Salah satu kasus hilang dan terbakarnya perpustakaan yang sampai saat ini masih menjadi bola api perdebatan adalah misteri hilangnya Perpustakaan Alexandria di Mesir.
Perpustakaan Alexandria mempunyai koleksi para pujangga, pemikir, filsuf dan para bijak bestari besar dalam sejarah dunia. Karya nama-nama pemikir Plato, Homer, Socrates konon banyak tersimpan di perpustakaan kuno ini. Tak heran banyak sumber menyebut perpustakaan ini merupakan perpustakaan terbesar di era kuno.
Tidak hanya sebagai tempat menyimpan berbagai koleksi manuskrip penting, perpustakaan Alexandria ini menjadi salah satu pusat kegiatan intelektual, diskusi, orasi ilmiah hingga kegiatan-kegiatan kebudayaan lainnya. Keberadaanya menjadi monumen penting bagi iklim intelektual kota Alexandria saat itu.
Perpustakaan Alexandria dibangun dengan tujuan utama mengumpulkan semua literatur serta karya dari bahasa Yunani dan buku karya bangsa lain, menyunting karya-karya penyair, serta sebagai pusat penelitian untuk para ahli dari segala bidang.
Namun, siapa sangka perpustakaan yang menjadi kebanggaan agungnya peradaban masa lalu itu, kini sudah tidak ada jejaknya.
Terkait siapa yang paling bertanggung jawab atas peristiwa pilu ini, beberapa sejarawan masih saling berselisih pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa perpustakaan ini terbakar akibat ulah dari Julius Caesar yang pada saat itu membakar kapal-kapal yang berada di dermaga kapal untuk melindunginya dari kepungan armada Mesir. Nahas, alih-alih terselamatkan tindakannya tersebut justru merambat, membakar beberapa bangunan penting di dekat dermaga. Termasuk perpustakaan kuno alexandria ini. Kebakaran ini tercatat hampir memusnahkan sebagian besar banguan dan koleksi perpustakaan.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan, pihak yang paling bertanggung jawab dalam hilangnya warisan peradaban ini adalah umat muslim.
Cerita dan narasi ini pada mulanya disebarkan oleh seorang uskup Agung dalam Gereja Suryani bernama Gregorius Caronus atau dalam literatur Arab ia dikenal sebagai Ibnul ‘Abari dalam sebuah karyanya The History of Dynasties (diterjemahkan dari Tarikhud Duwwal).
Selanjutnya narasi ini juga diikuti dan diamini oleh beberapa sejarawan Muslim seperti al-Qifti, Abdullathif al-Baghdadi, Ibnu Khaldun, dan al-Maqrizi.
Kronologinya dimulai ketika pasukan Amr bin Ash berhasil menaklukkan wilayah Mesir dan mulai merangsek masuk wilayah Alexandria. Amr bin Ash menemukan sebuah perpustakaan kuno. Tak berani memutuskan, tindakan apa yang tepat untuk dilakukan, Amr bin Ash berinisiatif menghubungi Umar bin Khattab selaku Khalifah. Apa jawaban Sayyidina Umar?
Jawabannya adalah sebagaimana dalam catatan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya:
فإن يكن ما فيها هدًى، فقد هدانا الله بأهدى منه ، وإن يكن ضلالاً فقد كفاناه الله
“Umar menjawab, ‘Jika memang di dalamnya terdapat petunjuk atau hal yang bermanfaat, kita sudah punya kitab yang jauh lebih banyak petunjuknya (al-Quran). Dan apabila buku tersebut isinya menyesatkan, maka kita jelas tidak membutuhkan itu’”
Al-Maqrizi dalam Mawaidz wal I’tibar ketika mengisahkan kondisi kota Alexandria juga mencatat kejadian serupa:
ويذكر أن هذا العمود من جملة أعمدة كانت تحمل رواق أرسطاطاليس الذي كان يدرس به الحكمة، وأنه كان دار علم، وفيه خزانة كتب أحرقها عمرو بن العاص بإشارة عمر بن الخطاب رضي الله عنه
“Di kota ini juga terdapat pilar-pilar yang menjadi tempat Aristoteles mengajar muridnya tentang hikmah dan filsafat. Di kota ini juga terdapat pusat pengetahuan yang di dalamnya ada perpustakaan. Namun, dibakar oleh Amr bin Ash atas perintah dan isyarah dari Umar bin Khattab”
Dibantah sejarawan Barat
Pendapat yang terakhir ini, sebenarnya telah banyak mendapat sanggahan dan bantahan oleh para sejarawan, baik dari kalangan muslim ataupun sejarawan Barat. Seperti yang dipaparkan oleh sejarawan yang sempat menjadi anggota parlemen Inggris, Edward Gibbon (1737-1794).
