Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Nabi Muhammad Sang Mata Air Motivasi

Avatar photo
36
×

Nabi Muhammad Sang Mata Air Motivasi

Share this article

Suatu ketika, Sayidah Aisyah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang kejadian apa yang lebih memilukan dan berat daripada peperangan Uhud. Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam lalu mengisahkan peristiwa yang menyedihkan saat berada di kota Thaif. Kejadian beberapa tahun silam itu selalu terekam dalam ingatan sang Rasul terakhir.

Tepatnya tahun kesepuluh setelah kenabian, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam berduka. Paman tercinta, Abu Thalib, yang selama ini menjadi garda terdepan dalam membela dakwah Nabi, meninggal dunia. Tak cukup itu, di tahun yang sama Nabi kembali terpukul dengan wafatnya istri tercinta, Sayidah Khadijah, yang selama ini setia seiya sekata dalam menjalani kehidupan rumah tangga dan berdakwah. Kepergian dua orang istimewa itu ternyata berdampak buruk bagi perjalanan dakwah Nabi. Orang-orang kafir Mekkah semakin berani dan massif membendung dan menghentikan penyebaran Islam. Nabi sedih karena misinya stagnan tidak menunjukkan perkembangan sedikitpun. Oleh karenanya tahun ini disebut “Amu Hazn” (tahun kesedihan) karena dakwah Islam mengalami titik buntu. Demikian pendapat ulama ternama Syiria, Prof. Dr. Syekh Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi.

Merasa dakwahnya terhenti, Nabi mencoba pergi. Thaif, negeri besar tenggara Makkah yang dituju. Namun kenyataan tak sesuai harapan. Nabi Muhammad diusir, dicaci-maki, dan dilempar bebatuan hingga kaki mulianya bersimbah darah. Sesaat setelah menemukan tempat yang aman, Nabi bermunajat agar dirinya diberi kekuatan dan kesabaran. Tak lama kemudian, malaikat Jibril turun dan menyampaikan, jika Nabi Muhammad bersedia, malaikat penjaga gunung-gunung di sekitar Thaif siap meluluhlantakkan seisi Thaif dengan gunung-gunung yang ia jaga. Nabi menolak dan berkata,

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِن أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ ، لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Bahkan aku berharap, kelak Allah menjadikan anak-cucu mereka orang-orang yang menyembah Allah dan jauh dari kemusyrikan.” (HR. Bukhari dari Sayidah Aisyah ra.)

Baca juga: Syarah Kasidah Pujian “Kanjeng Nabi Muhammad”

Allahu Akbar, di saat berada dalam titik ketidakberdayaan, Nabi masih mempunyai harapan besar dan optimisme, bahwa kelak Islam akan jaya di Taif, meskipun sekarang penduduk kota itu melukai Nabi. Tercatat, makam sahabat Nabi yang dijuluki Hibrul Ummah (tintanya umat) karena menjadi rujukan ilmu para sahabat dan tabi’in, yaitu Abdullah bin Abbas berada di kota Thaif. Sebelum Nabi wafat, Thaif menjelma menjadi kota dengan jumlah penduduk pemeluk Islam yang luar biasa.

Tiga tahun setelah peristiwa pilu Thaif, Nabi lagi-lagi mengalami ancaman yang tidak main-main. Kali ini Abu Jahal dan komplotannya berniat membunuh Nabi setelah mendengar dan melihat sebagian sahabat-sahabat Nabi hijrah ke Madinah. Pengepungan rumah Nabi dilakukan oleh 9-11 perwakilan setiap kabilah. Allah berkehendak lain, Nabi Muhammad keluar rumah tanpa goresan luka sedikitpun setelah membaca ayat:

وَجَعَلْنَا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْنَاهُمْ فَهُمْ لَا يُبْصِرُونَ

“Kami jadikan di hadapan mereka sekat (dinding) dan di belakang mereka juga sekat, dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat.” (QS. Yasin: 9)

Bersama Abu Bakar Ash-Shiddiq, Nabi Muhammad naik ke Gunung Tsur, gunung yang sangat terjal dan sulit didaki. Kedua manusia mulia itu bersembunyi di gua gunung tersebut. Naasnya, keesokan harinya kelompok kafir  Quraisy menemukan jejak keduanya. Mereka ikut naik ke gunung tersebut dan berhenti tepat di mulut gua. Abu Bakar menggigil ketakutan, melihat kematian sudah di depan, namun lagi-lagi dengan tenang dan penuh optimisme yang tinggi, Nabi menenangkan dan menghibur Abu Bakar dengan kalimat yang sangat populer, La Tahzan Innallaha ma’na/Jangan bersedih Allah bersama kita. Apa yang terjadi? Allah abadikan kejadian menarik itu dalam surat At-Taubah ayat 40,

إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَى وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Jika kamu tidak menolongnya (Muhammad), sungguh Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir mengusirnya (dari Mekah); sedang salah seorang dari dua orang (Nabi Muhamamad dan Abu Bakar) ketika keduanya berada dalam gua, ketika itu dia (Nabi Muhammad) berkata kepada sahabatnya, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” Maka Allah menurunkan ketenangan kepadanya (Muhammad) dan membantu dengan bala tentara (malaikat-malaikat) yang tidak terlihat olehmu, dan Dia menjadikan seruan orang-orang kafir itu rendah. Dan firman Allah itulah yang tinggi. Allah Maha perkasa, Maha bijaksana.”

