Hampir tiga pekan bertugas, saya jatuh sakit. Mulanya pada hari Jumat, 26 Juli 2019, sewaktu saya mlipir dari sektor saya bertugas ke sektor tetangga yaitu sektor 11. Sama seperti sektor 10, sektor 11 juga dihuni oleh jamaah dari Jawa Tengah dan DIY. Setelah minta izin koordinator petugas tower saya, saya menuju sektor 11 untuk menyambut dua kloter jamaah haji dari Purworejo, daerah asal saya, yang tiba di Makkah dari Madinah. Di sektor saya sebenarnya ada satu kloter yang di dalamnya ada rombongan dari Purworejo juga, namun hanya sebagian kecil.
Banyak kerabat dan orang dekat dari Purworejo di sektor 11, terlebih rombongan dari Berjan, kampung kelahiran saya, yang saya merasa harus selalu kunjungi keberadaannya. Ke manapun pergerakan mereka, selagi bisa, akan saya cek. Alhamdulillah, saat masuk Makkah, di Arafah, di Muzdalifah, di Mina, juga pas kepulangan, saya bisa menyambangi mereka.
Siang itu, lepas waktu shalat Jumat, saat rombongan Purworejo yang saya sambut sudah masuk hotel untuk persiapan umrah, saya pun kembali ke sektor sendiri. Dari hotel yang saya kunjungi menuju hotel markas sektor sendiri, saya melewati tanah lapang sedikit berbukit. Entah bagaimana, panas hawa terasa lebih dari biasanya dan badan terasa agak lemas. Sampai hotel markas, saya menemukan ada bintil-bintil merah di sekitar telinga dan kepala yang terasa panas.
Malam hari, badan makin tidak enak rasanya. Esok harinya saya diperiksa di klinik sektor, ternyata saya terindikasi kena penyakit menular varicella atau cacar air. Esok harinya lagi, dokter sektor memutuskan bahwa saya harus dirawat dan diisolasi di KKHI (Klinik Kesehatan Haji Indonesia) Makkah. Rasanya sedih, karena harus meninggalkan tugas. Khawatir pun melanda, takut kalau dirawat sampai waktunya wukuf nanti. Tapi saya terima keadaan, sambil berpikir, masih untung dirawat di klinik Indonesia, bukan rumah sakit Arab Saudi, karena urusannya pasti rumit.
Dari tanah air, saya dapat kabar kalau kedua anak saya juga kena cacar air. Rupanya satu orang kerabat yang mengunjungi saya sebelum berangkat ke Tanah Suci, salah satu anaknya kena cacar air. Dari situlah, benih penyakit ini saya bawa sampai akhirnya muncul ketika sudah bertugas.
Baca juga: Musim haji empat tahun lalu (bagian pertama)
Ahad 28 Juli 2019 saya diantarkan oleh teman-teman petugas kesehatan sektor menuju KKHI dengan ambulans sektor. Sampai klinik, saya tengok kiri dan kanan, melihat-lihat kalau ada petugas haji yang juga jadi pasien, tapi nampaknya tidak ada. Saya pun dimasukkan di ruangan yang isinya pasien berpenyakit yang sama dengan saya. Maklumlah, ini penyakit menular, jadi ruangan pasien yang mengidapnya pun tidak boleh dicampur dengan pasien lain.
Dokter yang menangani saya bilang kalau saya mesti dirawat di ruang isolasi minimal seminggu. Saya pun melewati hari-hari rawat inap tanpa penunggu. Ada dokter, ada perawat, ada pasien lain sebagai teman, tapi banyak hal yang mesti dilakukan sendiri, termasuk ke kamar mandi. Dengan ‘kesendirian’ seperti ini saya lalu membayangkan jamaah haji tanah air yang harus dirawat di rumah sakit Arab Saudi, apalagi yang usianya renta, mesti benar-benar harus kuat mental agar kesehatannya tidak makin drop.
Tapi satu kali, beberapa petugas dari sektor tempat saya bertugas, hadir menjenguk. Kali lainnya, beberapa jamaah dari Purworejo juga datang membezuk. Seingat saya, di antara pasien seruangan, hanya saya yang pernah didatangi penjenguk. Saya bersyukur sekali, karena kehadiran dan doa mereka benar-benar memberi sokongan semangat di tengah ‘kesepian’.
