manusia, saya teringat satu buku yang saya beli
beberapa tahun yang lalu. Judul buku itu Yang Muda Bercinta, Yang Tua
Bertobat
ditulis oleh Mugeni.

Penulis
kelahiran kota Pangkalan Bun itu menguraikan, fenomena umum yang kita ketahui
dalam kehidupan manusia seperti judul buku itu. Di saat muda berfoya-foya, kemudian
ketika tua bertobat. Anak-anak muda diidentikkan dengan dunia “pemberontakan”,
tidak mau diatur, asyik bercinta dengan dunianya sendiri. Sementara orang tua,
pada umumnya, akrab dengan ketaatan beribadah dan bertobat.

Kenyataan
seperti itu ternyata ia tolak setelah melihat pemandangan yang sangat
menggugah. Suatu saat Mugeni melihat anak-anak muda melaksanakan shalat Dhuha
di mushalla ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta. Ia mengungkapkan
kecemburuannya karena di usianya yang sudah tua, ia justru kalah dengan
anak-anak muda yang ia temui di bandara terbesar se-Indonesia itu. [6]

Pengalaman
yang dikisahkan mantan Bupati Barito Selatan, Kalimantan Tengah itu memberikan
kita ilmu, bahwa tidak harus menunggu tahapan dha’fan wa syaibah (tua
dan beruban), kita mengevaluasi dan memperbaiki diri kita, justru di usia muda
saat fisik kita masih kuat dan sempurna adalah kesempatan yang sangat tepat
untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Momentum
pergantian tahun, baik hijriyah maupun masehi, seharusnya kita gunakan sebagai
cermin mengintropeksi diri kita masing-masing, sudah di tahap mana perjalanan
hidup kita dan apa saja yang seharusnya kita tinggalkan dari kebiasaan buruk,
dan kebaikan apa yang harus mulai kita lakukan di tahun baru ini. Jangan
menjadi manusia yang sibuk menguliti aib orang lain, namun tidak pernah mencium
bau busuk pada dirinya sendiri.

Semoga
bergantinya tahun ini berganti pula perbuatan kita, dari yang buruk menjadi
baik, dari yang belum (dilakukan) menjadi sudah (dikerjakan), dari yang
jarang-jarang menjadi rutin dan rajin. Selamat tahun baru 1443 H, jangan lupa membaca
doa akhir tahun dan awal tahun seperti yang telah diajarkan oleh para ulama. Wallahu
A’lam.

Doa Akhir Tahun [7]

(dibaca 3 kali setelah Ashar hari terakhir Zulhijah/Senin 9,
Agustus 2021)

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ. ٱلۡحَمۡدُ
لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ.

وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا
وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ ، اللَّهُمَّ مَا
عَمِلْتُ فِيْ هَذِهِ السَّنَةِ مِمَّا نَهَيْتَنِيْ عَنْهُ فَلَمْ أَتُبْ مِنْهُ
وَلَمْ تَرْضَهُ وَلَمْ تَنْسَهُ وَحَلُمْتَ عَلَيَّ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى
عُقُوْبَتِيْ وَدَعَوْتَنِيْ إِلَى التَّوْبَةِ مِنْهُ بَعْدَ جُرْأَتِيْ عَلَى
مَعْصِيَّتِكَ ، فَإِنِّيْ أَسْتَغْفِرُكَ فَاغْفِرْ لِيْ . وَمَا عَمِلْتُ
فِيْهَا مِمَّا تَرْضَاهُ وَوَعَدْتَنِيْ عَلَيْهِ الثَّوَابَ ، فَأَسْئَلُكَ
اللَّهُمَّ يَا كَرِيْمُ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ أَنْ تَتَقَبَّلَهُ
مِنِّيْ وَلاَ تَقْطَعْ رَجَائِيْ مِنْكَ يَا كَرِيْمُ. وَصَلَّى اللهُ عَلَى
سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ

“Wahai Allah apa yang telah aku lakukan sepanjang tahun ini
dari larangan-larangan-Mu, sedang aku belum bertaubat dan meminta ampunan
dari-Mu, padahal dosa-dosaku tidak pernah luput dari-Mu, namun Engkau masih
tetap bersabar kepadaku. Allah, Engkau bisa saja menyiksaku namun Engkau justru
memintaku untuk bertaubat kepada-Mu setelah pemberontakan dan keberanianku
melakukan kemaksiatan. Oleh karena itu, aku memohon ampunan-Mu dan
berilahkanlah ampunan-Mu kepadaku. Wahai Allah, apa yang telah aku lakukan dari
ketaatan-ketaatan yang Engkau Ridoi dan Engkau janjikan balasannya (pahala),
maka aku meminta kepada-Mu Sang Maha Pemurah, Pemilik Keagungan dan Kemuliaan
untuk menerima kebaikanku dan kiranya, Engkau tidak memutus harapanku
kepada-Mu, Wahai Sang Maha Pemurah.”

Doa Awal Tahun [8]

(dibaca 3 kali setelah Maghrib Malam 1 Muharram 1443 H/Senin,
9 Agustus 2021)

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ. صَلَّى
الله ُعَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ
وَسَلَّمَ، اللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَبَدِيُّ الْقَدِيْمُ اْلأَوَّلُ، وَعَلَى
فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ وَجُوْدِكَ الْمُعَوَّلِ، وَهَذَا عَامٌ جَدِيْدٌ قَدْ
أَقْبَلَ نَسْئَلُكَ الْعِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَآئِهِ
وَجُنُوْدِهِ، وَالْعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ اْلأَمَّـارَةُ بِالسُّوْءِ
وَاْلإِشْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِيْ إِلَيْكَ زُلْفَى، يَا ذَا الْجَلاَلِ وَ
اْلإِكْرَامِ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. وَصَلَّى الله ُعَلَى سَيِّدِنَا
وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِه وصحبه اجمعين

“Wahai Allah, Engkau yang Abadi, Dahulu, dan Pertama, dengan
keutamaan-Mu yang agung dan kedermawanan-Mu yang menjadi tempat bergantung.
Saat inilah tahun baru dating. Kami meminta penjagaan dari-Mu dari gangguan
setan dan bala tentaranya. Kami juga meminta pertolongan kepada-Mu untuk
melawan nafsu amarah yang selalu mengajak kepada keburukan ini. Mohon, sibukkan
kami untuk selalu mendekat kepada-Mu. Wahai Sang Pemilik Keagungan dan
Kemuliaan. Duhai yang paling mengasih-sayangi.”

 

Referensi:

[1] Abdul
Fattah Abu Ghudah, Qimatuz Zaman ‘indal Ulama (Halb: Maktabah Mathbuat
Islamiyah, 1434 H), hlm. 27.
[2] Ibnu Majah, Sunan Ibn Majah (Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
t.th), vol. 2, hlm. 1423.
[3] Al-Harist bin Asad al-Muhasiby, Riasalatul Mustarsyidin (Halb:
Maktabah Mathbuat Islamiyah, 1971), hlm. 48.
[4] Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Quran
(Kairo: Dar Rayyan lit Turas, t.th), vol. 8, hlm. 5128.
[5] Quriasy Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2016), vol.
10, hlm. 264.
[6] Mugeni, Yang Muda Bercinta, Yang Tua Bertobat (Jakarta: Bhuana Ilmu
Populer, 2017), hlm. 203-204.
[7] KH. Abdul Manan Syukur, Al-Ad’iyah al-Mustajabah (Singosari: PPQ
Nurul Huda, 1998), hlm. 50-51.
[8] KH. Muhammad Zubair Rasul, Al-Adzkar (Bangil: PP. Salafiyah 2,
t.th), hlm. 125.

 

Kontributor

  • Achmad Ainul Yaqin

    Bernama lengkap Achmad Ainul Yaqin, Lc., M.Ag. Pengasuh Ponpes Tafsir Hadis SHOHIHUDDIN 2 Prapen Surabaya | Narasumber Radio Suara Muslim Surabaya