Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Menyelami nilai-nilai tasawuf dalam Pancasila

Avatar photo
33
×

Menyelami nilai-nilai tasawuf dalam Pancasila

Share this article

Di antara negara terjajah di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara yang berhasil meraih kemerdekaan dengan hasil keringat, bukan sebuah pemberian atau berkat. Berbeda dengan Singapura dan Malaysia, di mana kemerdekaan kedua negara itu diberikan oleh negara penjajah mereka. Maka Indonesia mencapai kemerdekaan dengan jerih payah perjuangan rakyat dan para tokoh yang kini dikenal dengan pahlawan. Baik perjuangan secara otot (fisik) atau otak (taktik).

Dalam deretan nama pahlawan itu, tidak sedikit ditemui nama-nama yang bertitel Kiai, Haji, Tuan Guru, dan sebutan-sebutan lain yang menunjukan arti sama, yaitu seorang ulama. Tentunya, keberadaan para ulama dan keikutsertaan mereka dalam peperangan ataupun perumusan bangsa negara memberikan sumbangsih. Salah satunya adalah pancasila.

Pancasila yang dipaparkan dalam sidang PPKI dengan dihadiri oleh para peserta sidang, tentunya dipertimbangkan hingga akhirnya disahkan. Salah satu di antara pertimbangannya ialah tidak menyalahi syariat Islam, hingga akhirnya lahirlah sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Yang bila dihayati maknanya, merujuk pada Dzat Allah SWT Yang Maha Ahad dan tiada Tuhan selainnya.

Selain itu, para ulama yang juga pahlawan Indonesia tersebut adalah tokoh tasawuf. KH. Hasyim Asy’ari misalnya, beliau memiliki keilmuan yang tidak diragukan dalam tasawuf. Buktinya ialah kumpulan kitab-kitab beliau yang kebanyakan membahas dan mengkaji tentang akhlak, adab al-‘Alim wa al-Muta’allim misalnya.

Dengan demikian, apa yang menjadi dasar negara bangsa Indonesia bukanlah simbol belaka atau hanya slogan tak bermakna. Para ulama tasawuf Indonesia yang memiliki keterlibatan dalam perumusan pancasila sebagai dasar negara menunjukkan bahwa pancasila bukan tak memiliki makna secara tasawuf, melainkan setiap silanya mempunyai nilai-nilai tasawuf.

Makna tasawuf lima sila Pancasila

Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila ini menyerukan pada pengakuan keesaan Tuhan. Artinya, sila ini senada dengan kalimat la ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah) yang diajarkan dan ditanamkan dalam islam. Bila dipahami lebih dalam, sila ini mengajak pada kesadaran akan keberadaan-Nya sehingga tersibukkan dengan Allah SWT dan tidak selain-Nya. Dalam bahasa al-Ghazali, disebut dengan tathhir al-Sirri ‘amma siwa Allah (menyucikan sirri dari selain Allah).

Salah satu perilaku para sufi yang dijelaskan oleh al-Sya’rani dalam al-Tanbih al-Mughtarrin adalah tidak lupa untuk berdzikir kepada Allah SWT di setiap tempat duduk. Sikap ini menunjukkan bagaimana para sufi benar-benar mengesakan Tuhan, tidak hanya dalam segi keyakinan dan ibadah, melainkan dalam perilaku keseharian pula.

Maka, sila pertama ini tidak hanya memberitahu kita bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa, melainkan juga mengajarkan kita untuk senantiasa mengesakan Tuhan di manapun kita berada, dengan memiliki ketahuan kesadaran akan-Nya sehingga tidak lupa dan menyalahi aturannya.

Kemanusiaan yang adil dan beradab

Adab sangat identik dengan tasawuf. Bahkan, al-Qusyairi dalam al-Risalah-nya menukil dawuh dari al-Kattani bahwa tasawuf adalah akhlak. Oleh karenanya, ungkapan sila kedua ini terasa akrab dengan tasawuf.

Dalam prakteknya, para sufi mengamalkan dan mengajarkan apa yang mereka istilahkan dengan al-Ashlu fi al-Adab atau yang disebut oleh Achmad Asrori al-Ishaqi dengan kunci akhlak. Dalam kitab ­al-Muntakhabat, al-Ishaqy menjelaskan arti dari al-Ashlu fi al-Adab, yang menurut para ulama al-Muhaqqiqun ialah menyaksikan kekurangan pada diri sendiri, dan menyaksikan kesempurnaan pada orang lain.

