Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Orang-orang Suryani dan Jembatan Kebudayaan Yunani-Islam

Avatar photo
40
×

Orang-orang Suryani dan Jembatan Kebudayaan Yunani-Islam

Share this article

Pada masa Umayyah, orang-orang Suryani
menghubungkan arus-arus kebudayaan yang berbeda. Mereka membawa budaya luar ke
dalam lingkungan mereka lalu menyandingkannya dengan yang lain. Di antaranya ialah
kebudayaan Yunani dan Islam-Arab. Sikap menerima budaya asing secara selektif
seperti itu adalah bentuk apresiasi yang masih sangat langka kala itu.

Setiap kebudayaan memang memiliki coraknya
masing-masing, tak terkecuali kebudayaan Arab, Suryani atau Yunani sekalipun.
Misalnya dalam hal-hal yang menonjol, seperti Yunani dengan gudang
pengetahuannya, Romawi dengan sistem pemerintahannya. Sedang Arab dan Suryani
dengan kesusastraan serta keyakinan beragamanya.

Meski begitu, pada saatnya, entah karena kebetulan
atau memang kesengajaan, kebudayaan yang berbeda-beda itu akan bertatapan dan
bersanding bahkan terikat lalu membentuk sesuatu yang baru. Termasuk di
antaranya, pertemuan kebudayaan Yunani, Suryani dan Islam-Arab.

Proses penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari
orang-orang Yunani ke masyarakat Suryani kemudian masuk ke lingkungan bangsa
Islam-Arab bisa dikatakan sebagai difusi. Walaupun cara yang berlangsung tidak
sama, tetapi teknik meniru atau perpindahan yang telah terjadi dalam proses itu
sangat kentara.

Kemudian ada proses dalam persinggungan antar
kebudayaan di sana yang barangkali bisa saya katakan sebagai proses damai.
Sebab tidak ada pertumpahan darah dalam perpindahan dan penyebarannya. Meskipun
begitu, ada perbedaan dari jalan damai yang ditempuh kebudayaan Yunani yang
dipegang orang-orang Suryani menuju ke lingkungan budaya bangsa Arab. Jalan
damai yang kedua itu saya katakan berbeda karena ada aroma pemaksaan meskipun
tidak secara langsung. Sebab proses damai itu telah didahului oleh penaklukan
sebelumnya.

Sebelum berinteraksi dengan Islam-Arab,
orang-orang Suryani telah lebih dulu bersentuhan dengan budaya Yunani. Filsafat
Yunani terlebih mazhab Neoplatonisme, bersinggungan dengan masyarakat Suryani
yang menetap di Irak dan sekitarnya. Bahkan mereka memberikan andil dalam
menyebarkan kebudayaan tersebut. Misalnya, melalui penerjemahan buku-buku
filsafat Yunani ke dalam bahasa Suryani, mereka menyebarkan filsafat
Neoplatonisme di wilayah Irak dan sekitarnya.

Bahasa Suryani yang merupakan satu di antara
bahasa peradaban kuno Aramaic dan menempati posisi penting zaman itu, membuat
penyebarannya lebih efektif. Bahasa Suryani kala itu menjadi bahasa ibu dari
ajaran paganisme di beberapa wilayah.

Bahasa Suryani menjadi bahasa sastra
dan keilmuan
di semua buku orang-orang Nasrani
yang menetap di Antalya (sekarang, suatu kota di Turki) dan bahasa bagi
orang-orang Nasrani di wilayah Persia. Bahkan di Harran, satu kota kuno besar
di sekitar Irak,  ia menjadi bahasa keagamaan dan sastra  orang-orang
Majusi.

Di kemudian hari, Harran, kota itu menjadi pusat
penyebaran bagi paganisme dan budaya Yunani. Bahkan sampai setelah kedatangan
Islam ke daerah Irak, Harran masih berdiri dan menjadi pusat orang-orang
Suryani memberikan pengaruhnya kepada orang-orang Islam saat itu.

