Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Perayaan kurban dalam tinjauan ekoteologi Islam

Avatar photo
30
×

Perayaan kurban dalam tinjauan ekoteologi Islam

Share this article

Seperti pada umumnya hari raya keagamaan, perayaan Idul Adha secara langsung akan berdampak pada kesehatan ekologi. Mulai dari makanan, minuman, serta pakaian yang dipersiapkan kerap kali meninggalkan jejak negatif bagi lingkungan.

Perayaan-perayaan religius tidak jarang terkesan berlebihan, boros, pesta pora, atau foya-foya yang menyebabkan berbagai bentuk pencemaran. Melahirkan sebuah kondisi yang terangkum oleh salah satu kosakata Al-Quran sebagai takatsur.

اَلْهٰىكُمُ التَّكَاثُرُۙ

Bermegah-megahan telah melalaikanmu. (QS. At-Takatsur: 1)

Tempat sembahyang selepas shalat Ied tidak jarang menyisakan sampah dalam jumlah besar, limbah berserakan di mana-mana, sebagian diterpa angin kemudian nyangkut dan menjadikan tempat yang dihinggapinya tidak estetis dan kurang higienis.

Umat muslim pada hari raya Idul Adha menjalankan ibadah kurban sebagai penghayatan terhadap cinta tertinggi Nabi Ibrahim terhadap Allah dengan mematuhi perintah-Nya untuk mengorbankan putranya, yang kemudian diganti-Nya dengan seekor binatang kurban.

Oleh karena itu disyariatkan kepada umat muslim pada lebaran ini mempersembahkan ‘pengorbanannya’ berupa binatang-binatang tertentu. Sayangnya, di halaman-halaman rumah maupun di tempat-tempat penyembelihan seringkali menyisakan darah, kulit, sisa lemak, dan lain sebagainya.

Menurut catatan Badan Pangan PBB (FAO), 26% daratan non-es terpakai untuk peternakan ruminansia (kambing, sapi, domba, kerbau, dll) dan 33% lahan pertanian memproduksi pakan binatang-binatang tersebut. Oleh sebab itu, peternakan menyumbang sebanyak 7% total emisi global per tahun melalui fermentasi enterik (fermentasi dalam tubuh binatang) dari lahan peternakan sekaligus pupuk kandang yang dihasilkan.

Siapa pun mengetahui bahwa di Indonesia tingkat pertumbuhan ruminansia cukup pesat, sehingga memiliki tanggung jawab besar pula sebagai penghasil emisi gas metana. Atas dalih ini pula, agaknya teramat sulit bila harus menggagas kurban nol karbon, namun setidaknya dengan mengetahui sedikit wawasan ekologi seorang muslim dapat lebih berhati-hati dalam mengambil langkah. Harus mampu mengukur batas supaya tidak menapaki ranah takatsur dalam berkurban dan merayakan lebaran.

Berbagai menu makanan disajikan di rumah-rumah yang bergantian didatangi kerabat, tetangga, ataupun sahabat dekat. Tentu hal ini menyebabkan pemborosan yang menghadirkan limbah dalam jumlah besar selama beberapa hari, jumlah hidangan dapat dipastikan lebih banyak dari volume perut yang sanggup menampungnya.

Presentase tahunan selalu bisa dipastikan bahwa angka permintaan daging sapi, kambing, ayam, serta telur dan sayur mayur pada dua hari raya Islam meningkat sekitar 50% dibanding hari-hari biasa. Perbelanjaan pangan berlipat ganda menandakan gaya hidup boros yang bertolak dengan prinsip kesederhaan yang digaung-gaungkan Islam.

Meroketnya pendapatan dan standar hidup tidak berarti bahwa pemborosan juga harus meningkat. Hal ini yang acap kali tidak terpikirkan oleh seorang muslim. Dalam momen Idul Adha, seorang muslim perlu berpikir dua kali sebelum membeli sandang pangannya, dengan cara menakar-nakar dampak yang akan diberikan terhadap kesehatan lingkungan.

Suasana meriah terbalut kegembiraan yang membuncah-buncah di hari yang penuh berkah ini, wajar bila setiap muslim tergugah hatinya untuk menyebarkan kebahagiaan, pengorbanan, serta kasih sayang antar sesama. Namun, siapa pun menyadari perayaan-perayaan tersebut pasti datang dengan label harga yang lumayan tinggi.

Diberitakan bahwa pada perayaan Idul Adha dan Idul Fitri masyarakat 50% lebih konsumtif dibandingkan hari-hari biasa. Itu tidak aneh, karena maraknya family gathering, healing berupa jalan-jalan, belanja ini itu, yaitu ketika semua orang mengenakan pakaian baru sembari mengonsumsi lebih banyak makanan dan minuman dibanding hari-hari normal.

Islam dan ekologi

Sampah plastik menjadi masalah utama dalam pencemaran lingkungan

Cara pandang Islam tentang perlindungan lingkungan mencerminkan citra positifnya dalam menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi manusia di muka bumi. Langkah Islam terhadap pelestarian lingkungan dan sumber daya alam tidak hanya didasarkan pada larangan eksploitasi berlebihan tetapi juga pada pembangunan berkelanjutan.