Edward Gibbon mengatakan bahwa kisah tentang penghancuran Perpustakaan oleh Umar adalah kebohongan yang mengada-ngada. Semua narasi tersebut hanyalah strategi politik kubu Kristen Barat untuk menjelek-jelekan Arab Islam.
Edward Gibbon tidak sendirian, sejumlah sejarawan barat juga banyak yang kemudian menyanggah tuduhan tak berdasar tersebut. Di antara mereka adalah Shibli Nu’mani (1857–1914), cendekiawan muslim kelahiran Uttar Pradesh, juga sejarawan seperti M.J.J. Marcel, Gustave Le Bone, L.B.Sedillot, Stanley Lane Poole dan Alfred J.Butler yang bersepakat bahwa narasi tersebut sangatlah tidak berdasar.
Diantara alasan yang mereka kemukakan adalah, mengenai kondisi fisik perpustakaan Alexandria kala pasukan Amr bin Ash masuk di Mesir pada tahun 641 M, perpustakaan Alexandria sudah tidak mempunyai bentuk fisik. Dalam kata lain, perpustakaan ini telah lama hilang dan terbakar akibat ulah Julius Caesar dalam pendapat yang pertama. Sehingga bisa dipastikan narasi dan cerita tersebut adalah rekaan belaka.
Demikian halnya para sejarawan Muslim yang dapat dipertanggungjawabkan kredibilitas keilmuannya seperti halnya Al-Ya‘qubi, Al-Baladzuri, Ibn ‘Abd Al-Hakam, Al-Thabari, Al-Kindi, Ibn Al-Atsir, Ibn Taghribirdi, dan Al-Suyuthi. Mereka semua tak pernah sama sekali mengemukakan dan menulis masalah pembakaran perpustakaan tersebut.
Memahami kebijakan Umar bin Khattab
Terlepas dari pendapat mana yang paling mendekati kebenaran dalam menginterpretasi peristiwa sejarah itu. Jika memang benar, peristiwa pembakaran tersebut adalah atas persetujuan Sayyidina Umar bin Khattab, penulis ingin mengajak untuk memahami dan membaca konteks yang lebih dalam perihal kebijakan Umar saat itu.
Sangat berlebihan tentu jika dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut kita hanya membela mati-matian atas dalih ‘nama’ baik Umar dan agama Islam pada umumnya.
Sejauh pengamatan penulis kebijakan Sayyidina Umar bukanlah kesalahan yang harus dibesar-besarkan. Hal tersebut adalah murni kebijakan politis dan ideologisnya sebagai pemimpin umat Islam yang mesti dihargai dan diapresiasi. Toh sejarawan muslim yang menulis tentang ini juga cukup banyak, termasuk sejarawan Mesir sendiri, al-Maqrizi.
Kebijakan Umar sekali lagi, bukanlah dosa besar bagi umat Islam. Tentu Sayyidina Umar mempunyai pertimbangan dan perhitungan matang. Ia pasti melihat manfaat dan maslahah yang lebih besar dari hal tersebut.
Jika diamati lebih jauh, kebijakan Umar adalah upaya untuk membentengi umat Islam dari pengaruh pemikiran dan ajaran di luar Islam. Hal itu agak bisa dipahami, karena mungkin pada saat itu pemahaman tentang agama Islam masih sangat rentan. Masyarakat Mesir masih baru mengenal agama Islam.
Beda halnya ketika sudah masuk abad ketiga hijriah, dimana dominasi politik Islam sudah cukup kuat, pemahaman serta pandangan teologi mayoritas masyarakat muslim pun sudah berakar cukup kokoh dan dalam. Pada masa itu, umat Islam sudah mulai terbuka dengan koleksi-koleksi buku serta manuskrip dari Yunani Kuno maupun Romawi. Sebagaimana bisa kita saksikan pada aktivitas intelektual di Baitul Hikmah pada masa Harun ar-Rasyid
Sehingga kebijakan Umar tak lebih adalah upaya untuk menghindari mafsadah atau bahaya yang lebih besar yakni dengan tercerabutnya Islam dari ajaran al-Quran yang pada saat itu masih dalam proses pengenalan.