Menurut al-Ishaqi, orang yang bersikap dengan kunci akhlak akan melihat yang lebih muda dengan dosa yang lebih sedikit, yang tua dengan ibadah dan pahala lebih banyak, dan yang kafir dengan bisa jadi sebelum mati bertaubat dan meninggal membawa iman. Sehingga tak ada celah melihat dirinya lebih hebat.

Dengan begitu, kunci akhlak sudah semestinya dimiliki oleh warga Indonesia, agar dalam bergaul dan berinteraksi dengan sesama tidaklah perlu ada rasa gengsi yang menyebabkan kesenjangan sosial, apalagi bila berakhir caci-maki dan hinaan. Karena kemanusiaan yang beradab adalah sila kedua, yang mengandung nilai tasawuf berupa kunci akhlak.

Persatuan Indonesia

Persatuan ialah salah satu nilai penting dalam agama Islam. Alquran memerintahkan kita untuk bersatu dan tidak berpecah belah, seperti dalam surah Ali ‘Imran ayat 103. Tentunya, para sufi yang mendawamkan pengamalan nilai-nilai alquran dan sunnah mencintai persatuan dan menjaga hal itu.

Beberapa cara yang digunakan oleh para sufi untuk mempertahankan persatuan ialah dengan menyambung silaturrahmi di antara para kerabat dan tetangga, bersikap lembut hati kepada semua orang dan menumbuhkan cinta di antara mereka, serta mendamaikan dua kubu yang berselisih, seperti yang diwasiatkan oleh al-Haddad dalam al-Risalah al-Mu’awanah­-nya.

Selain itu, seperti yang dijelaskan oleh al-Sya’rani dalam al-Tanbih­-nya, bahwa para sufi juga berakhlak tidak iri kepada seorang pun di antara para muslim, mencintai para umat islam dan bahkan berkasih sayang kepada para pelaku maksiat dan tidak memandang rendah atau hina kepada mereka. Artinya, para sufi itu ingkar, tidak suka dan benci kepada kemaksiatan kepada Allah SWT, yakni pada pekerjaan dan kelakuan maksiat, bukan pelakunya. Justru, pelakunya itu disayangi agar mereka mau untuk diajak dan dinasehati untuk kembali taat kepada Allah SWT. Yang dibasmi adalah pekerjaan kemaksiatannya, bukan pelakunya.

Oleh karena itu, sila ketiga ini memiliki nilai tasawuf yang berupa mempertahankan persatuan sebagaimana yang diperintahkan alquran. Juga mengandung makna mempertahankan persatuan itu yang secara tasawuf ialah dengan akhlak mulia, tidak bermusuhan, saling mencintai, hingga tidak mendiskriminasi dengan sikap menghina atau merendahkan kepada siapapun.

Kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

Sila keempat berbunyi tentang kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Artinya, para pemimpin adalah para wakil rakyat, dan ketika memimpin atau mengambil keputusan haruslah didasari rasa kebijaksanaan. Selain itu, ukuran bijak tidaknya bukan dari anggapan perseorangan, melainkan musyawarah.

Maka, nilai tasawuf yang dapat diambil dari sila keempat ini ialah al-Muraqabah atau selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Sebab, sila ini menyampaikan bahwa pemimpin sebenarnya adalah wakil dari rakyat, sehingga sebagai penampung suara rakyat haruslah mampu memenuhi kebutuhan rakyat dengan membuat keputusan yang bijaksana, melalui musyawarah.

Selain itu, wakil memiliki tanggung jawab atas amanah dari orang yang diwakilkan, maka pemimpin mengemban amanah rakyat. Dengan rasa al-Muraqabah ini, ketahuan kesadaran akan amanah yang diberikan oleh Allah SWT dan rakyat ini, haruslah dilakukan dengan totalitas, bukan justru menjadikan jabatan sebagai alat untuk memakmurkan diri sendiri, dengan berkorupsi dan sejenisnya.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam tasawuf, rakyat memiliki perhatian khusus. Abdullah bin Alawi al-Haddad menegaskan dalam kitabnya al-Risalah al-Mu’awanah: “Wajib bagimu berlaku adil pada rakyatmu yang khusus dan umum, dan sempurnanya penjagaan serta peninjauan pada rakyat, karena sesungguhnya Allah SWT adalah penanyamu esok tentangnya, dan setiap pengembala akan ditanyai tentang gembalanya”.

