Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Proses Ulama Berfatwa Menetapkan Status Hukum Kontemporer

Avatar photo
29
×

Proses Ulama Berfatwa Menetapkan Status Hukum Kontemporer

Share this article

Maulana Syaikh Ali Jum’ah dalam suatu kuliah umum,
menyatakan bahwa umat manusia telah memasuki suatu fase baru yang belum pernah
dilalui mereka.

Tepatnya, ketika periode 1830 M – 1930 M. Diawali dengan
revolusi industri jilid 1 di Inggris, ketika mereka berhasil membuat kapal
berbahan dasar besi mengapung di atas laut.

Padahal sepanjang ribuan tahun pena sejarah mencatat,
manusia hanya tahu kayu yang dapat mengapung di atas air. Pada periode yang
bersamaan, terjadi berbagai macam perubahan besar-besaran di seluruh dunia.

Seperti dalam bidang politik, ketika negara-negara eropa
mengalami perubahan bentuk sistem pemerintahan mereka.

Begitu juga dalam bidang teknologi dan sains, cikal
bakal dunia modern sudah mulai lahir. Seperti cikal bakal telepon, lampu,
mobil, bahkan penemuan bahan bakar minyak pertama kali dalam sejarah. Pada
periode ini, seakan-akan dunia memang menghendaki untuk berubah dengan sangat
cepat.

Dengan semua perubahan di dunia yang berlangsung sangat
cepat itu, maka dalam setiap perubahan pasti akan muncul hal-hal baru yang
belum pernah ada di masa lalu.

Karena agama Islam mempunyai Syariat yang sesuai untuk
setiap ruang dan waktu, maka hal-hal baru itu juga membutuhkan status hukum.
Namun, untuk menetapkan status hukum sebuah masalah secara syariat Islam,
tidaklah ditentukan begitu saja.

Perlu berbagai tahap, pertimbangan, dan analisa yang
mendalam. Kali ini saya akan mengajak untuk melihat secara ringkas bagaimana
para ulama menetapkan status hukum sebuah masalah kontemporer.

Apa saja langkah-langkah yang dilalui? Lalu,
pertimbangan apa saja yang “ditimang-timang” oleh para ulama? Dan apa saja
kemungkinan yang ada pada permasalahan yang baru?

Secara garis besar, ada 3 langkah utama yang dilakukan
oleh para ulama ketika akan menentukan status hukum sebuah permasalahan
kontemporer.

Yaitu:

1. Tashawwur.

2. Takyif al-Fiqh.

3. Tathbiq al-Hukm atau Tanzil al-Hukm.

Langkah pertama ialah Tashawwur. Secara mudah
kita dapat memahami Tashawwur dengan gambaran sebuah permasalahan. Mengapa
Tashawwur ialah hal yang sangat penting sehingga para ulama harus
melewati tahap ini dahulu sebelum menentukan status hukum sesuatu?

Jawabannya ialah, karena sebagaimana telah masyhur
sebuah kaidah:

الحكم على الشيء فرع عن
تصوره

“Hukum atas suatu perkara bergantung pada gambaran yang
tepat atasnya.”

Dari sini dapat kita pahami, bila dari Tashawwura
saja sudah salah, maka akan terjadi “Efek Domino” atau “reaksi berantai”.
Sehingga, langkah-langkah selanjutnya tentunya akan bermasalah. Dan otomatis,
hukum yang ditentukan pun juga tidak tepat.

Tashawwur merupakan hal yang
sangat esensial dalam menentukan status hukum sebuah permasalahan baru.

Pada tahapan ini, diperlukan untuk memandang sebuah
permasalahan paling tidak dari tiga sisi. Yaitu:

1. Gambaran atas permasalahan itu sendiri.

2. Gambaran atas realita tempat permasalahan itu
terjadi, baik dari segi ruang maupun waktu.

3. Gambaran atas permasalahan-permasalahan yang semisal,
dan permasalahan yang “tercampur-aduk” dengan permasalahan itu sendiri.

Karena, banyak kasus kontemporer yang sebenarnya terdiri
bukan hanya dari 1 permasalahan, melainkan ada berbagai macam permasalahan
dalam kasus itu.  Ibarat benang kusut,
maka ia perlu “diurai”.

