Maulid merupakan pembacaan rentetan sejarah nabi Muhammad SAW semasa hidupnya, dimulai dari beliau terlahir ke dunia hingga akhir hayatnya. Pembacaan Maulid Nabi adalah merupakan bentuk dari rasa syukur kita akan lahirnya sosok mahluk yang paling mulia di alam semesta ini. Maulid juga memiliki peranan yang sangatlah penting, karena di dalamnya terdapat nilai-nilai yang dapat mengajarkan dan memperkenalkan sifat dan ahlak Nabi yang mulia kepada setiap umat muslim.
Kegiatan Maulid Nabi atau berkumpulnya orang banyak dalam satu tempat adalah sebagai sarana dakwah kepada Allah SWT, ini merupakan kesempatan emas yang sebaiknya tidak terlewatkan. Akan tetapi wajib hukumnya bagi para ulama untuk mengingatkan tentang akhlak, adab, perjalanan hidup, muamalah, serta amalan ibadah Nabi Muhammad SAW, serat memberikan nasihat kepada kaum muslimin dan menunjukan kepada jalan kebaikan serta kemenangan, memperingati umat akan musibah, bid’ah, kejelekan dan fitnah.
Kebid’ahan Merayakan Maulid
Apabila dikatakan bahwa Maulid Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah, maka kita katakan bahwa benar maulid adalah bid’ah. Akan tetapi bid’ah hasanah bukan sayyi’ah.
Syekh Islam Abu Fadl Ibnu Hajar pernah ditanya tentang maulid? Maka ia menjawab, “Sesungguhnya hukum maulid itu bid’ah, belum pernah diriwayatkan oleh siapapun, akan tetapi maulid mengandung banyak kebaikan dan sebaliknya. Siapa yang melaksanakannya dengan mencari kebaikan di dalamnya maka maulid itu bid’ah hasanah, dan siapa yang yang mencari kejelekan di dalamnya maka maulid itu bukan bid’ah hasanah.”
Bid’ah menurut Imam Syafi’i rahimahullah ta’ala terbagi menjadi dua: yaitu bid’ah madzmumah dan bid’ah ghairu madzmumah. Bid’ah madzmumah ialah suatu perkara yang melanggar dan bertentangan dengan kitab, sunnah, asar, dan ijma’ para ulama. Oleh karenanya, ini disebut bid’ah yang menyesatkan. Yang kedua ialah bid’ah ghairu madzmumah ialah sesuatu yang tidak melanggar dan bertentangan dengan salah satu yang telah disebutkan di atas.
Sedangkan Imam Nawawi berpendapat bahwa bid’ah ialah sesuatu yang baru dan belum ditemukan pada zaman Rasulullah SAW, dan ia membaginya menjadi 5 macam: Wajib, Haram, Mandub, Makruh, dan Mubah. Betapa banyak sesuatu yang awalnya bid’ah menjadi perkara yang wajib, seperti membukukan Al-Qur’an, ilmu-ilmu syariah dan lain sebagainya.
Baca juga: Tradisi Masyarakat Maroko Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW
Sebagian ulama mengatakan bahwa siapa saja yang mencela dan menurunkan kehormatan Rasulullah SAW, maka ia dihukumi sebagai kafir dan wajib dibunuh walaupun ketika ia berada dalam keadaan tidak berakal. Inilah yang menjadi madzhab dari Sayyidina Abu Bakar Shiddiq, Imam Abu Hanifah, Imam Ats-Tsauri, dan orang-orang Kufah lainnya. Akan tetapi yang paling masyhur ialah mazhab Imam Malik dan pengikutnya. Imam Khattabi mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat ulama mengenai masalah ini. Adapun Ibnu Sahnun Al-Maliki berpendapat bahwa ulama telah sepakat siapa saja yang mencela nabi Muhammad SAW adalah kafir dan dihukumi mati.
Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki telah menjelaskan dalam kitabnya Al-Bayan wa Ta’rif fii Dzikri Maulidi an-Nabawi as-Syarif , “Sesungguhnya perbuatan maulid atau pembacaan sejarah perjalanan hidup nabi Muhammad SAW adalah sebaik-baiknya perbuatan dan sebagai sarana dakwah yang mulia, karena di dalamnya kita akan diingatkan akan kemuliaan dari sifat dan ahlaknya dan apa saja yang terjadi pada hari di mana nabi dilahirkan, kisah hidupnya yang telah diringkas dan ditulis oleh orang-orang shaleh yang berilmu sehingga mampu menerangi cahaya bagi siapa saja yang berjalan di atas jalan yang lurus. Di dalamnya terkandung rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah, sehingga mereka akan mendapatkan kemuliaan dan keutamaan.”
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya sampai ke Madinah, beliau menemukan para orang-orang Yahudi sedang berpuasa hari Asyura, maka nabi bertanya akan alasan mengapa mereka berpuasa. Kaum Yahudi menjawab, “Karena hari ini bertepatan dengan hari di mana Allah tenggelamkannya Fir’aun dan Allah selamatkan Nabi Musa AS,“
Kemudian Nabi berkata, “Sesungguhnya aku lebih berhak akan Musa daripada kalian.“
Serentak Nabi pun memerintahkan para sahabat untuk berpuasa. Karena beliau berpendapat bahwa hal ini merupakan bentuk untuk mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada hambanya.
Berkah Dari Kegembiraan Merayakan Maulid
قد رؤي أبو لهب بعد موته في النوم ، فقيل له ما حالك ؟ فقال : في النار،إلا أنه يخفف عني كل ليلة اثنين، وأمص بين أصبعي ماء بقدر هذا- وأشار لرأس أصبعه-وأن ذلك بإعتاقي لثويبة ،عندما بشرتني بولادة النبي صلى الله عليه وسلم وبإرضاعها له.
Imam Suyuti berkata: Aku melihat Imam Qurra Hafidz Syamsuddi ibnu Al-Zajari mengatakan dalam kitabnya yang dinamakan Arfu at-Ta’rif bil Maulidi as-Syarif: Sungguh keadaan Abu Lahab telah diperlihatkan (kepada Abbas bin Abdul Muthalib) dalam mimpinya setelah ia wafat, dan dikatakan kepadanya: Bagaimanakah keadaanmu?
Ia menjawab, “Aku berada di neraka terkecuali jika hari Senin tiba, maka Allah akan meringankan adzabnya kepadaku. Aku akan meminum air yang keluar dari kedua belah jari ku (dan ia mengisyaratkan dengan ujung jarinya) dan hal itu terjadi karena aku telah memerdekakan hamba sahayaku Suwaibah disaat sampainya kabar gembira kepadaku atas kelahiran Nabi Muhammad SAW dan (Suwaibah) termasuk orang yang menyusuinya.”
Baca juga: Tradisi Masyarakat Maroko Merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW
Apabila Abu Lahab seorang kafir yang telah dijanjikan kepadanya Neraka mendapatkan balasan keringanan adzab atas rasa gembiranya akan kelahiran nabi, maka bagaimana kabar dan keadaan seorang Muslim yang semestinya harus lebih bergembira atas nikmat yang Allah berikan tersebut.
Imam Hafidz Syamsuddin Muhammad bin Nashir Ad-Dimsyaqi mengatakan, “Sungguh benar kabar yang diberitakan bahwa Abu Lahab mendapat keringanan atas adzabnya setiap hari senin karena ia telah memerdekakan hambanya yang bernama Suwaibah disebabkan rasa kegembiraannya akan kelahiran nabi Muhammad SAW.” Kemudian ia melantunkan syair:
إِذَا كَانَ هَذَا الكَافِرُ جَــــاءَ ذَمُّـــــــــــــهُ بِتَبَّتْ يَدَاهُ فِي الجَحِيْمِ مُخَلَّدَا
أَتـــــــى أَنَّهُ يَـــــــــــــــــوْمَ الإِثْنَيْنِ دَائِمـًـــــــــــا يُخَفَّفُ عَنْهُ لِلسُّرُوْرِ بِأَحْمَـــــــــــــدَ
فَمَا الظَّنُّ بِالْعَبْدِ الَّذِي كَانَ عُمْرُهُ بِأَحْمَدَ مَسْرُوْرًا وَمَاتَ مُوَحِّدَا
“Apabila (Abu Lahab) seorang kafir yang telah dihinakan dengan kedua tangannya celaka di neraka Jahim yang kekal.”
