Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Mengikis teologi serba Tuhan

Avatar photo
25
×

Mengikis teologi serba Tuhan

Share this article

Untuk siapa agama dilahirkan? Seorang ulama besar, As-Syatibi mengatakan, agama adalah, ilahiyatul masdhar wa insaniyatul maudhu (bersumber dari Tuhan dan diorientasikan untuk manusia). Definisi ini dapat dikembangkan bahwa setiap orang yang membela agama haruslah paralel dengan membela nilai-nilai kemanusiaan. Keberagamaan seseorang bisa batal pada saat yang sama menafikan dimensi kemanusiaan.

Tanpa terasa, evolusi dunia dengan laju sains dan teknologinya yang begitu cepat membuat sebagian kita tergagap-gagap dalam menyikapinya. Arus zaman yang kian kencang ini tidak seorang pun mampu membendungnya. Ia ibarat matahari, tak seorang pun mampu untuk menghentikan laju putarannya. Islam, selain menjadi unsur motivator, telah lama dijadikan sebagai pandangan hidup manusia (hudan li al-naas). Ada relasi kuat antara pandangan keagamaan seseorang dan pencapaian kualitas hidupnya.

Sebagai contoh, pandangan keagamaan seseorang yang mengatakan bahwa problem kemiskinan adalah sesuatu yang given (takdir), ia akan cenderung berperilaku pasif. Kemiskinan akan dianggap sebagai perkara Tuhan, bukan problem kemanusiaan. Padahal, Tuhan menghendaki agar manusia aktif dan kreatif merekayasa alam bukan untuk menyejahterakan Tuhan, melainkan untuk kepentingannya sendiri.

Dalam perkara ini, menarik mengutip pandangan Muhammad Iqbal yang mengatakan, Tuhan hanya menciptakan lempung, manusialah yang membuat patungnya, Tuhan hanya menciptakan malam, manusialah yang membuat lampunya.”

Maknanya adalah, bahwa keindahan dan kesejahteraan dunia menghajatkan sentuhan daya kreatif manusia, sebab Tuhan hanya menyediakan potensi dasarnya. Karena itu, pandangan teologis yang serba-Tuhan, meskipun seakan-akan membela Tuhan, (padahal Tuhan tidak perlu dibela), akan memosisikan manusia sebagai makhluk tak berdaya. Kecenderungan teologis seperti ini sering kali tidak adaptif dengan perubahan lingkungan sejarah kemanusiaan yang konkret.

Di samping itu mereka menganggap bahwa dokumentasi kebenaran manusia sudah termaktub secara utuh dan autentik dalam teks. Karena itu, teks menjadi Mahkamah Agung yang memfinalisasi setiap perkara kemanusiaan. Inilah karakter dasar nalar bayani.

Jika paradigma Islam progresif menyepakati pengandaian terhadap penguatan peran akal yang kritis, baik terhadap teks suci maupun kepada tradisi (turats), maka kenyataan budaya Arab khususnya dan Islam pada umumnya hingga kini masih terhegemoni oleh nalar bayani, yaitu sebuah metode pemikiran yang menekankan pada otoritas teks (nass). Model nalar ini tidak menempatkan kekuatan akal secara signifikan. Kemampuan akal harus tunduk pada otoritas teks.

Maka tidak heran jika seorang penulis Mesir, Prof Nasr Hamid Abu Zaid, pernah mengutarakan bahwa wa laisa min qabilit tabsith an nashifal hadlaratl arabiyyatal Islamiyyah bi annaha hadlaratun nash (bahwa peradaban Islam dan Arab sesungguhnya adalah peradaban teks). Kedudukan teks begitu sentralnya, sehingga teks menjadi semacam paradigma atau cetakan yang memenjarakan hampir seluruh kehidupan umat muslim dalam seluruh bentangan sejarahnya.

Salah satu pandangan dunia (weltanschaung) jenis nalar ini adalah keyakinannya yang serba Tuhan. Baik dan buruk yang menimpa manusia adalah kehendak Tuhan. Pandangan ini merupakan konsekuensi dari pandangan yang serba teks. Sebab teks (nass: Al-Q’uran dan Hadits), bersumber dari Tuhan.

Salah satu implikasi dari penggunaan nalar ini adalah hilangnya logika kausalitas yang erat hubungannya dengan kehidupan riil. Misalnya, soal krisis multidimensi yang melanda bangsa Indonesia yang melanggengkan kemiskinan, kebodohan, ketidakadilan, dan lain-lain jika menggunakan nalar bayani akan dipersepsi sebagai cobaan dan suratan Tuhan yang ujung-ujungnya merekomendasikan kesabaran an sich. Persis seperti Karl Marx ketika melihat masyarakat proletar yang dieksploitasi oleh sindikat elite agama (gereja), elite kekuasaan (negara), dan elite ekonomi (konglomerat).

Gereja hanya menawarkan kesabaran, sementara rakyat tetap lapar dan miskin. Kuatnya dominasi nalar bayani dalam kultur berpikir mayoritas umat muslim (langsung atau tidak langsung) telah mematikan jenis epistemologi lainnya, nalar burhani. Yaitu sebuah metode berpikir yang mengandalkan kekuatan rasio yang pernah subur di bagian barat dunia Islam (maghribi, Andalusia) seperti, yang dipelopori oleh Ibn Hazm, al-Syatibi, dan Ibn Rusyd.

Apakah dengan demikian, kita menghajatkan pada paradigma alternatif yang relevan dengan kompleksitas persoalan umat muslim dengan merevitalisasi nalar burhani? Bagaimana menghubungkan paradigma burhani dengan kebutuhan kekinian? Dan, apakah proyek Islam Progresif hanya cocok dengan nalar burhani?

Setidaknya, pemikir Arab kontemporer seperti Mohammed Abid al-Jabiri yang dikenal dengan Proyek Kritik Nalar Arabnya (Msyru’ Naqd al-Aql al-Arabi), meyakini bahwa problematika peradaban Arab dan umat muslim hanya bisa dicerahkan melalui pemihakan terhadap nalar burhani, setelah hampir dua belas abad lebih dikungkungi oleh nalar bayani.

Kekayaan epistemologi Andalusia yang bertumpu pada prinsip-prinsip nalar burhani inilah yang kemudian hijrah ke Eropa. Sedangkan dunia Arab dan dunia muslim pada umumnya khususnya pasca-Al-Ghazali hingga kini hanya mewarisi dua jenis nalar, nalar bayani dan nalar irfani.

Maka, fenomena taqaddum (progresivitas) masyarakat Eropa, utamanya dalam merekayasa alam karena pemelukannya terhadap nalar burhani yang dibangun atas dasar logika dan hukum kausalitas, jauh lebih tampak semarak daripada masyarakat Arab dan umat muslim. Implikasi lebih jauh dari fakta ini adalah bahwa masyarakat Arab dan umat muslim cenderung lebih konsumtif daripada produktif.

Jika yang dimaksud dengan progresivitas paralel dengan produktivitas, maka salah satu sumber persoalannya terletak pada cara dan model berpikirnya. Nah, nalar burhani, sebagai salah satu khazanah termahal umat muslim yang pernah hidup dan berkembang di dunia Islam (dalam kaitannya dengan kampanye Islam progresif) adalah, suatu keharusan yang layak untuk digali dan dikembangkan. Wallahu a’lam bisshawab.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.