Pada tahapan Tashawwur ini, tidak jarang juga
para ulama memerlukan Ahlu al-Khibrah atau pakar spesialis. Yaitu,
mereka yang memiliki kepakaran dan keahlian pada perkara tersebut.

Contohnya: bila suatu permasalahan yang baru itu dalam
bidang kedokteran, maka diperlukan seorang pakar dalam bidang kedokteran yang
menjelaskan rincian permasalahan itu. Karena, tidak semua ulama mengerti
masalah kedokteran, sehingga tetap dibutuhkan “tim ahli” untuk menjelaskan
masalah tersebut.

Dan yang harus kita ketahui juga, ketika status hukum
ditetapkan oleh para ulama, maka ia terikat dengan ruang, waktu, dan keadaan mustafti
(orang yang bertanya) itu sendiri.

Kemudian, langkah selanjutnya ialah Takyif al-Fiqh.
Sebagaimana kita ketahui, agama Islam sudah ada semenjak lebih dari 1400 tahun
lalu. Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber utamanya masihlah tetap sebagai
sumber, belum berubah, dan tidak akan pernah berubah sampai hari kiamat.

Namun, semenjak tertutupnya pintu wahyu ditandai dengan
Nabi Saw. wafat dan permasalahan yang tidak ada pada zaman beliau bermunculan, ditambah
pemahaman umat manusia terus berkembang, maka, diperlukan para ulama yang mampu
memahami apa yang diinginkan Allah atas kita sebagai hamba-Nya, untuk
menjalankan tugas sebagai manusia di muka bumi. Yaitu, menyembah-Nya dan
memakmurkan bumi.

Oleh karenanya, seiring berjalannya waktu, bangunan
keilmuan umat Islam terus bertambah dan dikokohkan hingga hari ini.  Ketika para ulama ingin menentukan status
hukum dari permasalahan-permasalahan baru yang bermunculan, mereka tidak
langsung menyimpulkannya dari al-Quran dan al-Sunnah.  

Mereka harus mengecek terlebih dahulu apakah
permasalahan ini sudah pernah ada dan dibahas oleh para ulama di generasi
sebelumnya atau belum. Para ulama dahulu juga tidak hanya membahas permasalahan
yang terjadi di zaman mereka saja, melainkan, juga membahas hal-hal yang belum
terjadi. Hal ini dinamakan dengan Fiqh al-Iftiradhi

Agar langkah Takyif al-Fiqh ini dilakukan secara
benar, perlu memerhatikan 2 hal:

1. Mengetahui dalil-dalil fikih yang ada.

2. Memahami dalil-dalil yang ada berikut ushul fikihnya secara
benar.

Pada poin pertama, para ulama harus mengetahui
dalil-dalil yang ada seperti: nash al-Quran dan Sunnah yang tsabit, ijmak, qawa’id
fiqhiyah, pendapat para sahabat, tabi’in, dan para ulama fikih sepanjang
perjalanan intelektual keilmuan umat Islam.

Selanjutnya para ulama juga harus mengetahui bagaimana
“berinteraksi” dengan semua itu. Yaitu, memahami dengan benar bagaimana cara
“berinteraksi” dengan dalil-dalil yang ada melalui ilmu ushul fikih.

Seperti:bagaimana cara melakukan istinbat dalil dengan benar,
mengetahui dalalah lafal (petunjuk kata), bisa membedakan antara khata umum dan
khusus, mantuq dan mafhum, nasikh dan mansukh, ima’ dan isyarah, dan mengetahui
mana perkara yang sudah bersifat ijmak di antara kaum muslimin atau yang masih berstatus
ikthilaf (diperselisihkan).

Setelah semua itu dilakukan, ada beberapa kemungkinan
atas status hukum dari permasalahan itu. Kemungkinan itu ialah:

1. Permasalahan itu ialah permasalahan yang sudah ada pada
zaman dahulu dan pernah dibahas oleh para ulama generasi sebelumnya. Para ulama
saat ini hanya tinggal menyampaikan lagi apa yang pernah dibahas.