Kalau kita cermati lebih dalam lagi, langkah preventif yang dilakukan oleh Umar kala itu juga bisa kita pahami sebagai langkah preventif yang tidak berlebihan. Kita tahu, Sayyidina Umar adalah sosok yang pada mulanya sangat ketat dalam urusan ini. Beliau sangat selektif dan berhati-hati, beliau mempunyai fokus untuk menanamkan nilai-nilai dasar akidah dan ajaran dalam al-Quran, sebelum beranjak kepada hal fundamental lain.
Bahkan dalam urusan pembukuan dan penyebaran hadits, pada mulanya Sayyidina Umar terkenal sangat tegas dan selektif.
Ia tak segan melarang orang-orang yang seenaknya berbicara menyandarkan suatu perkataan kepada Rasulullah. Bahkan ketika ia dimintai pendapat tentang pentingnya pembukuan hadits-hadits Nabi, beliau bermusyawarah dengan para sahabat. Setelah mendapat jawaban dari para sahabat, Umar tidak lantas memutuskan. Ia masih ragu. Ia pun khawatir jika nanti kitab hadits ini justru akan melalaikan umat berpaling dari Kitab Suci al-Quran.
“Saya teringat, kaum-kaum terdahulu dimana mereka menulis kitab-kitab mereka sendiri, kemudian hingga melupakan kitab Allah yang telah diturunkan kepadanya.” Ucapnya dengan penuh pertimbangan.
Dalam riwayat lain yang dikutip Syekh Khudari Beik dalam Tarikh Tasyri’ al-Islami menyatakan, ketika Umar bin Khattab bersama Sya’bi dan beberapa sahabat lain sedang menuju Kota Irak, Sayyidina Umar berpesan, “Kalian akan mendatangi kaum yang gema al-Quran mereka seperti gema lebah. Maka, jangan terburu-buru memberi mereka banyak hadits yang akan menyibukkan mereka. Fokuslah mengajar al-Quran dan minimalisirlah menyampaikan riwayat hadits.”
Jika dalam urusan hadits saja Sayyidina Umar sangat ketat, maka tidak mengherankan jika dalam urusan di luar Islam ia sangat tegas.
Muawiyah bin Abi Sufyan pernah berkata perihal hasil dari kebijakan Umar dalam hadits: “Peganglah hadits di zaman khalifah Umar, karena ia adalah sosok yang paling berhati-hati dalam urusan hadits.” (Tadzkirah al-Huffadz, vol. 1 hal. 408)
Dengan melihat fokus utama Sayyidina Umar, tidaklah mengherankan jika memang benar pembakaran Perpustakaan Alexandria itu atas perintah Sayyidina Umar. Hal itu harus kita lihat dari sisi preventifnya. Sayyidina Umar ingin menanamkan terlebih dahulu nilai-nilai kandungan al-Quran. Ia tidak mau mengambil resiko yang lebih besar misalkan, dalam proses pengenalan akidah umat Islam di Mesir justru akan mengalami tantangan dan goncangan yang luar biasa akibat persinggungannya dengan campuran pemikiran filsafat kuno.
Kalau dilihat dari sisi penghancuran buku-buku kuno, memang posisi Sayyidina Umar agak sulit. Akan tetapi kalau kita melihat sisi latar belakang dan tujuan kebijakan Sayyidina Umar tentu hal tersebut bisa dikatakan sebagai jasa besar yang tak terlihat.
Boleh jadi, andaikata Umar tidak memerintahkan kebijakan tersebut, perkembangan keilmuan Islam tidak akan secepat dan semudah yang telah terjadi, karena tentu masyarakat akan menghadapi perang wacana dan teologi dengan berbagai ajaran dan agama yang berkembang.
Yang jadi fokus Sayyidina umar adalah menanamkan pondasi kokoh al-Quran dalam setiap diri umat muslim hingga terbentuk jiwa kokoh umat muslim yang taat dan sadar akan pentingnya pengetahuan. Wallahhu a’lam.