Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Mazhab Syafi’i: Proses Pembangunan, Penyebaran dan Dasar-dasarnya

Avatar photo
40
×

Mazhab Syafi’i: Proses Pembangunan, Penyebaran dan Dasar-dasarnya

Share this article

Mazhab Syafi’i
merupakan mazhab yang paling populer di kalangan kaum muslimin. Bagaimana mazhab
yang dinisbatkan kepada Imam asy-Syafi’i ini terbangun dan kemudian berkembang
pesat?

Untuk pembangunan
sampai kematangan mazhab Syafi’i, prosesnya cukup panjang, melewati lima fase
berikut:

1) Fase Persiapan dan
Pembangunan Pondasi

Fase ini dimulai dari
wafatnya guru tercinta beliau, Imam Malik pada tahun 179 H, berlangsung selama 16
tahun, hingga masa tibanya Imam asy-Syafi’i di Bagdad untuk kedua kalinya pada tahun
195 H.

2) Fase Kemunculan Mazhab
Qadim

Fase ini berlaku sejak
Imam asy-Syafi’i berdiam di Bagdad (195 H) sampai kepergian beliau ke Mesir
(199 H).

3) Fase Kematangan dan
Kesempurnaan bagi Mazhab Jadid

Sejak ketibaannya di
Mesir (199 H), Sang Imam banyak mengubah pendapatnya yang dikenal dengan Qaul
Jadid. Mazhab inilah yang terus dimatangkan sampai kewafatan beliau (204 H).

4) Fase Takhrij dan
Tadzyiil

Apa yang dilakukan Imam
asy-Syafi’i selama pembangunan mazhab ketika beliau hidup, adalah meletakkan
pondasi dan dasar. Untuk dikatakan sebagai Mazhab yang telah menjawab berbagai
persoalan fikih secara parsial, sesungguhnya belumlah sempurna.

Setelah beliau wafat,
pembangunan itu terus dilanjutkan oleh murid-muridnya. Pada fase ini semangat
para Ashab dalam mengekstrak permasalahan-permasalahan parsial dari
ushul mazhab gencar dilakukan. Proses ekstrak masalah-masalah parsial dari dasar-dasar
itu disebut dengan “Takhrij” dan “Tadzyil”. Fase ini
berlangsung hingga paruh abad kelima.

Untuk diketahui, Imam asy-Syafi’i
memiliki sangat banyak murid hebat dan loyal yang tersebar di berbagai pusat
perkembangan ilmu-ilmu keislaman. Sebagai contoh:

Di Makkah, di antaranya
ada Abu Bakr Abdullah bin Zubair al-Humaidi (w. 219), mulazamah kepada Imam asy-Syafi’i
dan mengawalnya dalam rihlah ke Bagdad dan ke Mesir, Abu al-Walid Musa bin Abi
al-Jarud, Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad al-Abbasi (w. 237) dan lain-lain.

Di Bagdad: Abu Tsaur
al-Kalbi (w. 240 H), Abu Ali al-Husain bin Ali al-Karabisi (w. 245 H), Abu Ali
al-Husain bin Muhammad az-Za’farani (w. 260 H) dan masih banyak lagi.

Di Mesir, di antaranya:

1. Harmalah bin Yahya
bin Abdullah (w. 234 H).

2. Abu Ya’qub Yusuf bin
Yahya al-Qurasyi al-Buwaithi (w. 232 H).

Al-Buwaithi menjadi
khalifah setelah sang guru meninggal. “Tiada yang lebih berhak menduduki
kursiku selain Abu Ya’qub, tiada ashabku yang lebih alim daripadanya.”

3. Abu Ibrahim Ismail
bin Yahya al-Muzani (w. 264 H).

Sang Imam memujinya:
“Seandainya dia berdebat melawan setan, maka al-Muzani akan menang.”

4. Al-Rabi’ Sulaiman
bin Abdul Jabbar al-Muradi (w. 270 H).

Menjadi muadzin di
masjid besar Mesir dan menjadi khadim sang Imam.

