Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Politik dan nasionalisme NU

Avatar photo
31
×

Politik dan nasionalisme NU

Share this article

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi sosial keagamaan Islam di Indonesia yang didirikan oleh para Ulama pada tanggal 16 Rajab 1344 H. bertepatan dengan tanggal 31 Januari1926. Demi terwujudnya tatanan masyarakat yang demokratis dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), NU yang merupakan perkumpulan para kiai mencoba membangkitkan semangat para pengikutnya dan semangat masyarakat pada umumnya. NU lahir dari wawasan keagamaan dan kebangsaan.

Dalam perjalanan sejarah, perjuangannya NU banyak mengacu pada perjuangan politik untuk mencapai kebebasan dan kemerdekaan. Dasar pemikiran politik NU sangat dipengaruhi oleh paham keagamaan yang dianutnya, yakni Ahlus-Sunnah Wa aI-Jamaah, disamping itu juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Al-Mawardi dan Al-Ghazali. Ada lima prinsip yang dipegang teguh dalam dasar poitik NU, yaitu:

Pertama, Prinsip Ketuhanan. Prinsip ketuhanan di dalam kehidupan politik NU merupakan suatu yang mutlak bagi NU. Bentuk Negara bagi NU tidak harus Islam, yang penting dalam perjalanannya negara harus mencerminkan substansi ajaran Islam, yaitu nilai-nilai universal dari ajaran Islam seperti keadilan, kemakmuran, kejujuran, maupun kebebasan dalam menjalankan ibadah dan ritual keagamaan.

Kekuasaan dan kewenangan negara (pemerintah) selain mengandung amanat rakyat juga mengandung amanat ketuhanan. Oleh karena itu pemerintahan negara dilaksanakan sesuai dengan tuntutan moral keagamaan yang berorientasi pada kemaslahatan umum.

Kedua, Prinsip Musyawarah. Mekanisme perjalanan roda pemerintahan harus mengedepankan tentang prinsip musyawarah (al-Syura). Ketika berbicara mengenai pergantian kepemimpinan, maka yang menjadi dasar paling utama adalah peran rakyat atau ahl Syura.

Ketiga, Prinsip Keadilan. Keadilan merupakan salah satu tema penting dalam ajaran Islam. NU menjadikan keadilan sebagai salah satu prinsip yang selalu dipegang teguh dan dilaksanakan dalam setiap langkah yang diambil. Keadilan bagi NU bukan saja merupakan intisari ajaran Islam yang harus diamalkan, namun juga dapat menjadi spirit yang utama dalam rangka membangun Indonesia menuju masyarakat yang sejahtera secara merata.

Keempat, Prinsip Kebebasan. Prinsip kebebasan bagi NU diartikan sebagai suatu jaminan setiap orang untuk menyampaikan pendapatnya dengan cara yang baik, bertanggung jawab dan perilaku yang mulia Al-Akhlaqal Karimah. Dalam konteks bangsa Indonesia yang bersifat pluralistik, prinsip kebebasan perlu dijungjung tinggi, sehingga setiap individu maupun kelompok dapat menjalankan aktivitasnya masing-masing dengan tenang dan rasa aman. Untuk itu diperlukan saling menghormati terhadap segala bentuk perbedaan yang ada.

Kelima, Prinsip Kesetaraan. Prinsip NU memiliki pandangan yang inklusif dan substantif terhadap realitas masyarakat Indonesia yang plural. Bagi NU keragaman suku, ras, agama, budaya, maupun perbedaan pendapat dan golongan merupakan suatu keniscayaan. Pluralitas merupakan rahmat yang harus dihadapi dengan sikap membuka diri, saling menghormati dan menjalin kerjasama dengan menghilangkan sikap eksklusif. Prinsip kesetaraan menurut NU adalah suatu pandangan bahwa setiap orang atau individu mempunyai kedudukan yang sama tanpa adanya segala bentuk diskriminatif.

