Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Menjadi Wali dari Jalur Logika

Avatar photo
33
×

Menjadi Wali dari Jalur Logika

Share this article

Apakah seorang wali punya sifat khusus? Punya. Allah menyebutkannya dalam surah Yunus ayat 62, yaitu tidak takut dan tidak sedih. Kedua sifat ini juga disebutkan dalam 14 ayat lain.


Dua sifat di atas juga disandarkan kepada mereka yang memasrahkan jiwa raganya kepada Allah, orang yang secara konsisten memegang tauhid, orang yang berbuat baik, dan lain seterusnya.

Kemunculannya dalam 14 ayat itu membuktikan bahwa kedua sifat tersebut memang istimewa sekaligus sukar disandang. Kedua sifat itu tidak datang begitu saja.

Keduanya perlu premis yang panjang kendati sederhana. Premis itu dapat kita temukan dalam logika secara khusus, dan pengetahuan sufisme akali secara umum.

Ibn Sina, melalui dua risalahnya, Fi Mahiyah al-Huzn (Tentang Kesedihan) dan al-Khauf min al-Maut (Thanatophobia), dapat diketengahkan untuk tujuan tulisan ini.

Kesedihan dan ketakutan merupakan aspek psikis manusia. Keduanya dipelajari dalam ilmu psikologi. Fenomena psikis untuk kesedihan yang terlalu, dalam psikologi, disebut melankolia, sementara fenomena psikis untuk ketakutan yang berlebihan disebut fobia

Apabila kita jeli, kita akan menangkap suratan yang luar biasa tentang bagaimana al-Quran dan agama menempatkan afeksi manusia sebagai tolok ukur posisi seseorang di hadapan Tuhannya

Melankolia dan fobia adalah penyakit psikis yang juga diidentifikasi oleh agama sebagai sifat negatif. Mistisisme, ambillah contoh Ibn Sina, menempatkan keduanya dalam bingkai logos, yakni, kedua sifat itu dapat timbul lantaran absennya pengetahuan kita atas hakikat keduanya. Dalam hal ini, boleh dikata Ibn Sina meluberkan psikologi dengan agama dan filsafat.

Proyeksi Ibn Sina tentang kedua sifat tersebut adalah proyeksi yang universal. Ibn Sina tidak mau menggali gejala perorangan (sebagaimana psikopatologi), melainkan berupaya menangkap gejala universal tiap manusia untuk kemudian menemukan penyebabnya dan akhirnya menawarkan obat

Bagi Ibn Sina, penyakit jiwa dapat disembuhkan oleh pengetahuan yang merupakan ceruk bagi jiwa itu sendiri. Jika pengetahuan bertempat di jiwa, besar kemungkinan jiwa itu sendiri bisa mengobati dirinya sendiri.

Lihat bagaimana Ibn Sina menalar kesedihan dan ketakutan dalam filsafat mistisismenya.

Sudah saya singgung dalam tulisan sebelumnya bahwa kesedihan adalah ‘kepedihan psikis’. Kepedihan di sini bermakna penyakit, yang harus dicari gejala dan sebabnya. Gejala dari kesedihan itu adalah kemurungan yang kontinyu dan hilangnya gairah hidup. Sebabnya tentu saja adalah ‘hilangnya objek yang dicintai dan lenyapnya objek yang diingini’

Nah, dari sini tampaknya kesedihan, sebagai fenomena psikis, harus terhubung secara kausal dengan fenomena psikis lainnya, yakni cinta dan hasrat. Letak masalah dalam kesedihan akhirnya ditemukan. Apa itu? Pertama, cinta atau hasrat yang berlebihan atas sesuatu. Kedua, objek dari cinta dan hasrat itu yang tidak kekal

Kaum sufi konvensional biasanya mengobati masalah ini dengan cara mematikan hasrat atau cinta atau nafsu. Ibn Sina menawarkan obat dari sebab yang kedua, yakni dengan menemukan objek cinta yang tepat. Kesedihan datang karena objek hasrat lenyap, maka dari itu objeknya harus kita ganti dengan yang kekal

Kekekalan objek cinta tidak akan menjadikan cinta itu kecewa kemudian mendatangkan kesedihan. Ibn Sina menyebut bahwa yang kekal itu adalah entitas atau sesuatu yang bersifat akali, bukan jasmani yang merupakan hakikat dunia. Dengan logika yang demikian, jalan menuju wali akan terbuka lebar bagi para salik.

Dalam risalah ‘al-Khauf min al-Maut’ Ibn Sina tidak membahas ketakutan yang universal. Ia fokus kepada ketakutan manusia atas kematian. Akan tetapi, apabila kita jeli, kita dapat membawa teorinya tentang ketakutan akan kematian itu ke gelanggang yang lebih umum. Pada intinya, ketakutan berasal dari ketidaktahuan (al-jahlu)

Orang yang takut akan kematian biasanya tidak tahu apa itu hakikat kematian. Mereka tidak tahu bahwa jiwa hanya meminjam badan untuk sementara dan ia akan abadi. Badan adalah benda profan yang mudah rusak, sementara jiwa bersifat kekal. Kematian tidak lain hanyalah lepasnya jiwa dari badan yang tidak kekal. Jika badan ibarat alat berupa palu, maka tentunya alat itu tidak selamanya kita gunakan, bukan?

Ditarik ke ketakutan secara mutlak, maka ia merupakan fenomena psikis atas segala sesuatu yang tidak atau belum pasti, yang mana tentunya bertempat di masa yang akan datang. Ketakutan tidak lain adalah absennya antisipasi atas apa yang akan menimpa seseorang. Kebodohan dari cara antisipasi itulah penyebab dari adanya ketakutan berlebih atas segala sesuatu. Teori umum ini pada praktiknya harus selalu ditarik ke masalah yang lebih khusus

Obat bagi ketakutan adalah antisipasi yang berasal dari dan berakar pada pengetahuan. Namun antisipasi atas tiap hal partikular berbeda satu sama lain. Takut kehilangan harta benda tentu berbeda obat dari takut terhadap singa atau serigala. Maka obat spesifiknya berbeda, kendati resepnya sama, yakni pengetahuan.

Menjadi wali memang tidak bisa secara vulgar ditempuh dengan jalan logika dan pengetahuan. Namun tanpa logika seperti ini, bagaimana bisa seorang calon wali bertindak dan bersikap dengan benar sekaligus tepat vis a vis segala sesuatu yang dapat menghalanginya dari menjadi seorang wali?

Agama tidak menuntut seseorang untuk berbuat benar sejak lahir, melainkan sejak mereka akil balig. Namun, dalam hal meraih pengetahuan, Islam justru menuntutnya sejak seseorang dalam gendongan ibu (mahdi) hingga ke liang kubur (lahdi).

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.