5. Al-Rabi’ Sulaiman
bin Daud al-Jizi (w. 256). Sedikit meriwayatkan dari Imam asy-Syafi’i.

5) Fase Kelima Mazhab
Syafi’i: Fase Kematangan (al-Istiqrar)

Seiring dengan
berjalannya fase keempat di atas, banyak muncul madrasah yang berbeda dalam
internal Mazhab Syafi’i sendiri. Yang paling terkenal Mazhab Iraqi dan Mazhab
Khurasani.

Untuk menyatukan
perbedaan-perbedaan internal itulah, pada fase kelima ini, mulai dilakukan
gerakan rekonsiliasi dengan melakukan tarjih pada permasalahan yang menjadi
perdebatan para ulama mazhab. Ditandai dengan banyaknya penyusunan kitab-kitab mukhtashar
yang dikumpulkan dari yang rajih dalam mazhab. Tokoh terpenting yang melakukan
pematangan ini yang dikenal sebagai Muharrir Al-Mazhab adalah Imam ar-Rafi’i
dan Imam an-Nawawi melalui karya-karya mereka.

Penyebaran Fikih Imam Asy-Syafi’i

Tersebarnya Mazhab
Syafi’i begitu pesat ke berbagai penjuru dunia terjadi melalui tiga jalur:

1. Disebarkan oleh Imam
asy-Syafi’i sendiri melalui rihlah demi rihlahnya yang banyak.

2. Melalui
murid-muridnya dari ketiga fase di atas.

3. Melalui
kitab-kitabnya, baik yang ditulis sendiri ataupun yang didiktekan kepada
murid-muridnya.

Dengan demikian, hanya
Imam asy-Syafi’ilah yang menyebarkan sendiri mazhabnya, sekaligus menulis kitab
sendiri. Sedangkan imam-imam mazhab lainnya, muridnyalah yang menyebarkan dan
mengkodifikasikan mazhab imam mereka.

Di antara kitab penting
karya Imam asy-Syafi’i yang menjadi pondasi utama dalam istinbath:

1. Ar-Risalah: kitab
pertama yang disusun dalam ilmu Ushul Fiqh.

2. Kitab al-Hujjah:
didiktekan untuk murid-muridnya di Irak. Permasalahan-permasalahan yang
terkandung di dalamnya menjadi representasi Mazhab Qadim.

3. Al-Umm: kitab
yang sangat agung kedudukannya, amat besar manfaatnya, dan menjadi role model
dalam penyusunan fikih induk.

4. Ahkam al-Quran:
kitab yang menjadi bukti ketajaman akal Imam asy-Syafi’i dan cahaya mata
hatinya.

5. Ibthal
al-Istihsan
: sebagai balasan atas kelompok Hanafiyah yang berhujjah dengan
istihsan.

6. Kitab Jima’
al-‘Ilm
: sebagai pembelaan terhadap sunnah dan pengamalannya.

Dasar dan Landasan Mazhab
Syafi’i

Selain membangun mazhab
dari dasar-dasar yang sudah disepakati semua ulama: 1) Al-Qur’an, 2) Sunnah, 3)
Ijma’ dan 4) Qiyas. Ada beberapa landasan yang menjadi karakteristik mazhab
Syafi’i dari mazhab-mazhab yang lain:

1. Otoritas Perkataan
Sahabat dalam Kacamata Sang Imam

Terkait Aqwal Shahabah,
dirumuskan ketentuan-ketentuan berikut:

a. Apabila para sahabat
sepakat pada suatu masalah, maka terhitung sebagai hujjah.

b. Apabila mereka
berbeda pendapat, maka dibutuhkan penguat dengan dalil yang lain.

c. Apabila sahabat
memiliki pendapat seorang diri pada suatu masalah yang tidak dibahas dalam al-Quran
dan sunnah, pendapat sahabat seorang itu diutamakan daripada qiyas.

d. Apabila pendapat
sahabat pada permasalahan-permasalahan dalam ranah ijtihad, maka tidak dianggap
sebagai hujjah yang mengalahkan ijtihad para mujtahid yang lain.

2. Metode Penggunaan
Qiyas

Dalam menggunakan
qiyas, Imam asy-Syafi’i mengambil jalan tengah. Tidak ketat seketat Imam Malik
dan tidak pula terlalu longgar sebagaimana Imam Abu Hanifah. Walau demikian,
sang Imam tetap memandang urgensi qiyas yang begitu penting dalam proses
pengolahan fikih (amaliyyah fiqhiyyah). Bahkan menurutnya, qiyas searti dengan
ijtihad.