“Mampu mendapatkan keringanan adzab setiap hari senin atas rasa kegembiraannya akan kelahiran nabi Muhammad SAW.”
“Maka bagaimana keadaan seorang hamba yang berumur panjang, gembira akan hari kelahiran nabi dan mati dalam keadaan bertauhid.”
Hukum Berdiri Saat Pembacaan Maulid
Berdiri untuk menghormati para ulama adalah perbuatan yang sangat dianjurkan, karena ini merupakan suatu bentuk dalam memuliakan dan mengagungkan para ulama tersebut. Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan hal ini sejak dahulu kepada para sahabatnya ketika ia memerintahkan mereka untuk berdiri menyambut kedatangan Sa’ad bin Mu’adz. Beliau mengatakan, “Berdirilah kalian semua untuk tuan kalian (Sa’ad bin Mu’adz).“
Perbuatan tersebut menandakan bahwa berdiri untuk menghormati orang-orang sholeh yang berilmu sangatlah dianjurkan oleh Rasulullah SAW. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pertama kali yang melakukan tradisi ini ialah kaum Anshar yaitu ketika mereka menyambut kedatangan nabi Muhammad beserta para sahabat lainnya yang hijrah dari Makkah ke Madinah.
Imam Nawawi mengatakan, “Dan dianjurkan untuk berdiri ketika datang kepada kalian orang yang memiliki keutamaan dan kehormatan.”
Baca juga: Kesalahan Membid’ahkan Perayaan Maulid Nabi
Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa berdiri dalam hal ini adalah sunnah jika bertujuan untuk memuliakan mereka, bukan bermaksud untuk menjadikan mereka (orang yang dihormatinya) sombong ataupun riya. Nabi Muhammad SAW bersabda:
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَتَمَثَّلَ لّهُ الرِّجَالُ قِيَامًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ فِي النَّارِ
“Barang siapa menyukai orang-orang berdiri untuk menghormatinya (karena riya/sombong) maka ia akan di tempatkan di dalam neraka.”
Imam At-Thabari dan yang lainnya mengatakan bahwa khabar ini merupakan sebuah dalil yang melarang untuk berdiri jika dilandasi dengan niat riya atau sombong (bagi orang yang dihormatinya), dan tidak berlaku bagi mereka yang bertujuan untuk memuliakan dan menghormati orang yang memiliki keutamaan.
Adapun yang diriwayatkan bahwa para sahabat tidak berdiri ketika nabi Muhammad SAW datang kepada mereka ialah karena para sahabat mengetahui dari mimik wajah nabi yang menunjukan ketidaksukaan atas apa yang mereka lakukan, dan ini dilakukan tidak lain karena bentuk dari ketawadhuan dan kasih sayang nabi kepada umatNya.
Jika telah ditetapkan bahwa berdiri untuk memuliakan dan menghormati seseorang yang berilmu adalah perkara yang dianjurkan, maka bagaimana bisa ada suatu kelompok yang melarang untuk berdiri ketika pembacaan maulid nabi? Sedang yang kita tahu bahwa beliaulah sebaik-baiknya mahluk di muka bumi, ialah yang paling berhak untuk kita muliakan dan kita agungkan. Para ulama madzhab dan ahli sejarah Islam telah bersepakat bahwa berdiri untuk orang yang memiliki keutamaan adalah sesuatu yang sangat disukai dan dianjurkan.
Imam Ahmad Zaini Dahlan mengatakan dalam sirahnya, “Telah berjalan suatu adat di kalangan masyarakat yang mana ketika didengarkan kepada mereka kisah kelahirannya Rasulullah SAW ke dunia maka mereka akan berdiri sebagai bentuk pengagungan dan pemuliaan beliau, dan perbuatan ini sangatlah disukai karena para ulamapun telah melakukan hal yang sama.”
