لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ
أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ
بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh,
telah datang kepada kalian seorang Rasul dari golongan kalian. Ia merasakan
penderitaan yang kalian alami. Ia sangat menginginkan keimanan dan keselamatan
bagi kalian. Ia penyantun dan penyayang orang-orang beriman.” (QS.
At-Taubah: 128)
Suatu
ketika
sesaat sebelum azan Maghrib berkumandang, salah
seorang kuli bangunan datang
ke rumah saya dan mengutarakan keinginannya meminjam uang. Ia harus membayar kontrakan rumahnya
sesegera mungkin, jika tak mau diusir tuan rumah. Memang, nominal yang hendak
dipinjam tidak begitu besar. Hanya saja kesehariannya yang tidak pernah sholat lima
waktu membuat saya berpikir ulang untuk
memberinya pinjaman. “Saya siapkan dulu uangnya. Setelah Maghrib, silahkan ke rumah lagi ya?” ucap saya.
Saya putuskan untuk memberinya
uang pinjaman separuh dari nominal yang ia butuhkan, namun selepas sholat,
tiba-tiba ayat 128 surat At-Taubah di atas mengingatkan saya sosok Nabi
Muhammad shallahu alaihi wasallam yang sangat menyayangi umatnya dan turut
merasakan derita yang mereka alami. Nabi sedih bila umatnya sedih. Sebaliknya,
Nabi senang melihat umatnya senang. Benar-benar ciri pemimpin yang
sesungguhnya.
Ayat kedua terakhir
dari surat yang juga dinamakan Al-Bara’ah itu menyadarkan saya, bukankah
kuli bangunan itu adalah umat Rasulullah? Bukankah dia juga seorang muslim,
meskipun belum sempurna keislaman dan keimanannya? Bagaimana jika dia harus
berutang kepada rentenir untuk menyelamatkan satu-satunya tempat tinggalnya? Atau malah dia terpaksa mencuri atau merampok, karena tidak ada orang yang iba kepadanya. Akhirnya,
saya pun tersadarkan dan memberinya pinjaman sejumlah uang yang ia butuhkan.
Potongan ayat yang
membuat saya tersadar dan mengakui kesalahan adalah lafal عَزِيزٌ
عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ yang berarti Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam juga merasakan
penderitaaan umatnya. Kalimat indah itu menunjukkan betapa luas kasih sayang Nabi
Muhammad kepada setiap umatnya.
Jauh sebelum dikukuhkan
menjadi Nabi, Rasulullah selalu meringankan beban hidup tetangga dan masyarakat
Mekkah, hal ini yang diungkapkan istri tercinta, Sayidah Khadijah al-Kubra radliyallahu
‘anha sepulang Rasulullah dari gua Hira’ dalam keadaan menggigil ketakutan
setelah bertemu malaikat Jibril. Sembari menyelimuti tubuh Rasulullah, Sayidah
Khadijah berusaha menenangkan sang suami:
كَلَّا وَاللَّهِ مَا يُخْزِيكَ
اللَّهُ أَبَدًا، إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ، وَتَحْمِلُ الكَلَّ،
وَتَكْسِبُ المعْدُومَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الحَقِّ
“Demi Allah, selamanya
Allah tidak akan menghinakan
dan memperlakukanmu
dengan buruk, wahai suamiku.
Engkau adalah
orang yang selalu menyambung tali persaudaraan, suka
membantu orang yang membutuhkan pertolongan, memberi orang fakir, memuliakan
tamu, dan suka menolong kebenaran,” (HR. Bukhari dari Aisyah ra.)[1]
Menurut Imam
Al-Khattabi, وَتَحْمِلُ
الكَلَّ berarti membantu siapapun yang membutuhkan pertolongan
baik orang fakir, miskin, yatim, janda, orang yang memiliki hutang, orang-orang
lemah yang menanggung beban hidup teramat berat.[2]
Tidak hanya Sayidah
Khadijah yang menyaksikan akhlak mulia Rasulullah, Umar bin Khattab pernah
bercerita tentang hal yang sama. Dalam kitab As-Sirajul Munir fi Maqamat
Sayyidil Mursalin—karya guru kami Syekh Abdussalam ‘Ali Syita—dikisahkan,
saat Umar bin Khattab bersama Rasulullah shallahu alaihi wasallam,
tiba-tiba seorang laki-laki berpakaian lusuh datang meminta agar diberi dan
dicukupi kebutuhannya oleh Rasulullah, padahal saat itu Rasulullah sedang tidak
mempunyai apapun.
“Aku sedang tidak punya
apapun, akan tetapi belanjalah sesuai kebutuhanmu, nanti aku yang membayarnya,”
ungkap dan perintah Rasulullah.
Umar bin Khattab tidak
setuju dengan cara Rasulullah membantu orang lain yang terkesan memaksakan
diri.