Baca juga: Merah Putih dan Bendera Rasulullah, Tinjauan Hadits Nabi dan Sejarah Islam

Syekh Muhammad Mutawalli Asy-Sya’rawi menguraikan ayat tersebut dengan sangat teliti dan cerdik. Ulama fenomenal berkebangsaan Mesir itu menuturkan, Allah menolong Nabi Muhammad tiga kali berturut-turut; saat diusir oleh kaumnya, selama di dalam gua, dan sewaktu berkata La Tahzan inna Allaha ma’ana kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq. Itu menandakan bahwa ketenangan, rasa optimis, dan baik sangka kepada Allah mendatangkan pertolongan Allah Subhanahu wata’ala. Sebelum orang-orang kafir Quraisy sampai di mulut gua, Allah menumbuhkan tanaman-tanaman untuk menutup mulut gua, Allah perintahkan induk merpati mengerami telurnya, laba-laba membuat rumahnya, hingga kelompok musyrikin itu beranggapan tak mungkin di dalam gua ada orang. Nabi Muhammad dan Abu Bakar selamat dengan prasangka baik kepada Allah.

Optimisme Nabi berikutnya yang patut kita ketahui dan teladani saat penggalian parit tahun 5 H. Parit yang digali para Sahabat pagi, siang, malam -menurut pakar sejarah Nabi, Dr. Ragib As-Sirjani- berukuran kedalaman sekitar 5 meter, lebar 5 meter, dan panjang 12 km. Berminggu-minggu Nabi dan para sahabat berjuang membela agama dan mempertahankan negara.

Di tengah penggalian, sahabat menemukan sebongkah batu besar yang tak mampu dihancurkan. Akhirnya mereka menyerah, dan menyerahkan masalah itu kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dengan tiga pukulan hebat dari alat yang digenggam dan diayunkan Rasulullah, batu besar itu hancur dan muncul 3 cahaya di setiap pukulan. “Allahu Akbar, kelak Syam akan kita taklukkan, demi Allah saat ini aku melihat istana-istananya berwarna merah,” ungkap Rasulullah pada pukulan pertama.

Allahu Akbar. Persia akan tunduk kepada kita. Demi Allah, aku melihat istana-istananya berwarna putih,” pukulan kedua.

Allahu Akbar, Yaman akan bersama kita. Sungguh, aku melihat pintu-pintu Shan’a dari tempatku ini,” ucap Nabi pada pukulan terakhir.

Baca juga: Momen-momen Spesial Baginda Rasulullah Mendidik Sahabat

Orang-orang Yahudi yang mendengar tiga kabar gembira itu tersenyum sinis, meremehkan dan meledek. Mereka tak percaya sama sekali cita-cita umat Islam itu tercapai. Mereka menganggap kalimat Nabi itu hanyalah omong kosong dan mimpi belaka, bagaimana bisa orang-orang Islam mengalahkan tiga kerajaan dan negeri yang super power itu. Nabi dan para Sahabat tak menggubris kicauan mereka. Beberapa tahun setelah kejadian itu, tiga ucapan Nabi yang disertai pukulan hebat terbukti dan menjadi kenyataan. Di masa pemerintahan Umar bin Khattab, tak hanya Syam, Persia, dan Yaman, Islam justru sudah tersebar hingga negeri-negeri Afrika. Allahu Akbar.

Hari ini seakan-akan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam hadir memotivasi dan memberi kita spirit kehidupan dengan kisah-kisahnya yang penuh optimisme, percaya diri, dan selalu berbaik sangka kepada Allah, sebab dengan itulah kita akan menatap dan mendapatkan masa depan yang cerah dan gemilang dari Allah Subhanahu wata’ala. Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ

“Aku tergantung prasangka hamba-Ku. Jika ia berbaik sangka kepada-Ku, maka baginya takdir baik. Apabila ia berburuk sangka kepada-Ku, maka baginya takdir yang buruk.” (HR. Ahmad dari Abu Hurairah ra.)

REFERENSI:

[1] Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari (Kairo: Dar Thuq An-Najah, 1422 H) v.04, p.115.

[2] Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri, Ar-Rahiqul Makhtum (Kairo: Darul Wafa, 2010), p. 103.

[3] Muhammad Said Ramdlan Al-Buty, Fiqhussirah (Damaskus: Darul Fikr, 1426 H), p. 97. [4] Achmad Ainul Yaqin, Semerbak Senyum Nabi (Yogyakarta: Belibis, 2020), p. 135.

[5] Muhammad Mutawalli Sya’rowi, Tafsir AsSya’rowi  (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1997) v.08, p. 5125.

[6] Raghib Al-Sirjani, “حفر الخندق” (online), https://islamstory.com/-حفر-الخندق (diakses 17/4/2010).

[7] Muhammad Rido, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam (t.tp: t.p, t.th) p. 346. [8] Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad (Beirut: Muassasah Risalah, 2001) v.15, p.36.

Kontributor

  • Achmad Ainul Yaqin

    Bernama lengkap Achmad Ainul Yaqin, Lc., M.Ag. Pengasuh Ponpes Tafsir Hadis SHOHIHUDDIN 2 Prapen Surabaya | Narasumber Radio Suara Muslim Surabaya