Kelima prinsip di atas telah menjadi dasar pemikiran politik NU selama ini, dan sangat dipegang teguh oleh NU. Ahmad Mustofa Bisri mengatakan, setidaknya ada tiga jenis politik dalam pemahaman NU, yakni: Pertama, Politik kebangsaan. NU sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam sejarah perjalanan Indonesia, NU selalu memperjuangkan keutuhan NKRI.

Kedua, Politik kerakyatan. Politik kerakyatan bagi NU sebenamya adalah implementasi dari prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar yang ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat. Ketiga, Politik kekuasaan. Politik kekuasaan atau yang lazim disebut politik praktis, merupakan jenis politik yang paling banyak menarik perhatian orang NU. Dalam catatan sejarah, terlihat bahwa NU pernah mendapatkan kekuasaan dalam pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955.

Nasionalisme NU berlandaskan kepada dasar pancasila dan selalu memperjuangkan kebangsaan. Sebelum tergabung dalam Jam’iyah NU, para ulama sudah merasakan denyut kebangkitan nasional. Ketika pemerintah Hindia Belanda memulai politik etis, putra-putri Hindia Belanda mulai sadar akan keterbelakangan yang menindas saudara sebangsanya. Maka pelan-pelan tumbuh organisasi pergerakan, baik dalam skala sempit, lokal-kedaerahan, maupun bersifat keagamaan.

Di pusaran arus lahirnya organisasi-organisasi yang menjamur tersebut, sampai saat ini NU adalah organisasi yang masih eksis dan semakin dinamis dalam memberikan kontribusi terhadap perjuangan di tanah air. Bahkan saat kesadaran kaum cendikiawan masih elitis dalam mendirikan organisasi, baik hanya untuk kaum terpelajar maupun daerah dan lokalitas tertentu, ulama-ulama pesantren tradisionalis telah lebih dahulu memiliki kesadaran nasionalis yang melampaui kepentingan-kepentingan primordial (kedaerahan), lihat saja sejarah NU yang berdiri dengan embrionya Nahdlatul Wathan, yang berarti “kebangkitan tanah air”.

Nama ini dengan sendirinya mengungkapkan, bukan kebangkitan Jawa, bukan kebangkitan Madura, bukan pula suku dan segmen kecil kepentingan lainnya, namun demi kebangkitan seluruh bangsa tanah air. Dan gerakan ulama yang mendahului kehadiran NU, sebagai wujud respon kepedulian dan kepekaan ulama atas situasi dan kondisi yang sedang dialami masyarakat Indonesia akibat penjajahan, antara lain; Nahdlatul Wathan, Tashwirul Atkar, dan Nahdlatul Tujjar.

Sejak dulu sampai sekarang NU selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan Negara Indonesia. Pada periode awal tumbuh dan berkembangnya pergerakan nasionalisme di tanah air, NU selalu turut dan aktif melakukan upaya pemupukan semangat nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu.

Oleh karena itu dalam konteks nasionalisme Indonesia, para kiai mengembalikan konsep nasionalisme ini pada realitas keterlibatan para pendiri NU dalam proses berbangsa dan bernegara mulai zaman penjajahan sampai sekarang. Pada masa pra-kemerdekaan, para kiai sudah memperlihatkan rasa nasionalisme dengan berbagai bukti sejarah, di antaranya adalah;

Pertama, ikap non-kooperasi dengan penjajah, kedua menolak perintah Belanda untuk masuk Staal Vanor log Bleg (SOB), sebuah intruksi yang mirip dengan wajib militer, ketiga, menjadi anggota tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang menjadi cikal-bakal TNI, keempat, gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah secara kultural. Para kiai bahkan sampai mengharamkan orang Islam menggunakan celana dan dasi karena hal itu menyerupai tradisi orang Belanda, kelima, ikut merumuskan piagam Jakarta dan Pancasila yang direpresentasikan oleh KH. A.Wahid Hasyim.

