Angin kencang Santa Ana yang mampu berhembus lebih dari 100 km perjam berikut kebijakan-kebijakan pengelolaan dan perencanaan kota, diduga kuat semakin memperparah kebakaran yang merusak wilayah Los Angeles selama lebih dari dua pekan ini. Namun itu hanya semata ranting, bila ditelisik maka yang diduga kuat sebagai akarnya adalah perubahan iklim.
Untuk hal-hal di luar jangkauan pemahaman kita, Al-Quran memberi anjuran untuk bertanya kepada para pakar atau mereka yang secara mendalam menggeluti bidang tertentu. Penjelasan logis dan ilmiah terkait musibah kebakaran misalnya, alih-alih terjerumus dalam prasangka buruk, bukankah jauh lebih baik menyimak penjelasan mereka yang mengerti pokok masalah dari hulu sampai ke hilirnya?
فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ
Benarkah ada hubungan antara perubahan iklim dengan meningkatnya resiko tingkat kerentanan kebakaran hutan di California? Untuk pertanyaan serupa, Daniel Swain, seorang pakar iklim memberikan jawaban dalam blognya, Weather West: “Yes, that much is clear at this point.” Tidak jauh berbeda, Adam Rose, selaku profesor peneliti di USC Price School of Public Policy menjawab singkat: “Definitely.” Lebih singkat lagi Profesor Erica Smithwick dari Institute of Energy and the Environment berujar: “Yes!”
Bukti ilmiah yang menghubungkan antara perubahan iklim dengan kebakaran ekstrem di sejumlah hutan sangat jelas. Sederhana sekali, cuaca yang lebih panas dan kering, dibantu angin yang lebih kencang, meniscayakan vegetasi setempat jauh lebih mudah terbakar.
Sebuah analisis yang dilakukan para pengkaji iklim di Universitas California, Los Angeles, mengungkapkan bahwa vegetasi di tempat kebakaran Palisades dan Eaton terjadi 25 % lebih kering daripada jika tidak ada momok bernama perubahan iklim. Mereka meyakini bahwa potensi kebakaran tetap tinggi meski tanpa perubahan iklim, namun diyakini tidak akan terlalu intens dan jauh lebih kecil.
Hasil analisis lain yang dilakukan sekelompok pakar klimatologi dalam majelis bernama ClimaMeter, juga menjelaskan bahwa perubahan iklim telah memperparah kekeringan dengan suhu hingga lima derajat Celsius lebih panas, di samping kondisi yang mencapai 15 % lebih kering dalam beberapa dekade terakhir jika dibandingkan dengan periode 1950 hingga 1986.
Tahun 2024 kemarin disebut-sebut sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, suhu yang dimungkinkan tidak akan menurun pada tahun ini. Satu dekade terakhir juga dicatat sebagai dekade terhangat sejak pertengahan abad 19, yakni sejak manusia mampu mengukur suhu dengan angka-angka.
Melelehnya salju yang tidak bisa dicegah, kekeringan yang lebih lama dan parah, serta penguapan lebih besar sehingga menyebabkan benda-benda menjadi kering dan mudah terbakar. Beberapa hal tersebut niscaya menunjukkan pasang surut pola sirkulasi atmosfer lebih labil dan tidak menentu.
Angin kencang Santa Ana selama ini menjadi penanda umum bagi setiap musibah kebakaran hutan di California Selatan. Pada tahun ini, sialnya, angin tersebut benar-benar mengamuk, menarik udara kering dari dataran tinggi Great Basin dan menjadikan tanaman-tanaman yang disapunya mengering dalam sekejap. Angin tersebut kemudian juga menghambat pemadaman, lantaran tidak aman menerbangkan pesawat dan helikopter pengangkut air. Meskipun sampai detik ini tim penyidik belum dapat menyimpulkan sumber tunggal penyulut api di kebakaran LA sejak tanggal 07 lalu, yang jelas, “kipas” alami yang menyulut api tersebut dipastikan berputar lebih kencang dari biasa.
Musim panas yang semakin panjang adalah faktor yang menambah resiko bencana ini sulit dikendalikan. Musim panas tahun kemarin bermula lebih awal pada musim semi, dan, berlangsung lebih lama hingga ‘mengambil jatah’ musim gugur. Semakin panjang cuaca kering, semakin sering terjadi tumpang tindih dengan siklus angin Santa Ana yang berlangsung dari Oktober hingga Januari. Lazimnya, hujan akan turun sebelum Januari, sehingga tanaman-tanaman memeroleh asupan air dan mampu mengurangi resiko kebakaran. Namun, pergantian musim yang labil memaksa hujan turun lebih jarang dan tidak kerap karena akhir musim gugur telah berubah menjadi musim dingin.