2. Permasalahan kontemporer tersebut ialah permasalahan
yang “mirip” dengan permasalahan klasik yang sudah ada dan pernah dibahas oleh generasi
sebelumnya. Para ulama dengan kapasitasnya tinggal melakukan qiyas atau analogi
dengan permasalahan klasik tersebut.

3. Permasalahan yang benar-benar baru dan belum pernah
dibahas oleh para ulama generasi sebelumnya. Para ulama harus berijtihad untuk
menentukan status hukum dengan catatan:
 

1. Tidak boleh bertentangan dengan nash tsabit dari al-Quran
dan Sunnah.

2. Harus mengerti konsekuensi dari ketentuan status
hukum yang ditetapkan, dengan harus mempertimbangkan dari sisi Maqashid
Syari’ah.

3. Tidak boleh bertentangan dengan kaidah-kaidah Syariah
Kubra yang disepakati. Seperti kaidah Dar ‘u al-Mafasid Muqaddam ‘ala Jalb
al-Mashalih
(mencegah kerusakan mesti didahulukan dari mendapatkan
maslahat.)

4. Tawaquf (berhenti), dengan makna abstain atau tidak
memberikan jawaban atas permasalahan. Para ulama bila belum menemukan jawaban
dari sebuh permasalahan baru, mereka akan berhenti dan tidak menjawab apa-apa,
sampai permasalahan baru ini tampak jelas sehingga dapat diselesaikan.

Langkah yang terakhir ialah Tathbiq al-Hukm atau Tanzil
al-Hukm
.

Di sinilah inti permasalahan yang sebenarnya, yaitu
menerapkan hukum tersebut dalam realita masyarakat.

Namun, perlu diketahui bahwa dari dua langkah pertama
kita sudah dapat mengetahui apa status hukum dari permasalahan tersebut.

Karena, untuk menerapkan diperlukan kapasitas yang
memadai. Dengan banyak sekali pertimbangan, seperti harus mempertimbangkan
masalahat umum bukan hanya perorangan dan menyesuaikannya dengan lima prinsip
utama (Kulliyat al-Khams) dalam ushul fikih.  Yaitu, menjaga agama, menjaga nyawa, menjaga akal,
menjaga keturunan dan menjaga harta.

Dari semua tahapan di atas, kita dapat mengetahui bahwa
fatwa para ulama atas permasalahan kontemporer, merupakan hal yang sangat rumit
dan panjang.

Telah dilihat dari berbagai macam sisi dan kemungkinan
yang ada, melibatkan berbagai macam pihak, dan berbagai macam pertimbangan dari
konsekwensi bila fatwa itu dikeluarkan. Bila ternyata ditemukan kesalahan, para
ulama diharuskan menarik fatwanya, kemudian mengubahnya menjadi fatwa yang
benar dan sesuai.

Fatwa bukan perkara mudah. Sangat sulit, rumit, dan
besar tanggung jawabnya. Bahkan para ulama sampai berani mengambil sikap tawaquf
(berhenti) atau bahkan mengatakan tidak tahu bila sampai tidak mengetahui
dengan tepat.

Sebagaimana Nabi Muhammad Saw. bersabda:

أجرؤكم على الفتيا أجرؤكم
على النار

“Orang yang paling berani di antara kalian
dalam berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka.”

(HR. Ad-Darimi)

Saking beratnya menetapkan status hukum untuk suatu
perkara, bahkan sekelas Imam Malik ra. (W. 179 H) sangat sering menjawab tidak
pandai dan tidak tahu menyangkut masalah yang ditanyakan. Sebagaimana
disebutkan dalam kitab Tartib al-Madarik karya Qadhi ‘Iyadh (W. 544 H).

Ibnu Wahab pernah berkata, “Saya bertanya 30.000
permasalahan baru kepada Imam Malik selama beliau hidup.  Namun beliau menjawab dalam sepertiga atau
setengah atau yang Allah kehendaki darinya dengan jawaban, ‘Aku tidak pandai
dalam perkara ini, atau aku tidak tahu.’”

Kairo, 26 Januari
2021

Kontributor

  • Muhammad Al Fatih Mubarok

    Pernah belajar di SMAN 26 Tebet, Jakarta Selatan. Sekarang meneruskan studi di Universitas Al-Azhar Kairo Mesir.