Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Mungkinkah hukum dibangun berdasarkan bisikan hati dan ilham?

Avatar photo
46
×

Mungkinkah hukum dibangun berdasarkan bisikan hati dan ilham?

Share this article

.

Biasanya kita sering mendengar perkataan: “ketika kamu bimbang dalam mengambil keputusan dengarkan kata hatimu, karena kata hati tidak pernah salah”. Perlu dibedakan, apakah keputusan itu berkaitan dengan hukum atau tidak? Apabila keputusan itu tidak berkaitan dengan hukum, maka benar ketika bimbang dengarkan apa kata hati. Dan ini sesuai Hadits Nabi Saw., ketika beliau ditanya tentang kebaikan, Nabi menjawab:

استفت قلبك ما اطمأنت إليه النفس واطمأن إليه القلب والإثم ما حاك في النفس وتردد في الصدر وإن أفتاك الناس وأفتوك

“Mintalah fatwa pada hatimu, karena kebaikan itu adalah sesuatu yang membuat hati dan jiwa tenang, sedangkan kejellekan (dosa) itu adalah sesuatu yang meresahkan jiwa dan membuat hati ragu (bimbang)”.

Namun perlu diketahui, bisikan hati itu ada 3 macam dari sumber yang berbeda, ada bisikan dari setan yang disebut dengan “waswas”, ada bisikan yang berasal dari malaikat yang dinamakan “ilham”, dan ada bisikan yang berasal dari hati yang dinamakan “khawāthir”. Perbedaannya, ilham identik dengan para wali, tersebab mereka adalah manusia yang penuh laku kesalehan, sehingga tidak aneh jika mereka mendapat bisikan dari malaikat.

Lantas bagaimana dengan putusan hukum?
Mayoritas ulama sepakat bahwa hukum harus dibangun berdasarkan dalil-dalil, baik dalil yang telah disepakati oleh ulama, seperti Al-Qur’an, Sunnah, ijmak dan qiyas. Atau dalil yang diperselisihkan, seperti mashlahah mursalah (kemaslahatan universal), istihsan (berpindah ke dalil yang lebih kuat), sadd ad-dzari’ah (antisipasi perbuatan haram), istishab (pertimbangan kondisi sebelumnya), dan sebagainya. Sebab, hukum adalah subjek dari sebuah persoalan aktual sehingga harus dilandasi dengan dasar yang akurat.

Sementara itu, bisikan hati dan ilham sangat subjektif, sebab ia tidak lepas dari pengaruh spiritual yang memiliki karakter inekuivalen antar manusia. Pada praktiknya tidak mudah membuktikan kalim seseorang yang mendapat ilham dan bisikan syaitan. Dengan kondisi demikian, tidak aneh jika para sarjanawan usul fikih menolak ilham dan bisikan hati sebagai salah satu landasan membangun hukum. Syekh Zakaria al-Anshari berkata:

الأحكام الشرعية لا تبنى على الخواطر والإلهامات

“hukum-hukum syariat tidak bisa dibangun berdasarkan bisikan hati dan ilham”..

Di sini perlu ada kriteria bahwa ilham yang tidak bisa dijadikan landasan hukum adalah apabila ilham itu datang kepada selain para Nabi. Adapun ilham yang datang kepada Nabi, mayoritas ulama sepakat bahwa ilham yang datang kepada Nabi Saw. bisa menjadi hujjah (landasan hukum). Dari sini kemudian lahir kaidah uhsuliyah إلهام الأنبياء حجة (ilham yang datang kepada para Nabi merupakan hujjah). Mengapa? Karena ilham yang datang kepada para Nabi merupakan bagian dari wahyu. Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari mengatakan:

وهو أي الإلهام من جملة أصناف الوحي إلى الأنبياء

“ilham (para Nabi) merupakan bagian dari wahyu yang datang kepada para Nabi”.

Kendati demikian, untuk membangun tatanan pengetahuan ilham bisa dipertimbangkan sebagai salah satu sumber pengetahuan. Epistemologi yang masyhur dalam filsafat ilmu memang tidak mengenal ilham, hal itu disebabkan filsafat ilmu yang kita kenal lahir di Barat dalam nuansa pertarungan sains dan dogma institusi keagamaan.

Di dalam dunia Islam ilham layaknya wahyu, bedanya hanya pada penerima; wahyu diberikan kepada para Nabi dan Rasul, sementara ilham diberikan kepada para wali. Perbedaan inilah yang membedakan peran ilham dan wahyu; wahyu bisa menjadi landasan hukum sekaligus pengetahuan; ilham tidak bisa menjadi landasan hukum namun masih mungkin menjadi landasan pengetahuan.

Menolak ilham sebagai landasan pengetahuan, secara implisit meolak rasa manis atau rasa sakit yang dibangun dari nilai kognitif sebagai bagian pengetahuan manusia. Biarpun begitu, ada beberapa ulama klasik yang tetap menolak ilham sebagai sumber pengetahuan memandang subjektifitasnya yang jauh dari kata akurat.

Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Badrus Saleh Naruskan

    Seorang mahasantri yang sedang melanjutkan studi di Al-Azhar University prodi Usul Fikih. Bisa dihubungi lewat IG: al.beats, atau FB: Al Beats (badrus).