Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Mengenang Gus Dur; Membaca ulang keluasan

Avatar photo
45
×

Mengenang Gus Dur; Membaca ulang keluasan

Share this article

Hari kemarin, 7 September, adalah tanggal Gus Dur dilahirkan. Ia lahir di bulan September dan wafat di bulan Desember.

Ini bukan soal tanggal dan hari-hari semata, tapi perihal kenangan dan ingatan terhadap sosok yang telah hidup dengan niat-niat besar, kerja-kerja besar, dan harapan-harapan yang besar pula. Semuanya tentang keagamaan, kemanusiaan, kesejahteraan dan keadilan. Maka tak heran, ketika orang yang hidupnya demikian itu, ketika sudah pergi jauh meninggalkan dunia, patut dikenang dan dirindukan.

Sampai sekarang, makamnya di Jombang, tak pernah sepi diziarahi. Di sana orang-orang menghaturkan doa dan mengharap keberkahan.

Tidak sedikit yang mengaitkan hal ini sebagai “karomah”; sebagai bukti kewalian. Sampai-sampai orang-orang memanggilnya Mbah Wali Gus Dur.

Itu tidak salah. Gus Dur memang nyentrik. Dunia spiritual dan mistis tidak bisa dipisahkan darinya. Gus Dur suka ziarah dan dikenal sering menemukan makam wali. Gus Dur suka sowan ke para kyai sepuh (keramat). Konon beliau tahu apa yang dibicarakan banyak orang, meskipun beliau dalam keadaan tertidur. Dan beberapa kali, ucapannya diamati banyak orang, menjadi kenyataan. Itu semua ada benarnya juga. Gus Dur emang keramat. Tapi di sini, mari kita coba bicarakan dari sisi yang lain. Mari bicarakan Gus Dur dari segi intelektualitasnya, dari wacana-wacananya.

Gus Dur itu unik. Dia dikenal gila membaca, atau bahkan pembaca yang “gila”. Dia punya nasab yang tak main-main. Cucu langsung dari Hadrotus Syekh Hasyim Asy’ari. Mungkin kita bisa menyebutnya The Real Guse Dunyo. Tapi nasab dan privillege itu tak membuatnya terlena. Ketekunannya disaksikan banyak orang. Minat bacanya membuat takjub banyak kalangan. Konon, karena aktivitas membaca yang sangat tinggi itulah yang membuat kemampuan melihatnya melemah.

Dari segi bacaan, kita lihat dari tulisan-tulisannya menjangkau berbagai diskursus. Hal itu membuat Gus Dur terlihat bagai samudera pengetahuan.

Dalam Ilusi Negara Islam, kita melihat wacana-wacananya tentang hubungan antara Islam, negara dan politik sarat dengan kajian-kajian sejarah dan fikih klasik.

Mulai dari fikih, usul fikih sampai kaidah fikih ia bahas di sana. Hal itu wajar, karena konon ketika sepulang dari pengembaraan ilmiahnya di luar negeri, ia mengajar kitab Al Mustashfa karya Hujjatul Islam Al Ghazali di Jombang. Sebuah kitab babon tentang usul fikih yang terkenal dalam keilmuan Islam.

Lalu dalam bukunya Islam Kosmopolitan, dengan cara yang elegan, Gus Dur menyerukan nilai-nilai kosmopolitanisme dan universalisme Islam. Uniknya, ia mengambil inspirasi tema tersebut dari kajian maqashid al syariah. Lima butir maqasid berupa hifzu al din, al aqli, al nafsi, al mal, al nas, bagi Gus Dur adalah sebuah doktrin yang merepresentasikan nilai keuniversalan kehidupan.

Lalu tentang kosmopolitanisme. Kesadaran akan perbedaan dan kemajemukan adalah spirit yang terus dijaga dalam sejarah Islam. Hal itulah yang membuat bagaimana orang-orang Islam terdahulu sukses menghantarkan Islam pada kasta peradaban yang luhur, seperti kebebasan berpendapat pada masa Bani Umayah dan Bani Abbasiah yang menunjukkan, seliberal-liberalnya suatu pemikiran, ia akan mendapatkan koreksinya. Seperti dari kebebasan pemikiran kaum Muktazilah yang kemudian mendorong kelompok Sunni terlibat dalam dinamika intelektual waktu itu, yang kemudian masa klimaksnya ditandai dengan kemunculan tokoh besar bernama Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Lalu diusul oleh Al-Baqilani, Imam Haromain, Al Ghazali, Fakhruddin ar Razi dan seterusnya.