“Wahai Rasul, Allah
tidak akan memaksamu melakukan hal yang tidak engkau mampu,” ucap Umar.
Rasulullah tampaknya
tidak suka dengan pernyataan Umar itu. Sebagian sahabat melihat perubahan ekspresi wajah Rasulullah lalu berkata, “Tidak
mengapa, wahai Rasul. Tidak perlu mengkhawatirkan kekurangan selama kita
bersama Allah, sang pemilik Arasy.”
Seketika Nabi
yang penuh kasih sayang kepada umatnya itu tersenyum dan berkata, “Seperti itulah aku
diperintahkan Allah.” (HR. Tirmidzi dari Umar bin Khattab ra.)[3]
Tidak hanya sebatas
memberikan teladan, Rasulullah shallahu alaihi wasallam juga mengajak
umatnya untuk bersama-sama menyeka air mata orang-orang yang memiliki kesusahan
hidup dengan sabda-sabdanya,
السَّاعِي عَلَى الأَرْمَلَةِ
وَالمِسْكِينِ، كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوِ القَائِمِ اللَّيْلَ
الصَّائِمِ النَّهَارَ
“Orang yang gemar mencukupi kehidupan para
janda dan orang-orang miskin seperti orang yang sedang jihad di jalan Allah
atau seperti orang yang beribadah di malam hari dan puasa di siang hari.”
(HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra.)[4]
ابْغُونِي فِي الضُّعَفَاءِ،
فَإِنَّمَا تُرْزَقُونَ، وَتُنْصَرُونَ بِضُعَفَائِكُمْ
“Carilah aku di antara orang-orang lemah.
Sungguh kalian akan selalu ditolong dan diberi rizki karena (perhatian dan
kebaikan) kalian kepada orang-orang lemah/tak mampu di antara kalian.”
(HR. Hakim dari Abu Darda’ ra).[5]
الرَّاحِمُونَ
يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمَنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي
السَّمَاءِ
“Orang-orang penebar kasih sayang akan disayangi Sang Maha Rahman.
Sayangilah siapapun yang ada di bumi, maka penduduk langit akan menyayangimu.” (HR.
Tirmidzi dari Abdullah bin Amr).[6]
Maha benar Allah dengan firman-Nya,
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ
عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sungguh, telah datang kepada kalian seorang
Rasul dari golongan kalian. Ia merasakan penderitaan yang kalian alami. Ia
sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagi kalian. Ia penyantun dan
penyayang orang-orang beriman.” (QS. At-Taubah: 128).
Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam
benar-benar عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ
dan وَتَحْمِلُ الكَلَّ senang membantu, meringankan beban orang
lain dan ini merupakan akhlak mulia di tengah kehidupan jahiliyah yang penuh
dengan kezaliman dan penindasan. Bahkan tidak hanya kehidupan atau persoalan
dunia umatnya yang menjadi perhatian Nabi, namun juga urusan akhirat.
Syekh Muhammad Mutawalli As-Sya’rowi menjelaskan dalam
tafsirnya kalimat عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ bahwa Rasulullah shallahu alaihi wasallam
meringankan beban umatnya tidak hanya di dunia namun juga di akhirat.
Rasulullah tidak ingin umatnya hanya bahagia di dunia, namun sengsara di alam
baka. Rasulullah sedih jika ada umatnya merasakan kesusahan dan kepedihan siksa
neraka.[7]
Sungguh tak berlebihan sebagai penutup surat At-Taubah
ayat 128 tersebut, Allah Subhanahu wata’ala mendeskripsikan kepribadian
Nabi-Nya dengan dua sifat Ar-Rauf ArRahim, penyantun dan penyayang
terlebih kepada orang-orang yang beriman.
Keteladanan akhlak Nabi Muhammad shallahu alaihi
wasallam harus kita teladani dan lestarikan dengan menyeka air mata
orang-orang yang sedang kesusahan di sekitar kita, terlebih di masa pandemi Covid-19
ini.
Berapa banyak saudara, tetangga, masyarakat kita yang
terdampak kehidupan ekonominya dan menyembunyikan air matanya. Ketika kita
menyeka air mata mereka, berarti kita menyeka air mata Nabi Muhammad shallahu
alaihi wasallam, karena derita dan kesusahan yang dialami umat, juga dirasakan
oleh Nabi Muhammad shallahu alaihi wasallam.
Mari bersama-sama saling membahu, membantu, dan
meringankan beban hidup orang lain karena Allah Subhanahu wa ta’ala akan
selalu memihak orang-orang yang mau menolong orang lain. Nabi Muhammad Shallahu
alaihi wasallam bersabda,
وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي
عَوْنِ أَخِيهِ
“Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya
itu menolong saudaranya,” (HR. Muslim dari Abu Hurairah ra.)[8]
Selamat menyeka air mata Nabi. Wallahu a’lam.
Referensi: