Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Mengapa Karl Marx Salah?

Avatar photo
26
×

Mengapa Karl Marx Salah?

Share this article

Mengawali tulisan ini, saya perlu menegaskan dua
hal:

Pertama: Filsafat Marxis yang sering disebut
sebagai materialisme dialektis bukanlah suatu sistem filsafat yang pada
tingkatan pertama ingin membuktikan bahwa “Tuhan tidak ada” atau “Agama adalah
candu”, melainkan, sebagaimana ditegaskan oleh Terry Eagleton dalam ‘Mengapa
Marx Benar’, merupakan “teori tentang bagaimana makhluk-makhluk historis
bekerja.” Dengan kalimat yang lebih singkat: ketiadaan Tuhan dan candunya agama
adalah konsekuensi historis dari filsafat materialisme.

Kedua: Posisi filosofis-ideologis Grand Syekh
Al-Azhar, Ahmad At-Tayyib, berhadapan dengan filsafat materialisme adalah
posisi yang tegas, yakni kritis. Sudah semenjak tahun 1980-an, Syekh At-Tayyib
mengkritik filsafat Marxisme dalam kajian berjudul ‘Mafhum al-Harakah baina
al-Falsafah al-Islamiyyah wa al-Falsafah al-Marksiyyah’.

Kritikan itu diulang dalam konteks yang berbeda
melalui kitab kecil berjudul ‘Mabda’ al-‘Illiyyah baina an-Nafyi wa
al-Itsbat’.
Juga disinggung sekilas, tetap dalam kerangka kritik, dalam
bukunya ‘Al-Janib an-Naqdi fi Falsafati Abi al-Barakat al-Baghdadi’ dan ‘At-Turats
wa at-Tajdid (Munaqasyat wa Rudud)’
.

Setelah dua penegasan tersebut, muncul pertanyaan:
Apakah kritik teologis atas filsafat Marxisme tertolak dengan sendirinya,
mengingat bahwa filsafat jenis ini tidak berusaha mati-matian untuk menentang
adanya Tuhan, dan dengan demikian, upaya mengkritik bangunan filosofis
Marxisme, sebagaimana yang dilakukan oleh Syekh At-Tayyib, ibarat memukul angin
dengan tongkat?

Pada pengantar edisi cetak ulang atas buku ‘At-Turats
wa at-Tajdid’,
Syekh At-Tayyib membeberkan pengalaman Mesir di masa tahun
60-an, ketika Gamal Abdun Naseer menjadi presiden.

Pada masa itu Al-Azhar, sebagai institusi
pendidikan keagamaan, dipaksa untuk menerima ajaran-ajaran progresif gerakan
Kiri, yang waktu itu diimpor dari Sosialisme Uni Soviet. Ajaran Sosialisme yang
berangkat dari ajaran Marxisme-Leninisme ini, memunculkan banyak tanggapan dari
para pemikir Muslim.

Waktu itu perang pemikiran antara Islam
konservatif dan Islam Kiri begitu meruncing. Islam Kiri yang digagas Hassan
Hanafi dikaitkan dengan tradisi yang baginya merupakan penghalang kemajuan.
Syekh At-Tayyib tampil sebagai penentang filsafat yang dibawa oleh Hanafi
melalui bukunya ‘At-Turats wa at-Tajdid’. Dengan sangat tegas Syekh
At-Tayyib menyatakan bahwa proyek Hassan Hanafi alih-alih membawa kemajuan
terhadap dunia Islam, justru malah membawa krisis, baik ideologis maupun
identitas. Bagi Syekh, proyek Hanafi bukanlah pembaharuan (tajdid) melainkan
penghancuran (tabdid).

Dari uraian di atas, kesimpulan mengarah kepada
perlunya menunjukkan kesalahan filosofis ajaran Materalisme Dialektis. Kritik
terhadap Materalisme akan mengena jika menyentuh pondasi ajarannya, yakni
prinsip ‘harakah’ (gerakan), kemudian hukum ‘kausalitas’ (illah), kemudian
kloningan ide-ide Marxisme dalam tubuh intelektual Islam sendiri yang
terwakilkan Hassan Hanafi.