Andaikan tanpa kebebasan berpendapat, maka nama-nama besar ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah tadi tidak akan dilahirkan.

Rupanya, Gus Dur tidak duduk diam dengan wacana pemikirannya tadi. Terbukti pada masa menjabar sebagai Ketua Umum PBNU, dia lantang membela kebebasan. Seperti pembelaannya terhadap Kyai Said Aqil Siraj selepas kepulangannya dari Mekah yang dituduh sebagai antek Syiah waktu itu. Juga pada awal tahun 2000-an, ia membela seorang cendekiawan muda NU Ulil Abshar Abdalla yang dituduh liberal bahkan sampai dibilang sesat dan halal darahnya.

Gus Dur tidak bekerja di ruang internal semata, di luar NU misalnya. Dia juga membela pihak-pihak yang dilemahkan, seperti Ahmadiyah, Inul Daratista, Ahmad Dani, Kia Aminuddin ( Lia Eden) dan masih banyak yang lainnya.

Lalu dalam bukunya Islamku Islam Anda Islam Kita, dia berbolak-balik, berselancar dari satu tema ke tema yang lain.

Saya kira, ciri khas dari Gus Dur adalah sisi spiritual-realitasnya.

Artinya, ketika berbicara spiritualitas, Gus Dur tidak mengambil zona nyaman dengan berkutat pada doktrin-doktrin dan teks semata. Literatur bacaannya memang luas, tapi bukan itu yang dia tuju, melainkan sisi realitasnya: tentang apa yang terjadi dalam kehidupan dan apa-apa saja yang dikeluhkan dan menjadi persoalan manusia secara langsung.

Sebaliknya, ketika berbicara realitas, Gus Dur selalu berusaha mengaitkannya pada prinsip spiritualitas.

Ambil contoh, Gus Dur mencatat bahwa di tengah-tengah geliat dunia yang merasa kering dan krisis moral sebab serangan cara pandang yang sekuler, ternyata dunia berupaya mencari alternatif yang di antaranya dengan mengambil jalan Teologi Pembebasan yang awalnya digauangkan di Amerika, lalu menjalar ke banyak wilayah di dunia.

Lalu Gus Dur mencatat, upaya itu tidak terlihat dalam politik yang malahan mencitrakan dekadensi moral  yang nyata.

Misalnya, dalam kebijakan dewan keamanan ( DK) PBB yang memberikan wewenang kepada lima anggota negara untuk menjatuhkan veto. Bagi Gus Dur, hal ini jelas berlawanan dengan moral dan etika yang mestinya dijunjung tinggi oleh setiap manusia.

Melihat keterasingan politik dari spiritual itu, Gus Dur memberi catatan tegas:

“Para politisi tetap saja sibuk dengan kepentingan-kepentingan me­reka, dan hampir-hampir tidak mau melihat etika, moral, dan kehi­­dupan umat manusia, kecuali secara manipulatif. lnilah yang me­­rupakan hidangan sehari-hari yang kita saksikan saat ini, mulai dari berbagai skandal seksual, finansial maupun kultural yang melibatkan para pemimpin dari berbagai negara.” (Lihat: Islamku Islam Anda Islam Kita)

Membicarakan Gus Dur memang tiada habisnya. Tulisan ini tak lain dan tak bukan hanyalah upaya kecil mengingat jasa-jasanya yang besar di masa lalu. Juga berharap menyerap keberkahan spirit intelektualitas. Bahwa spiritualitas mesti diikat dengan realitas, begitu pun sebaliknya. Apalagi di tahun politik seperti saat ini, yang mana kita sering kewalahan untuk membedakan, mana yang alat dan mana yang tujuan.

Intinya, ingin saya katakan: selamat ulang tahun, Gus. Tolong ajari kami, bagaimana cara  beragama dan menjadi manusia yang benar, Gus!

Mekah, 08 September 2023

Kontributor

  • M. Farhan al-Fadlil

    Mahasiswa fakultas Usuluddin, universitas Al-Azhar, Mesir. Aktivis Said Aqil Siraj (SAS) Center, Kairo. Saat ini menjabat ketua Himpunan Alumni Pesantren Lirboyo (HIMASAL) cabang Mesir.