Setelah masa kemerdekaan, para kiai sangat intensif menjaga keutuhan dan kedaulatan negara dengan berbagai cara, diantaranya adalah; pertama pada 22 Oktober 1945 mengeluarkan fatwa perang suci (jihad) melawan tentara sekutu dan belanda yang menyerang kota Surabaya. Kedua, konsisten dengan bentuk negara Pancasila, sehingga memandang negara Islam (Dar al-Islam) sebagai tidak sah dan Kartosuwiryo dinyatakan sebagai pemberontak (Bughat).

Ketiga, memberi gelar kepada Soekamo sebagai Wali Al-Am Adh-Dharuri Bi Asy Syaukah. Esensi gelar ini adalah pemyataan sahnya Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia secara darurat, walaupun tanpamelalui pemilu. Keempat, bersedia duduk dalam kabinet NASAKOM.

Kelima, pada 1 Oktober 1965 menuntut pemerintah agar membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI),dan menyatakannya sebagai partai terlarang. Keenam, memplopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua ORMAS, yang diputuskan dalam musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama NU tahun 1983 di Situbondo Jawa Timur.

Syahdan, para pejuang kemerdekaan adalah para kiai yang merasa mendapat ilham dan terpanggil untuk memimpin perlawanan. Bruinessen juga menyatakan bahwa, tidak sedikit pemimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda adalah para kiai dan para Haji. K.H. Saifuddin Zuhri menjelaskan bahwa pada 1935, NU mendesak MIAI (Majlis Islam Ala Indonesia) untuk bersama GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) meningkatkan tuntutan Indonesia berparlemen kepada pemeritah Hindia Belanda, dan pemerintah Belanda di Den Haag. Tapi, pada waktu itu tuntutan tersebut ditolak oleh Belanda.

Tak hanya itu, para kiai juga melancarkan perlawanan terhadap Ordonansi yang ditetapkan oleh Belanda terhadap haji yang bermukim di Mekah. Para kiai NU yang sedang bermuktamar di Menes Cirebon Jawa Barat pada tahun 1938 memutuskan bahwa, Belanda harus mencabut keputusan tersebut dan membebaskan Jamaah haji dari keharusan membayar pajak.

Belanda tidak menyukai para jamaah haji karena, pada umumnya para Jamaah haji setelah pulang dari Mekah menjadi kiai dan tokoh masyarakat, yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Belanda selalu menyebarkan opini melalui Hurgrunye (orang Belanda yang sudah masuk Islam dan lama bermukim di Mekah), bahwa ziarah haji ke Mekah bukan untuk menjadi haji yang penuh damai, melainkan terdapat unsur anti Belanda yang penuh semangat pemberontakan.

Peranan NU tidak berhenti di situ saja. Ketika Belanda kembali untuk menjajah bangsa Indonesia, NU mengeluarkan keputusan yang dikenal dengan resolusi jihad pada tanggal 22 Oktober untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Yang menjadi gerakan NU dalam konteks Resolusi Jihad NU adalah, bentuk gagasan Islam substansialis yang lebih mementingkan substansi Iman dan amal dari pada bentuknya. Dan resolusi jihad NU dikokohkan kembali pada keputusan Muktamar NU ke-16 di Purwokerto pada tanggal 26-29Maret 1946 bahwa:

Pertama, bahwa berperang menolak penjajah adalah wajib “ain” atas tiap jiwa laki-laki atau perempuan, dana anak-anak yang berada di tempat yang dimasuki oleh mereka. Kedua, wajib “ain” atas tiap jiwa yang berada ditempat yang jaraknya kurang dari 94 km. terhitung dari tempat mereka. Ketiga, wajib kifayah bagi orang yang berada di tempat yang jaraknya 94 km. Keempat, kalau jiwa yang dalam nomor 1 dan 2 di atas tidak mencukupi, maka jiwa dalam nomor 3 wajib membantu sampai cukup.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.