Sayang sekali buku ‘Mafhum al-Harakah’ sampai
detik ini belum bisa saya akses. Sudah dua tahun lebih saya mencarinya, baik
dalam bentuk fisik maupun elektroniknya. Buku itu boleh dibilang sangat langka
dan belum dicetak ulang. Karya Syekh At-Tayyib selain yang itu dapat saya akses
karena sudah dicetak ulang oleh ‘Majlis Hukama’.

Pertanyaan selanjutnya: apa itu dasar dari
filsafat Marxisme yang harus diruntuhkan terlebih dahulu?

Jawaban atas pertanyaan ini adalah: materialisme.

Karena negasi terhadap Tuhan dan Agama muncul dari
konsekuensi filsafat materalisme, maka Marx harus dikritik melalui jalan ini.
Filsafat Marx tidaklah dibangun dari kekosongan. Paling tidak ia terpengaruh
oleh dua tokoh: Feuerbach dan Hegel.

Dari Feuerbach, Marx mengambil ajaran
materalisme-nya, sementara dari Hegel ia mengambil metode dialektika-nya.

Apa itu ajaran materalisme? Sebelum menjawab
pertanyaan ini, ada baiknya kita posisikan Marx benar-benar pada tempatnya.
Posisi itu saya kutipkan dari Terry Eagleton: “Marx adalah seorang materialis.
Dia meyakini bahwa tidak ada apa pun yang eksis selain materi. Dia tidak
memiliki minat terhadap aspek-aspek spiritual kemanusiaan, dan melihat
kesadaran manusia hanya sebagai akibat dari dunia material. Dia secara brutal
menolak agama, dan memandang moralitas hanya sebagai persoalan yang
menjustifikasi cara.”

Setelah kita melihat dengan jelas posisi Marx,
mari kita goyang posisi tersebut. Cara pertama adalah dengan memahami
materialisme secara seksama.

Simon Blackburn dalam ‘The Oxford Dictionary of
Philosophy’
-nya mendefisikan materialisme sebagai: “pandangan bahwa dunia
sepenuhnya disusun oleh materi.” Lorens Bagus dalam ‘Kamus Filsafat’-nya
berkata: “Materialisme … ajaran yang menekankan keunggulan faktor-faktor
material atas yang spiritual dalam metafisika, teori nilai, fisiologi,
epistemologi atau penjelasan historis.”

Dua definisi ini bertemu dalam satu ceruk: materi
adalah segalanya, di luar materi tak ada roh, spirit, jiwa, dan seterusnya.
Konsekuensinya, Tuhan, sebagai entitas yang nirmateri, TIDAK ADA ATAU TIDAK
HARUS ADA.

Dalam sistem filsafat, materialisme (madiyyah)
dilawankan dengan metafisisme (ilahiyyah). Jika materialisme meyakini tidak ada
yang lain selain materi, berarti tak ada sebab yang nirmateri. Semua sebab di
dunia ini tidak lain adalah sebab materiil; tak ada entititas transenden yang
mengatur dunia materi ini.

Pandangan inilah yang oleh Syekh At-Tayyib dalam
bukunya ‘Al-‘Ilal wa al-Maqashid’ dinilai sebagai penyebab adanya pandangan
ateisme. Seorang materialis selalu dalam posisi mempertentangkan antara (i)
prinsip ilahi dan (ii) prinsip alam.

Ketika menengok sebab-sebab dalam dunia fisis,
seorang materialis harus menganulir satu di antara dua prinsip tersebut.
Berdasarkan prinsip inilah kaum meterialis menganggap bahwa penjelasan yang
berbau metafisis dalam gerak sejarah tidak lain timbul lantaran akal manusia
belum mampu mengungkap hukum alam. Maka dari itu, ketika sains berkembang dan
mampu memberikan jawaban atas semua fenomena di alam semesta, tak ada lagi
tempat bagi penjelasan metafisis.