Al-Haddad membagi rakyat menjadi dua, yaitu khusus dan umum. Yang dimaksud rakyat khusus adalah ketujuh indera, yaitu lisan, pendengar, penglihat, perut, kemaluan, tangan dan kaki. Hak-hak rakyat khusus yang wajib dipenuhi menurut al-Haddad adalah menjalankan ketaatan kepada Allah SWT dengan ketujuh indera tersebut, bukan bermaksiat dengannya. Dan hal ini juga sebagai bentuk bersyukur kepada Allah Ta’ala.

Adapun rakyat yang umum, yaitu orang yang Allah SWT jadikan ada di bawah wilayah kekuasaan kita seperti anak, istri, dan mamluk. Kata mamluk di sini bisa bermakna budak bila diartikan sebagai “yang dimiliki”, dan bisa bermakna rakyat negara pada umumnya bila dimaknai “yang dirajai” dengan artian raja sebagai seorang pemerintah, karena raja sejati hanyalah Allah SWT. Yang wajib dilakukan atas rakyat umum ini adalah menuntun dan membimbing mereka pada ketaatan kepada Allah SWT dan larangan bermaksiat kepada-Nya. Bahkan beliau al-Haddad mewanti-wanti agar kita tidak bertoleran kepada mereka atas hal-hal keharaman yang mereka lakukan.

Penjelasan di atas ialah hak secara spiritual atau batiniah. Sedang hak secara fisik yang harus dipenuhi untuk para rakyat baik khusus atau umum ialah nafkah, pakaian, dan pergaulan positif (baik). Penjelasan al-Haddad ini menunjukkan bahwa tasawuf memberikan perhatian terhadap bersikap adilnya seorang raja atas rakyatnya, baik khusus yang berupa anggota badannya sendiri, atau umum yang berkaitan dengan kehidupan orang lain.

Artinya, nilai tasawuf sila kelima ini ialah bersikap adil kepada semua rakyatnya, khusus atau umum, dengan memenuhi segala hak-haknya, baik secara spiritual maupun biologis atau fisik. Karena nantinya kita akan dimintai pertanggungjawaban perihal rakyat-rakyat kita.

Jadi, nilai-nilai tasawuf yang termuat dalam pancasila ialah ketahuan kesadaran bahwa Tuhan itu Esa sehingga kita harus mengesakannya di mana pun kita berada, harus memiliki adab kepada semua manusia dengan merasa diri kita lebih hina dan kekurangan dari siapapun serta orang lain lebih mulya dan sempurna, menjaga persatuan dengan menyambung silaturrahmi dan berkasih sayang kepada siapapun, menjadi wakil rakyat yang benar-benar amanah dan bersikap adil kepada seluruh rakyat dengan memenuhi segala kebutuhannya baik yang fisik atau spiritual.

Kiranya itulah beberapa nilai-nilai tasawuf yang bisa digali dari lima sila pancasila. Dengan demikian, marilah kita sebagai warga Indonesia tidak hanya menghafal kelima sila tersebut, melainkan juga turut mengamalkan makna-maknanya sebagaimana mestinya. Terlebih, pancasila mengandung nilai-nilai tasawuf, yang sudah semestinya diamalkan oleh orang Islam sebagaimana para orang shalih pendahulu. Wallahu a’lam bi al-Shawab.

Kontributor

  • Abdus Somad

    Seorang santri di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya, mahasiswa aktif di STAI Al Fithrah Surabaya, Wakil Ketua HIMAPRODI (Himpunan Mahasiswa Program Studi) Akhlak Tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya, Wakil Ketua UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Isyqolby (‘Usysyaq al-Lughah al-‘Arabiyah) STAI Al Fithrah Surabaya dan Sekretaris MKPI (Majlis Kebersamaan Dalam Kajian dan Pembahasan Ilmiah) Putra di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah Surabaya.