3. Memandang Asal
Sesuatu

Prinsip umum yang
digunakan Imam asy-Syafi’i dalam menyikapi hukum suatu masalah yang tidak
disebutkan dalam nash yaitu:

Al-Ashlu fi
al-manafi’ al-ibahah
(asal hukum sesuatu yang bermanfaat adalah mubah).

Wa al-ashlu fi
al-Madhar al-tahrim
(asal hukum sesuatu yang membawa bahaya adalah haram).

4. Istishab

Istishab yaitu
menetapkan suatu hukum pada masa kedua, sesuai dengan ketetapan hukumnya pada
masa pertama. Ini digunakan pada kondisi ketika seorang dalam kebingungan
antara menetapkan atau menegasikan hukum sesuatu, sedangkan tidak ada bukti
penunjuk, maka dikembalikanlah pada hukum yang dia ketahui pada masa
sebelumnya. Karena zhann terkuat adalah pada ketetapan hukum semula.

Contoh:

Kaidah mengatakan: Pada
asalnya, setiap manusia bebas dari tanggungan atau tuduhan, sehingga ada bukti
yang menunjukkan dia memiliki tanggungan kewajiban. Maka dengan istishab,
apabila seseorang dituduh memiliki tanggungan hutang, sementara tidak ada bukti
dari penuduh, maka di-istishabkanlah pada asal mulanya, yaitu dia terbebas dari
hutang.

5. Istiqra’

Yaitu dengan mengumpulkan
sampel-sampel hukum permasalahan untuk digeneralisasikan menjadi satu hukum lalu
diterapkan pada permasalahan serupa yang penetapan hukumnya terjadi polemik.

Contoh:

Polemik apakah shalat
witir itu wajib ataukah sunnah? Dengan istiqra ini, Imam asy-Syafi’I menghukumkann
witir itu sunnah dan tidaklah wajib. Sebab ada dalil yang mengatakan bahwa Nabi
SAW pernah shalat witir di atas kendaraan ketika musafir. Sedangkan berdasarkan
Istiqra Nabi SAW tidak pernah mendirikan shalat fardhu di atas kendaraan. Adapun
bahwa ada riwayat-riwayat yang secara zahir menunjukkan kewajiban shalat witir,
maka dipahami sebagai penekanan akan kesunnahannya (Sunnah Muakkadah).

6. Mengambil yang
Paling Kecil dari Pendapat

Ketika Imam asy-Syafi’i
menemukan suatu permasalahan yang tidak dijumpai suatu dalil untuk
memecahkannya dan terjadi perbedaan pada permasalahan tersebut, beliau memilih
pendapat dengan nilai yang paling kecil persentasenya.

Sebagai contoh: pada
masalah Diyat seorang non-muslim Dzimmi apabila melakukan tindakan pidana.
Terdapat tiga perbedaan pendapat ulama: 1) Diyatnya adalah sepertiga Diyat
orang muslim, 2) Diyatnya adalah setengah Diyat orang muslim [pendapat ini
diambil Malikiyah], 3) Diyatnya sama dengan diyat seorang muslim [diambil oleh
Hanafiyah].

Maka Imam asy-Syafi’i
mengambil pendapat terkecil, sebab kaidah yang beliau pakai adalah “Al-Ashlu
Bara’atu Al-Dzimmah
” (Asal hukum sesuatu adalah menunaikan
tanggungannya), maka selama tidak ditentukan nominal yang jelas oleh dalil yang
eksplisit, maka diambillah pendapat paling kecil.

Tulisan ini adalah rangkuman
penulis atas kitab al-Madkhal ila Dirasah al-Mazhahib al-Fiqhiyah karya Syeikh
Ali Jum’ah.

 

Kontributor

  • Zeyn Ruslan

    Bernama lengkap Muhammad Zainuddin Ruslan. Asal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pernah belajar di Pondok Pesantren Darul Kamal NW Kembang Kerang dan telah menyelesaikan studi S1 di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.