Orang-orang Suryani menerjemahkan ilmu-ilmu Yunani
dengan teliti dan terpercaya. Upaya itu dapat dilihat ketika mereka tidak
menabrakkan dan menyelipkan keyakinan agamanya di dalam buku-buku yang
diterjemahkannya. Entah muatan buku itu bertentangan dengan keyakinannya
ataupun sesuatu yang umum seperti ilmu logika, pengobatan dan matematika.

Mereka berupaya untuk berlaku objektif dalam
menerjemahkan. Mereka berusaha menerjemahkan teks dengan apa adanya tanpa
menyelipkan keyakinan dan pemahaman mereka di dalamnya. Bahkan dalam wilayah
teks-teks ketuhanan, mereka berupaya mengalihbahasakan dengan menyesuaikan
keyakinan orang-orang Yunani.

Setelah Islam menaklukan wilayah Irak dan
sekitarmya, orang-orang Suryani tetap melanjutkan upaya penerjemahan dan
penyebarannya meskipun reaksi mereka terhadap kedatangan lslam tidak sama.
Sebagian memutuskan masuk Islam dan yang lainnya tetap memegang agama lamanya.
Mereka memiliki karakter yang ulet. Mungkin karena itu orang-orang Suryani
memiliki kedudukan istimewa di masa Umayyah. Bahkan di masa itu,
sekolah-sekolah yang mereka dirikan tetap diperbolehkan melangsungkan
kegiatan-kegiatannya.

Yakub Al-Rahawi
adalah satu di antara orang-orang Suryani yang terkenal di masa Umayyah. la
seorang Nasrani yang mempunyai pengaruh besar kala itu. Di samping
menerjemahkan karya dari bahasa Yunani ke Suryani, ia mengajarkan pelbagai ilmu
pengetahuan, seperti filsafat dan matematika kepada orang-orang lslam.
Barangkalı itu satu contoh bagaimana orang Islam menerima budaya-budaya Yunani
melalui jembatan kecil bernama Yakub al-Rahawi.

Jika lebih jauh lagi, akan ada nama-nama lain yang
muncul dan barangkali akan berserakan. Hunain bin Ishak adalah yang
paling terkenal melalui penerjemahan yang melimpah dan penting di masa Abbasiyah.
Kalau saja Yakub Al-Rahawi berumur lebih panjang atau hidup semasa dengan
Hunain bin Ishak, mungkin namanya akan sejajar dengan Hunain dan mendapat
apresiasi yang lebih tinggi.

Filsafat Yunani berbaur dengan kehidupan orang
Islam-Arab di era Umayyah. Lebih mencolok lagi di masa Abbasiyah. Saya ingin
mengatakan bahwa orang-orang Suryani berperan sebagai jembatan yang berhasıl
menghubungkan dua kebudayaan itu.

Apalagi, di sisi yang lain mereka juga menunjukkan
bahwa orang Islam-Arab tidak hanya mengasingkan diri untuk beribadah,
memperluas wilayah, dan menumbuhkan cara berpikir secara mandiri. Akan tetapi,
masyarakat Islam-Arab juga berinteraksi untuk mengembangkan kebudayaannya dan
bertoleran dengan budaya lainnya. Bahkan hubungan itu telah berlangsung sejak
masa pra Islam. Lalu di era Islam interaksi semacam itu cenderung lebih giat
dan masif.

Di titik ini, kita akan memahami peran yang tidak
kecil dari orang-orang Suryani. Ketika filsafat Yunani tersebar di wilayah Irak
dan sekitarnya, kita tahu orang-orang Suryani menyebarkannya lewat
sekolah-sekolah dan penerjemahan yang ulet. Kita tahu bagaimanaa semangat
mereka dalam mengapresiasi keilmuan dan kebudayaan lain yang kemudian
dilanjutkan oleh orang Islam di masa Abbasiyah. Selain mengapresiasi, setidaknya
kita juga perlu belajar dari mereka.

 

Kontributor