Demikian pula sikap dalam bermateri, Islam melarang pemeluknya berlebih-lebihan, yang mana, dalam kajian ekologi kontemporer, selalu diletakkan sebagai sumber utama kerusakan alam. Dalam hal ini, mari simak firman-Nya berikut:

 يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus tiap kali (memasuki) masjid, makan dan minumlah kalian, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’raf: 31)

Salah satu inti iman dalam Islam adalah meyakini bahwa segala sesuatu yang dimiliki seorang muslim tidak semata dihadiahkan oleh Tuhan begitu saja, tetapi hakikatnya secara mutlak tetap menajdi milik-Nya. Sebagai konsekuansi atas dasar keyakinan ini, apa yang menjadi milik manusia tidak lain sebatas titipan yang harus dijaga dan dikembalikan kepada-Nya dalam bentuk sebaik mungkin. Lebih jauh lagi, Al-Quran menyebutkan apa pun yang dikaruniakan kepada manusia adalah instrumen untuk menguji mereka. Bisa disimak satu ayat berikut:

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلٰۤىِٕفَ الْاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْۗ اِنَّ رَبَّكَ سَرِيْعُ الْعِقَابِۖ وَاِنَّهٗ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah muka bumi dan mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas (karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-An’am: 136)

Atas amanah tersebut, dalam ayat lain Allah menekankan untuk menyisihkan sebagian harta kekayaan untuk disedekahkan:

اٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَاَنْفِقُوْا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُّسْتَخْلَفِيْنَ فِيْهِۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَاَنْفَقُوْا لَهُمْ اَجْرٌ كَبِيْرٌ

Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya) memperoleh pahala yang besar. (QS. Al-Hadid: 7)

Seorang muslim seyogianya menyadari prinsip keimanan ini untuk kemudian menjaga baik-baik yang dititipkan padanya, yakni alam berikut segala sumber daya yang ada padanya. Bertolak dari prinsip antroposentrisme era modern yang terlampau mendominasi, dalam Islam manusia semata pengemban amanah. Bukan pemilik mutlak.

Tidak dapat dipungkiri perilaku buruk manusia telah menyebabkan perubahan iklim serta kerusakan-kerusakan lingkungan. Dengan jelas Al-Quran menyebutkan bahwa manusia bertanggung jawab atas kerusakan-kerusakan yang diakibatkannya baik di daratan maupun di lautan (lihat surah Ar-Rum ayat 41).

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sempat memberikan perkiraan data menyoal kantung plastik untuk mengemas daging kurban, yakni sebanyak kurang lebih 900 kantung plastik yang dihasilkan oleh per satu tempat kurban. Jika misalnya satu desa saja memiliki 10 RW, dan setiap RW mempunyai satu tempat pemotongan kurban, maka akan ada sebanyak 9000 kantung plastik terpakai yang kemudian terbuang menjadi toksik lingkungan.

Kurban ramah lingkungan

Daging kurban di Istiqlal dibungkus dengan besek (sumber: detik).

Dapatkah merayakan Idul Adha dengan cara yang lebih ramah? Tentu.

Meski dampak negatif ulah manusia seringkali begitu besar dan beragam, kontribusi positif seseorang tidak bisa disepelekan. Sekecil apa pun itu.

Hal-hal kecil berikut dapat dilakukan dengan mudah oleh siapa saja di mana saja, demi terciptanya suasana lebaran yang meriah namun ramah, sederhana tapi bahagia, tanpa menjadikan lingkungan terlihat porak-poranda.

1. Hindari penggunaan kantong plastik. Semakin sedikit menggunakan plastik berarti semakin kecil dosa mencemari lingkungan dengan limbah yang bakal berumur ratusan tahun itu.

Untuk keperluan belanja, selayaknya membawa tas kain atau kantung plastik bekas yang masih layak pakai. Beberapa negara telah melarang belanja dengan kantung plastik, di Indonesia baru berlaku di beberapa kota saja, itu pun pada mart-mart besar belaka.

2. Ganti piring serta gelas plastik sekali pakai dengan produk-produk yang layak digunakan kembali maupun yang dapat mudah diurai.

Benda-benda berbahan kertas misalnya, selain murah juga mudah terurai dan dapat didaur ulang, sehingga tidak terlalu berbahaya ketika terbuang. Selain itu, agaknya perlu menyajikan setiap menu dalam wadah yang lebih kecil untuk mengurangi sampah dan menghindari pemborosan.

3. Berbagi dengan fakir miskin adalah laku yang amat sangat dianjurkan, lebih-lebih ketika hari raya. Alih-alih membiarkan makanan basi dan terbuang, alangkah bijak bila sejak masih hangat sudah disisihkan sebagian untuk mereka.

4. Mengkampanyekan langkah-langkah cerdas dalam menjaga lingkungan kepada para tamu yang berkunjung tentu menjadi obrolan yang asik dan berisi, misalnya dengan sentilan-sentilan ringan seperti-bahwa meluangkan waktu untuk peduli secara aktif menjaga kelestarian alam juga bisa dimaknai sebagai berkurban.

5. Menanam pohon, menggunakan air seperlunya, memanfaatkan energi listrik secukupnya, mengganti AMDK (air minum dalam kemasan) dengan botol yang lebih awet yang dapat diisi dan digunakan kembali, serta langkah-langkah kecil namun berarti lainnya.

Kaidah koteologi Islam amatlah sederhana, sekecil apapun sebuah tindakan, baik maupun buruk, akan berdampak langsung pada ekosistem lingkungan di sekitarnya.

Dari situ muncul pertanyaan sederhana pula: bagi krisis lingkungan, cara kita merayakan Idul Adha terhitung sebagai solusi atau sebaliknya? Setiap orang bisa menakar-nakarnya sendiri.

Selamat lebaran. Semoga segala ikhtiar baik terhadap kelestarian alam dinilai lebih dari sekadar berkurban.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.