Al-Quran yang turun ke bumi sejak 14 abad lalu, bisa sampai kepada kita melalui jalur periwayatan yang begitu ketat. Setelah Nabi SAW. menerima firman Allah SWT. dari Jibril AS, seketika beliau mengajarkannya kepada para sahabat secara langsung (mulut ke mulut).
Sepeninggal beliau, para sahabat mengajarkan al-Quran kepada tabi’in. Kemudian, tabi’in mengajarkan kembali al-Quran kepada generasi setelah mereka, dan seterusnya hingga sampai ke masa kita saat ini. Pun tidak sembarangan, proses ajar-mengajar al-Quran tersebut telah melewati berbagai prosedur yang begitu ketat. Sehingga keabsahan atau kesambungan sanad al-Quran yang kita pegang sekarang tidak perlu kita pertanyakan lagi.
Pengertian Qira’at
Di samping fakta di atas, kita mungkin tidak asing dengan istilah Qira’at sab’ah atau Qira’at asyrah. Ketika mendengarnya, barangkali kita sering kali abai dan acuh dengan konsep Qira’at, dan acap kali menganggapnya eksklusif sehingga cukup diketahui oleh orang-orang tertentu saja. Ilmu Qira’at sendiri merupakan cabang ilmu al-Quran yang membahas wajah-wajah perbedaan bacaan al-Qur’an dari sisi redaksi kata baik isim maupun fi’il, perbedaan i’râb, pergantian huruf (ibdâl), dan wajah dialek.
Jika mengulik sedikit tentang ilmu Qira’at, perbedaan-perbedaan tersebut tidak sebatas belasan atau puluhan lafal. Akan tetapi lebih dari itu, sampai-sampai Imam Syathibi mesti merumuskan konsep Qira’at sab’ah dalam 1173 bait dalam karyanya Hirz al-Amâniy wa Wajh al-Tahâniy. Seperti lafal nunsyizuha (Imam ‘Ashim) yang dibaca nunsyiruha oleh Imam Nafi’ dan lafal al-yusra yang dibaca al-yusura oleh Imam Abu Ja’far.
Pun, tidak sekadar mengulas redaksi lafal al-Quran yang berbeda. Ilmu Qira’at juga mengkaji kaidah cara membaca oleh masing-masing qâri berikut rawi yang sangat berbeda satu sama lain. Ada Imam yang membaca mad badal sepanjang empat harakat, hamzah sukun dibaca tashil, meniadakan dengung dalam bacaan Idgham bi ghunnah, memindahkan harakat hamzah ke huruf sukun sebelumnya, dan lain-lain.
Dari ulasan tersebut, barangkali ada yang mempertanyakan keabsahan Qira’at al-Quran. Al-Quran yang dipercayai terjaga dari segala macam ketidakvalidan (keraguan sekalipun), bagaimana bisa terdapat begitu banyak perbedaan seperti di antaranya pengurangan dan penambahan redaksi? Pun mengapa al-Quran tidak cukup dengan satu Qira’at, sehingga jelas mana redaksi yang otentik dan mana yang tidak?
Faktanya, bangsa Arab di masa Nabi SAW. bukanlah satu kabilah besar yang setiap penduduknya memiliki dialek dan logat bahasa Arab yang sama persis. Melainkan, mereka terdiri dari bermacam kabilah yang masing-masing memiliki aksen bicara tersendiri. Seperti penduduk Madinah yang kebanyakan membaca hamzah dengan tashîl atau mengucap hamzah washl yang harakatnya dipindah ke huruf sukun sebelumnya. Sama halnya kita di Indonesia, antara suku Jawa sendiri acap kali ditemukan perbedaan dialek jika sudah beda daerah. Pengucapan kata yowes umpamanya, ada yang mengucap yowes dan ada yang mengucap yawes. Inilah yang menjadi alasan mengapa al-Quran tidak diturunkan hanya dengan satu qira’at.
Mulanya, Nabi SAW. menerima al-Quran dari Jibril dengan satu qira’at. Namun, beliau mempertimbangkan keragaman dialek bangsa Arab. Juga keberadaan anak kecil serta kakek-nenek berusia lanjut yang belum pernah membaca sama sekali. Sehingga akan sangat memberatkan jika mereka harus serentak membaca al-Quran dengan satu qira’at. Oleh karenanya, Nabi SAW. meminta kemudahan Allah SWT. Lantas diturunkanlah al-Quran dengan sab’ah ahruf.