Dalam kerangka pertentangan antara materialisme
dan metafisisme, proyeksi Syekh At-Tayyib dalam buku di atas, adalah untuk membuktikan
bahwa kaum metafisikus sama sekali tidak menentang adanya sebab material.
Posisi sebab material adalah posisi kedua dalam sistem kausalitas. Alam semesta
bekerja atas dasar sebab material, tetapi hukum kausalitas ini, yang mengatur
semesta makro, tidaklah mungkin berupa materi itu sendiri, lantaran hukum daur
(lingkaran setan) dan tasalsul (kesinambungan ananta), merupakan hukum yang
mengikat akal secara apriori nan elementer. Menolak hukum daur dan tasalsul
sama saja menolak akal sehat manusia. Jika tuduhan kaum materialis atas kaum
metafisis-rasionalis batal, maka batal pula pondasi awal mereka soal
kontradiksi materialisme vis-a-vis metafisisme.

Bagaimana dengan Tuhan yang merupakan proyeksi
manusia belaka? Bagi Marx, agama dan ‘mitos-mitos’ di dalamnya muncul dari kaum
tertindas. Mereka inilah yang lari dari kejamnya dunia dalam sistem feodalisme
menuju opium berupa entitas transenden, yang diharapkan mampu menolong mereka
dari segala bentuk penindasan. Jadi, Marx memandang agama timbul dari proyeksi
yang dibuat oleh manusia dengan maksud tertentu. Sebab-sebab ini tentu saja
kembali kepada sebab materiil. Tak ada nabi atau orang suci yang benar-benar
pernah diutus Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia.

Tuhan adalah proyeksi manusia dan agama adalah
candu merupakan dua statemen yang muncul dari Feuerbach dan Marx. Keduanya,
sebagaimana sudah saya tunjukkan, pada tingkatan pertama tidak berusaha
membuktikan apakah Tuhan itu ada atau tidak. Tetapi, mereka berpandangan bahwa
sesuatu yang melampaui materi, nir, meta, tidaklah mungkin kecuali sebagai
proyeksi.

Pertanyaan untuk Feuerbach yang belum bisa ia
jawab adalah: bagaimana mungkin manusia yang merupakan gumpalan materi dapat
memproyeksikan entitas yang sama sekali nirmateri? Sementara itu, teori Marx
soal agama adalah candu, dapat diberi pertanyaan yang sangat mendasar: apakah
benar bahwa agama merupakan pelarian manusia? Marx otomatis akan salah ketika
pertanyaan ini menemukan jawaban yang sebaliknya, meskipun sampelnya cuma satu
atau dua. Itulah mengapa Marx salah.

Menutup tulisan ini, pandangan saya pribadi soal
masalah di atas adalah:

Pertama: Saya lebih suka pada penafsiran Heidegger
soal agama. Pada suatu wawancara, Heidegger berbicara soal ontologi agama.
Baginya, tak ada orang yang tanpa agama. Termasuk kaum Marxis. Apa itu agama?
Agama adalah ‘keyakinan’ tanpa syarat terhadap sesuatu yang melampaui
individualitas manusia, bisa berupa sistem negara, kepercayaan terhadap
supremasi iptek, dan keyakinan atas kemajuan teknologi.

Kedua: Saya juga suka pada pandangan yang
pragmatis-mistis soal agama. Embrionya saya dapat dari Imam Ali bin Abi Thalib.
Suatu ketika Sayyidina Ali didebat orang ateis: “Bagi saya setelah mati itu
tidak ada apa-apa. Tidak ada akhirat, surga maupun neraka. Mati ya mati.”
Jawaban Sayyidina Ali: “Jika yang Anda katakan benar, maka saya selamat dan
Anda juga selamat. Tetapi jika yang benar adalah saya, maka saya selamat dan
Anda tidak.”

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.