Perkembangan ilmu pengetahuan teknologi
telah berdampak besar terhadap kehidupan umat manusia. Di antaranya
penggunaan perangkat elektronik untuk berkomunikasi dengan sesamanya melalui aplikasi
media
sosial
media.
Tanpa disadari, hal tersebut sangat
berdampak terhadap aspek hukum sebagai norma yang mengatur keamanan dan
ketertiban dalam kehidupan manusia. Sikap bijaksana dalam menyikapi perkembangan
zaman tersebut adalah dengan mengacu kepada
prinsip Maqhasid
Syariah.
Asas
Legalitas Dan Fungsi Hukum
Membahas mengenai hukum tidak dapat
dilepaskan dari sebuah asas yang menjadi dasar berlakunya suatu aturan terhadap
persoalan tertentu, atau yang lebih dikenal dengan sebutan asas legalitas (The Principle of Legality). Asas
tersebut pada intinya menekankan bahwa tiada suatu hal/perbuatan yang dapat
dihukum atau dinyatakan salah kecuali telah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan atau dalam istilah bahasa latin sering disebut “nullum delictum nulla poena sine praevia
lege poenali”.
Dalam konteks hukum pidana, asas
legalitas menjadi landasan penting yang menjelaskan bagaimana ketentuan pidana
berlaku. Suatu aturan pada hakikatnya berusaha melindungi hak-hak setiap
individu dari berbagai ancaman atau potensi pelanggaran yang bisa saja muncul
ketika berada di wilayah publik. Oleh karenannya, sangat diperlukan rumusan
yang jelas mengenai aturan hukum sebagai kaidah penting dalam kehidupan umat
manusia.
Dirumuskannya asas legalitas tidak dapat
dilepaskan dari faktor sejarah, yang mulai dikembangkan di barat. Pada saat itu hukum yang berlaku
disandarkan terhadap kekuasaan seorang raja dengan kewenangan absolut yang
dimilikinya. Mengenai apa yang boleh dilakukan dan tidak, ditentukan oleh raja
secara sepihak tanpa adanya landasan yang jelas. Perihal demikian dipandang
tidak adil. Maka seringkali hukum menjadi alat bagi penguasa untuk berlaku
sesuai dengan kepentingannya. Hal inilah menjadi dasar dari cita-cita untuk
membentuk hukum yang memperhatikan aspek-aspek hak asasi manusia, keadilan, dan
kepastian atau yang kita kenal saat ini sebagai asas legalitas.
Konstruksi mengenai asas legalitas dalam
hukum pidana Indonesia termaktub dalam Pasal 1 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang berbunyi “Suatu
Perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan
pidana yang telah ada”.[1]
Dari rumusan inilah mejadi dasar dalam memberlakukan suatu hukum
harus didasarkan pada rumusan yang jelas. Perlu dipahami bahwa tujuan
dirumuskannya asas legalitas ini ialah untuk memberikan batasan terhadap
pembentuk undang-undang dalam merumuskan suatu kebijakan, serta mengatur
bagaimana aparat hukum agar meminimalisir potensi tindakan sewenang-wenang
dalam penegakan hukum. Mengingat bahwa hukum tidak berangkat dari ruang hampa,
melainkan telah ada aspek-aspek seperti sosial-budaya dan agama yang begitu
mendasar dalam kehidupan masyarakat.
Perlindungan HAM Di Era Digital: Perspektif Maqashid Syariah
Sebagaimana telah disinggung pada poin
diatas, asas legalitas begitu erat dengan persoalan hak
asasi manusia. Hukum tidaklah boleh diterapkan atas kepentingan pihak
tertentu saja, melainkan harus ada landasan yang jelas mengenai suatu perbuatan
apa boleh dan tidak untuk dilakukan.
Perkembangan zaman telah membawa
perubahan besar terhadap sturktur kehidupan masyarakat terutama di era
digital saat ini. Jika dahulu antar individu berkomunikasi secara langsung
dalam satu waktu dan tempat, namun kini telah berubah karena dimanapun dan
kapanpun setiap individu dapat berkomunikasi dengan individu lain melalui
perangkat elektronik dan media penghubung seperti WhatsApp, Facebook, Twitter,
dan Instagram.
Maka sudah barang tentu bahwa hukum yang
tadinya sebatas berlaku dalam wilayah empiris, namun saat ini harus merambah ke
dalam dunia virtual yang didalamnya juga terdapat hubungan sosial sebagaimana
dalam kehidupan nyata.
Persoalan demikian bukan saja dapat
dilihat dari sudut pandang hukum positif, melainkan dapat juga dipandang
menggunakan kaidah dalam hukum Islam yaitu prinsip Maqashid Syariah atau tujuan syariah.
Dapat kita pahami seksama bahwa
penggunaan teknologi informasi digital seperti media sosial dalam kehidupan
masyarakat merupakan suatu persoalan yang berkaitan prinsip muamalah dalam
Islam. Hukum Islam tidak menolak adanya kemajuan zaman dengan segala
perkembangan IPTEK yang ada, namun ada batasan-batasan yang wajib diperhatikan
terutama menyangkut hubungan antarsesama manusia.
Terdapat lima poin penting dalam prinsip
Maqhasid Syariah yaitu: memelihara
agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Hakikat dari maqashid syariah
tersebut merupakan bentuk kasih saying Tuhan kepada hambanya agar dapat
menjalani kehidupan dengan aman, nyaman dan bahagia. Mengutip dari sebuah
jurnal, ada salah satu ahli ushul fiqh yaitu Izzuddin bin Abdus Salam
tokoh ushul bermazhab Syafi’i. melalui karyanya Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam,
beliau telah mengelaborasikan hakikat maslahat dalam konsep Dar’ul al-Mafasid wa Jalbu al-Manafi’
(menolak atau menghindari kerusakan dan menarik manfa’at). Baginya mashlahat
tidak dapat terlepas dari tiga peringkat, yaitu dharuriyyat, hajiyyat dan
tatimmat atau takmilat. [2]
Merujuk dari pendapat diatas, maka bila
digunakan untuk memahami persoalan penggunaan media digital seperti sosial
media sebagai sarana sosialisasi dapat digolongkan ke dalam kebutuhan hajiyyat (sekunder) yang sifatnya adalah
pelengkap kebutuhan primer.
Namun yang menjadi urgensi di sini
ialah penggunaan media sosial tersebut harus berpedoman pada kaidah-kaidah
hukum yang berlaku, termasuk memperhatikan prinsip Maqhasid
Syariah guna menghindarkan keburukan dan mendatangkan manfaat untuk
kehidupan.