Perubahan iklim tidak semata memperburuk keadaan dengan mengeringkan semak-semak. Perubahan iklim juga berkontribusi terhadap apa yang oleh Daniel Swain sebut sebagai “whiplash” di antara keadaan yang sangat basah dan terlampau kering. California Selatan tercatat mengalami lebih banyak kejadian musim dingin yang sangat basah diikuti oleh musim panas dan musim gugur yang terlampau kering. Fakta itulah yang terjadi sebelum kebakaran baru-baru ini: musim dingin 2022-2023 dan 2023-2023 sangat lembap, hal yang kemudian menyebabkan lebih banyak tunas baru bermunculan dan dedaunan yang semakin rimbun. Kemudian disambut musim panas dan musim gugur yang paling ganas sepanjang sejarah, bisa dibayangkan betapa lahapnya api menyantap rerimbunan serta tunas-tunas dari tahun lalu yang sudah membesar dan mengering.
Begitu musim panas bermula, semua rerumputan dan semak-semak mengering. Dan di saat suhu meningkat dengan akumulasi gas rumah kaca di awang-awang, atmosfer akan menyerap air lebih banyak dari tanah serta tumbuhan melalui penguapan. Semakin kering tanah dan segala yang ada padanya, semakin mudah terbakar ketika muncul percikan si jago merah.
Meskipun faktor-faktor yang menjadi penyebab bencana ini masih pelik dan rumit disimpulkan, jelas bahwasannya perubahan iklim-lah yang awal mula membuka lebar-lebar ruang yang membuatnya semakin cepat menjarah. Seperti yang dikatakan Greta Cazzaniga, seorang ilmuwan iklim di ClimaMeter dan Institut Pierre-Simon Laplace di Prancis, dalam pernyataan pers baru-baru ini, “Kebakaran hutan Los Angeles telah menginformasikan bagaimana bermacam keadaan ekstrem semakin diperburuk oleh perubahan iklim, (faktor-faktor tersebut) tampak saling berinteraksi untuk memicu bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
Di samping menunjukkan empati dan simpati, ada beberapa hal yang bisa ditarik sebagai butir ilmu dari bencana kebakaran di LA dan di sejumlah tempat sebelum-sebelumnya. Pertama, menyadari korelasi gaya hidup konsumtif dengan gas rumah kaca dari bahan bakar fosil. Ilmu pengetahuan menginformasikan pengurangan emisi bahan bakar fosil niscaya membantu mencegah marabahaya ekstrem di waktu mendatang. Ikhtiar ini tidak berarti harus meninggalkan gaya hidup mewah selaku makhluk modern, pasalnya industri energi terbarukan tumbuh sampai 50% pada tahun 2023 lalu dan dimungkinkan akan meningkat dua kali lipat atau lebih pada 2030 mendatang seiring maraknya investasi hijau yang berkelanjutan.
Berikutnya, diperlukan dukungan terhadap pengelolaan hutan secara sehat dan berkelanjutan demi melestarikan ekosistem yang kritis dan sensitif, meningkatkan kehati-hatian dalam memanfaatkan api terutama di sekitar area infrastruktur dan pemukiman warga, serta memberikan dukungan sosial bagi masyarakat yang terdampak kebakaran.
Selanjutnya, musti benar-benar kembali diingat dan dipahami bersama bahwa kini kita tengah menjalani kehidupan bersama di zaman Pirosen (Pyrocene Era). Era di mana segala lini kehidupan bergantung pada pembakaran bahan bakar fosil untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan, sehingga akibat pemanasan yang diakibatkannya, kebakaran hutan, serta berbagai macam musibah api lainnya, adalah harga mati yang tidak jarang musti kita beli.
Meskipun tantangan yang dihadiahkan perubahan iklim sedemikian berat, kita belum sampai pada titik harus pesimis. Marak terjadi di segala penjuru dunia, manusia berbondong-bondong hijrah ekologis ke energi terbarukan, gaya hidup berkelanjutan, serta manajemen yang super hati-hati dalam kaitannya dengan unsur api serta elemen-elemen alam lainnya. Peningkatan pembelajaran dalam beradaptasi, berinovasi, serta pengelolaan sumber daya yang dimiliki bersama adalah kurilulum wajib bagi masyarakat Pirosen.
Walakhir, hal yang tergolong haram dilupakan adalah, bahwa, musibah yang menimpa Los Angeles, dengan tingkat kerentanan berbeda dapat terjadi di Jakarta, Solo, Denpasar, Aceh, atau di sembarang kota manapun kita berada. Wallāhu a’lam biṣ-ṣawāb.