Perbuatan mulia ini telah dilakukan juga oleh Imam Taqiyuddin As-Subki yang ketika itu beliau sedang mengadakan perkumpulan dengan para ulama yang mashyur di zamannya, dalam pertengahan perbincangan yang mereka lakukan maka berdirilah seorang penyair yang melantunkan sebuah nasyid:
قَلِيْلٌ لِمَدْحِ المُصْطَفَى الخَطِّ بِالذَّهَبِ عَلَى وَرَقٍ مِنْ خَطِّ أَحْسَنَ مَنْ كَتَبْ
وَإِنْ تَنْهَــضِ الأَشْرَافُ عِنْدَ سَمَـــــــــــاعِــــــهِ قِيَــــامَــــا صُفُوْفًــــــا أَوْ جَثِيًّـا عَلَى الرُّكَبْ
“Alangkah sedikit yang memuji Nabi al-Mustafha dengan menorehkan namanya di atas lembaran kertas dengan tinta emas dengan sebaik-baiknya tulisan. Sedangkan orang-orang yang memiliki keutamaan ketika itu akan berdiri membentuk sebuah shaf ketika mereka mendengarkan kisahnya atau mereka akan tegap di atas tunggangannya.”
Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki dalam kitabnya Al-Bayan wa Ta’rif fii Dzikri Maulidi an-Nabawi as-Syarif mengatakan, “Telah berjalan suatu adat dan tradisi berdiri ketika diselenggarakannya pembacaan sejarah dan kisah kelahiran nabi Muhammad SAW, hal ini tidak dilakukan oleh para salaf, akan tetapi dilakukan oleh generasi mereka yaitu para ulama khalaf. Dan berdirinya kita bukanlah karena hadirnya dzat dan raga nabi Muhammad SAW sebagaimana dengan prasangka yang dilakukan oleh kaum Bariyyah, akan tetapi berdirinya kita ialah sebagai bentuk dari rasa senang dan gembira atas lahirnya nabi Muhammas SAW ke muka bumi.”
Sebagian kelompok beranggapan bahwa alasan berdirinya seorang Muslim ketika maulid ialah karena hadirnya dzat nabi Muhammad yang datang pada saat itu, dan mereka juga menyatakan bahwa disediakannya bukhur dan wewangian serta air minum adalah untukNya. Sayyid Muhammad Al-Maliki berpendapat bahwa ini termasuk pransangka buruk dan ia menyatakan siapa saja yang meyakini hal seperti ini ialah sebodoh-bodohnya manusia, dan ini merupakan mazhab kaum mulhidin (Atheis). Karena nabi SAW lebih mulia dan lebih agung dari apa yang dikatakan bahwasanya beliau keluar dengan jasadnya dari kubur untuk menghadiri suatu tempat. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa beliau hidup di alam barzakh dengan kedudukan yang tinggi, dan tidak ada yang mengetahui alam barzakh kecuali Allah SWT.
Setelah kita mengetahui bahwa ada nash yang menunjukan akan kemuliaan dan keagungan nabi Muhammad SAW, maka kita tidak bisa mengatakan bahwa berdiri ketika pembacaan maulid adalah bid’ah, dan barangsiapa yang mengingkari dan mengharamkan hal ini maka sesungguhnya ialah orang yang melakukan perbuatan bid’ah yang sesat. Apalagi jika ia mengiringinya dengan niat menjelekkan dan menghina nabi maka hukumnya adalah kafir.
Syekh Mahmud Al-Atthar Ad-Dimsyaqi pernah menghadiri suatu majlis pembacaan maulid nabi Muhammad SAW, dan di tempat tersebut ia berjumpa dengan salah satu ulama kontemporer yang meyakini bahwa berdiri di saat momen pembacaan maulid tidaklah dianjurkan. Syekh bertanya kepadanya, “Bukankah hal ini (berdiri) merupakan bentuk pengagungan kita kepada nabi?”
Ia menjawab, “Sesungguhnya pengagungan kepada nabi cukuplah dengan hati dan mengikuti sunah-sunahnya, tidak dengan cara seperti ini karena ini termasuk bid’ah.”
Setelah itu Syekh kembali berkata, “Ini bukanlah suatu problema, akan tetapi sebagai bentuk dan cara kita yang menunjukan pengagungan kita kepada nabi di hati, dan termasuk amalan syar’i yang dzahir. Sebagaimana sesorang dapat dihukumi sebagai muslim sampai ia mengucapkan syahadat dengan lisannya. Maka bagaimana kita bisa mengetahuhi apa yang ada di dalam hati jika tidak ada perkara dzahir yang menunjukan kepadanya?” Seketika ulama kontemporer itu terdiam dan menerima pernyataan yang dikatakan oleh Syekh Mahmud tersebut.
Baca juga: Berbagai Penyakit yang Ditimbulkan oleh Pujian Menurut Imam Al-Ghazali
Hukum berdiri ketika maulid bukanlah suatu kewajiban ataupun sunnah, dan juga tidak dibenarkan bagi siapa saja yang meyakini dengan hukum tersebut. Akan tetapi itu merupakan ungkapan yang dilakukan oleh khalayak atas rasa senang dan gembiranya akan kelahiran nabi Muhammad SAW. Dan ini adalah hal yang biasa, tidak menjadi permasalahan dalam ibadah, syariat ataupun sunnah.
Alasan Berdiri Ketika Mahallul Qiyam Dianjurkan
Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki menyebutkan bahwa ada beberapa aspek mengapa berdiri ketika pembacaan maulid sangatlah disukai dan dianjurkan oleh para ulama:
- Berdiri ketika maulid telah banyak dilakukan oleh khalayak dan disukai oleh para ulama timur dan barat. Apa yang disukai oleh muslimin maka di sisi Allah adalah baik dan apa yang dianggap buruk oleh muslimin maka di sisi Allah adalah buruk.
- Berdiri untuk orang yang memiliki keutamaan sangatlah disyariatkan dan telah ditetapkan oleh dalil-dalil yang banyak. Seperti contohnya ialah kitab yang disusun oleh Imam Nawawi yang diberi nama Raf’ul Malam ‘anil Qoil bi Istihsanil Qiyam.
- Nabi Muhammad pernah pernah berdiri meyambut kedatangan putrinya Sayyidatina Fatimah Az-Zahra untuk memuliakannya, dan beliau pun pernah memerintah kaum Anshar untuk berdiri menyambut tuannya. Dan semuanya itu menunjukan akan disyariatkannya berdiri. Maka bagaimana hukum berdiri untuk memuliakan nabi, bukankah ia yang paling berhak mendapatkan pengagungan tersebut.
- Dikatakan bahwa dalil yang menunjukan para sahabat berdiri menghormati Nabi itu adalah ketika Nabi hadir di antara mereka sehingga wajar saja mereka melakukan seperti itu. Maka jawabnya ialah sesungguhnya orang yang membaca kisah Maulid Nabi mampu menghadirkan seakan-akan nabi berada di hadapannya. Dan penggambaran ini amatlah terpuji dan dianjurkan bagi setiap muslim, begitu juga untuk mengikuti sunah-sunahnya.
REFERENSI:
- Al-Bayan Wa Ta’rif Fii Dzikri Maulidi An-Nabawi As-Syarif. Sayyid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki.
- Arfu At-Ta’rif bil Maulidi As-Syarif. Imam Qurra Hafidz Syamsuddin Al-Zajari.
- As-Sirah an-Nabawiyah wal Asar Muhammadiyah. Imam Sayyid Ahmad Zaini Dahlan.
- Fathul Baari Syarh Shahih Al-Bukhari. Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani.
- Ghaisus Sahabah Syarh Al-Hadiqotun Nadirah. Syekh Dr. Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Ba’atiyah.
- Haulul Ihtifal bi Dzikri al-Maulid an-Nabawi as-Syarif. Sayyid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki.
- Husnul Maqsad fi Amalil Maulid. Imam Jalaluddin Bin Abdurrahman As-Suyuti.
- Istihbabul Qiyam Inda’ Dzikri Wiladati Sallahu ‘Ailaihi Wasallam. Syekh Mahmud Al-Atthar Ad-Dimsyaqi.
- Mafahim Yajibu an Tusahhih. Sayyid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki.
- Mauridus Shadi fi Maulidil Hadi. Imam Al-Hafidz Syamsuddin Bin Nashiruddin Ad-Dimsyaqi.