Hikmahnya adalah, jika Allah SWT. tidak menuruti permintaan Nabi SAW. tersebut, maka sama halnya Allah SWT. membebani umatnya dengan perkara di luar kemampuan mereka. Dan hal tersebut bersinggungan dengan watak Islam yang memudahkan dan tidak memberatkan. Maka, kehendak Allah SWT. menurunkan al-Quran dengan sab’ah ahruf merupakan bentuk kasih dan sayang-Nya kepada umat manusia, sehingga mereka bisa dengan mudah membaca firman-Nya, lantas memahami ayat-ayat-Nya dan mentransfer pemahaman tersebut ke generasi-generasi selanjutnya.
Sejarah Qira’at
Terkait sab’ah ahruf, ia bukan perkara yang melazimkan jumlat qira’at ada tujuh, sehingga kemudian dipertanyatakan legalitas keberadaan qira’at asyrah.
Memang sedari awal diturunkan al-Quran, umat muslim dibolehkan membaca al-Quran dengan kaidah sab’ah ahruf tersebut sesuai dengan dialek masing-masing. Sampai kemudian di masa Usman bin Affan RA, terjadi kodifikasi al-Quran dan menghasilkan empat mushaf, yang kemudian disebar ke empat kota; Makkah, Madinah, Kuffah dan Bashrah.
Dengan prosedur yang begitu ketat, pengodifikasian tersebut kemudian menyeleksi riwayat redaksi al-Quran yang dinilai tidak valid. Sesudah mengerahkan sekuat tenaga, pengodifikasian tersebut pada akhirnya tidak mencakup semua sab’ah ahruf. Jika demikian, lantas bagaimana kemudian muncul istilah qiraââh sab’ah atau asyrah?
Setelah mushaf ustmani dikirim ke penjuru kota—beserta dengan para sahabat yang ahli al-Quran guna mengajarkan kabilah-kabilah di pelosok, madrasah-madrasah al-Quran semakin masif didirikan. Perlu diketahui juga, bahwa para sahabat utusan Usman bin Affan tersebut masing-masing tidak hanya membaca dengan satu bacaan. Pun di antara mereka ada perbedaan kaidah membaca sebagaimana sab’ah ahruf yang diajarkan Nabi SAW. Mengingat saat itu mushaf usmani belum ada harakat beserta titik-titik pembeda huruf seperti sekarang. Hal inilah yang kemudian menjadi pemicu, bagaimana di kurun waktu setelahnya perbedaan kaidah membaca umat Islam semakin tak terelakkan.
Hingga pada abad ke-6 Hijriyah, Imam Syathibi merasakan kekhawatiran yang begitu hebat. Jika perbedaan tersebut tidak dikendalikan, akan berisiko dipertanyakannya validasi bacaan al-Quran di kemudian hari. Sampai kemudian beliau berijtihad dengan mengusut kesahihan sanad qira’at umat Islam.
Mulanya beliau merunut imam-imam qâri’ dari kalangan tabi’in yang mashur di setiap penjuru kota. Di antaranya, Imam Nafi’ (Madinah), Imam Ibnu Katsir (Makkah), Imam Abu Amr (Bashrah), Imam Ibnu ‘Amir (Syam), Imam ‘Ashim (Kufah), Imam Hamzah (Kufah) dan Imam al-Kisa’ii (Kufah).
Setelahnya, beliau menelisik murid-murid Imam di atas dan memastikan keabsahan Qira’at yang mereka bawa saat itu, dengan menyeleksi qira’at yang tidak memenuhi syarat kesahihan. Dalam ijtihadnya, Imam Syatibi sangatlah berhati-hati. Imam-imam yang tersebut di atas berikut murid-muridnya, harus memenuhi syarat sebagaimana perawi hadits. Demikianlah alur kemunculan qira’at sab’ah yang semuanya bersanad muttashil hingga Nabi SAW.
Ijtihad Imam Syathibi tersebut kemudian membangkitkan geliat keilmuan para ahli al-Quran saat itu. Sampai pada abad 8 Hijriah, Imam Ibn al-Jazari melakukan ijtihad yang sama sebagaiman Imam Syathibi. Hingga akhirnya beliau meriwayatkan tiga qira’at muttashil selain yang diriwayatkan oleh Imam Syathibi. Jadilah qira’at asyrah mutawâtirah yang saat ini diajarkan di seluruh pelosok dunia.
Dari ulasan di atas, bisa kita pahami bahwa sepuluh qira’at mutawâtirah tersebut merupakan bagian dari sab’ah ahruf yang disebutkan di al-Qur’an. Akan tetapi, hakikat sab’ah ahruf tidak terbatas di sepuluh qira’at mutawâtirah