***
Dalam masa perawatan, saya merenung, jangan-jangan saya kena sakit karena ‘kualat’ akibat terlalu galak ke jamaah haji. Memang dalam beberapa kesempatan, saya kerap kurang sabar jika menghadapi jamaah haji yang tidak mengikuti aturan yang berlaku. Di kemudian hari, saya ceritakan hal ini ke seorang petugas satu sektor. Kata dia, mungkin saya marahnya sampai ke hati. Saya pun manggut-manggut, sambil berpikir bagaimana caranya marah agar tidak sampai ke hati.
Salah satu yang menangani saya di rumah sakit adalah petugas haji bidang kesehatan dari provinsi DIY. Sambil malu-malu saya bilang kalua kami ada di satu grup Whatsapp, grup petugas haji yang berasal dari provinsi yang sama. Selama perawatan, saya menjadi semakin memahami beratnya pekerjaan para petugas haji bidang Kesehatan.
Setiap tengah malam saya mendengar suara teriakan dari arah samping. Rupanya bagian sebelah adalah ruang perawatan pasien dengan penyakit kejiwaan. Pantas saja, pas pertama kali datang, saya lihat ruang di sebelah itu nampak berteralis besi. Saya beberapa kali menghadapi jamaah haji yang mengalami disorientasi, halusinasi, demensia atau yang sejenisnya. Tapi saya selaku pertugas haji non kesehatan menangani hal ini dalam waktu singkat saja sesuai kemampuan. Sementara itu, petugas kesehatan mesti lebih serius menanganinya, apalagi sampai dirawat seperti ini.
Setelah seminggu lebih, saya dinyatakan boleh pulang. Hari terakhir perawatan ditandai dengan perubahan menu, dari yang sederhana demi menjaga kondisi kesehatan, menjadi menu yang lebih ‘bercitarasa’. Senang karena besok boleh pulang bercampur nikmatnya kembali menyantap menu makanan seperti semula, menjadi kebahagiaan tersendiri. Saat jarum infus dilepas, makin lega rasanya, bisa ke kamar mandi tanpa kerepotan.
Saya pun pulang ke sektor, berpamitan kepada pasien seruangan dan mendoakan mereka. Saya berlalu sambil merenungi keadaan pasien rumah sakit selalu ada dan datang tak berhenti. Saya juga merasa bahwa pengalaman dirawat ini sungguh harus saya renungi dan resapi pelajarannya. Sambil menunggu pengaturan transportasi yang menghantar pasien sembuh menuju tempat masing-masing, saya menikmati betul udara luar ruangan saat itu. Nampak jamaah haji bukan asal Indonesia yang kiranya bermasalah soal kesehatan berusaha masuk, namun tertolak karena tempat itu khusus untuk jamaah haji Indonesia. Sayang sekali, tapi begituah aturannya.
Minibus mengantar orang satu per satu pulang ke sektor masing-masing. Sektor saya terhitung di bagian ujung dari rumah sakit, jadi harus ikut mengantar ke sektor-sektor lain dulu. Saat sudah dekat ke sektor saya, salah seorang petugas di dalam minibus memanggil nama-nama yang hendak turun. Setelah menyebut nama saya dia tertawa. Ternyata nama dia mirip nama saya, dia Muhidin, saya Muhyidin, beda di huruf Y. Setelah turun saya menyempatkan diri minta berswafoto dengan dia, karena dia orang yang seingat saya sempat memasang jarum infus saya juga.
Suatu ketika saat lepas puncak ibadah haji, saya berjalan-jalan untuk satu keperluan di area Masjidil Haram, di pertokoan sekitar komplek Abraj Al Bayt yang terkenal paling tinggi di Arab Saudi itu. Saya melihat satu dokter petugas haji yang merawat saya di klinik. Saya hampiri dia dan saya cerita bilang kalau saya yang waktu itu kena varicella. Dia tanya kondisi, saya pun bilang baik sambil mengucap terima kasih. Kami beramah-tamah sebentar lalu berpisah.
Mengenai Abraj Al Bayt ini, orang Indonesia akrab menyebutnya sebagai Tower Zamzam. Awalnya saya bertanya-tanya mengapa orang Indonesia menyebut Tower Zamzam padahal nama resminya adalah Abraj Al Bayt atau Abraj As Sa’ah alias Clock Towers. Lalu saya pikir, mungkin karena awalnya disebut Tower Jam lale bergeser jadi Zamzam. Tapi ternyata, memang salah satu tower di komplek menara itu adalah tempat beroperasinya Hotel Pullman Zamzam.