Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Relasi harmonis China dan dunia Islam dari zaman Rasulullah sampai saat ini

Avatar photo
62
×

Relasi harmonis China dan dunia Islam dari zaman Rasulullah sampai saat ini

Share this article

Profesor H.M. Quraish Shihab, seorang mufasir dan cendekiawan muslim Indonesia alumni al-Azhar University, Kairo, mengatakan bahwa Islam dan China memiliki hubungan yang sangat panjang dan erat yang terbangun sejak jaman para sahabat Rasulullah.

Senada dengan yang disampaikan oleh Prof Quraish Shihab, Ibrahim Tien Ying Ma, dalam bukunya, Perkembangan Islam di Tiongkok, menyampaikan bahwa Saad bin Abi Waqqash seorang sahabat yang dinyatakan oleh Rasulullah sebagai penduduk surga, telah menginjakkan kaki di China 20 tahun sesudah mendingnya Rasulullah. Di a masa kekhalifahan Usman bin Affan. Saad bin Abi Waqqash saat itu diminta oleh Usman bin Affan untuk memimpin penyebaran agama Islam sekaligus membangun hubungan diplomasi dengan kekaisaran China kuno.

Panglima perang yang menaklukkan kekaisaran Parsia di masa kekhalifahan Umar bin Khotob ini pun menjadi diplomat pertama yang diutus oleh Khalifah Usman bin Affan melakukan dakwah dan sekaligus pertemuan dengan Kaisar China yang saat itu dipimpin oleh Kaisar Yong Hui dari Dinasti Tan. Menerima kedatangan umat Islam, Sang Kaisar bukan hanya menerima dengan baik rombongan delegasi muslim pimpinan Saad bin Abi Waqqash. Namun, sang Kaisar yang mulia ini juga menunjukkan toleransinya kepada umat Islam. Mereka diperbolehkan untuk tidak melakukan tradisi penyembahan di hadapan Kaisar. Bahkan, sang Kaisar yang budiman memperbolehkan umat Islam untuk melakukan pembangunan Masjid Pertama di China dengan nama Masjid Huaisheng. Masjid ini dikemudian hari lebih dikenal oleh masyarakat Muslim China dengan nama Masjid Saad bin Abi Waqqash.     

Masjid yang dibangun di Ghuangzhou di atas lahan seluas lima hektar itu pada akhirnya menjadi Masjid pertama dan menjadi masjid tertua di China yang menjadi simbol keharmonisan China dengan dunia Islam pada masa lalu.

Masjid ini sejatinya juga menjadi simbol keharmonisan Islam dan China di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Karena Masjid ini merupakan Masjid yang menjadi bukti keberhasilan aktifitas diplomasi pertama antara dunia Islam di masa pemerintahan Usman bin Affan dan Dinasti Tan sebagaimana termaktub dalam buku Ghuangzhou : Islam in Tang China

Di luar para sahabat Rasulullah, banyak catatan sejarah yang menunjukkan adanya interaksi perdagangan dan budaya antara bangsa Arab-Muslim dan China pada masa lalu. Di masa pemerintahan Dinasti Tang, tercatat bahwa sejumlah besar pedagang dan cendekiawan Muslim telah menetap di kota-kota pelabuhan China seperti Guangzhou dan Quanzhou. Di sana mereka mendirikan komunitas yang aktif dalam kegiatan ekonomi dan intelektual. Masjid-masjid pertama di China juga dibangun pada masa ini, menunjukkan betapa mendalamnya pengaruh Islam di negeri tersebut.

Kerja sama antara dunia Islam dan China tidak hanya terbatas pada perdagangan. Di bidang ilmu pengetahuan, banyak sarjana muslim yang menerjemahkan karya-karya penting dari bahasa Arab ke dalam bahasa China, begitupun sebaliknya. Hal ini menciptakan pertukaran ilmu pengetahuan yang saling menguntungkan kedua belah pihak.

Hubungan yang erat ini juga tercermin dalam kisah-kisah di literatur klasik kedua budaya. Dalam sastra China, terdapat referensi tentang pedagang dan pelaut muslim yang membawa rempah-rempah dan kain sutra, sementara dalam literatur Islam, ada kisah-kisah tentang kebijaksanaan dan kemajuan teknologi China.

Hingga kini, warisan hubungan historis ini dapat dilihat dalam komunitas Muslim yang tersebar di berbagai wilayah di China, seperti di Xinjiang dan Ningxia. Mereka terus memelihara tradisi dan kepercayaan mereka, yang merupakan hasil dari berabad-abad interaksi yang harmonis antara kedua peradaban besar ini.

Dengan demikian, hubungan antara Islam dan China bukan hanya sekadar catatan sejarah, tetapi juga bukti nyata dari dialog dan kerja sama yang telah berlangsung selama berabad-abad. Ini merupakan modal dasar dan bisa dijadikan sebagai contoh bagaimana perbedaan budaya dan agama dapat saling memperkaya dan menciptakan harmoni.

Dalam beberapa dekade terakhir, China telah muncul sebagai salah satu kekuatan global yang berpengaruh, tidak hanya dalam ekonomi dan teknologi, tetapi juga dalam diplomasi internasional. China berusaha memposisikan dirinya sebagai Global Peace Maker. Salah satu aspek yang menonjol dari kebijakan luar negeri China yang secara khusus keterlibatannya dalam dunia Islam, adalah menciptakan perdamaian dan stabilitas di kawasan yang sering dilanda konflik. Ada beberapa peran strategis yang dilakukan oleh China sebagai salah satu upaya untuk menciptakan perdamaian di dunia Islam, yaitu sebagai berikut:

Pendekatan Diplomatik: Diplomasi Multilateral dan Bilateral

China telah menunjukkan komitmen yang kuat untuk terlibat dalam diplomasi multilateral di dunia Islam. Salah satu contohnya adalah hubungan China dengan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), di mana China secara aktif berpartisipasi dalam diskusi yang berkaitan dengan stabilitas regional dan kerja sama ekonomi. Dalam forum dunia Islam tersebut Menlu China Wan Yi menyampaikan bahwa China mempunyai hubungan sejarah dan kedekatan dengan dunia Islam. Karenanya China melihat dunia Islam based on respect and mutual cooperation.

China juga mendukung berbagai inisiatif perdamaian yang dipimpin oleh PBB dan organisasi internasional lainnya di wilayah yang mayoritas penduduknya Muslim. Selain diplomasi multilateral, China juga memperkuat hubungan bilateral dengan negara-negara Muslim. Misalnya, China telah menjalin kemitraan strategis dengan negara-negara seperti Arab Saudi, Iran, Pakistan, dan Turki. Hubungan ini sering kali mencakup kerja sama dalam bidang ekonomi, teknologi, dan keamanan, serta dukungan terhadap upaya penyelesaian konflik di kawasan tersebut.

Peran Ekonomi: Investasi dan Kerja Sama Infrastruktur

China menggunakan kekuatan ekonominya sebagai alat diplomasi untuk menciptakan perdamaian dan stabilitas di dunia Islam. Inisiatif Belt and Road (BRI), yang diluncurkan oleh China, menjadi salah satu contoh utama bagaimana China menggunakan investasi dan pembangunan infrastruktur di lebih dari 45 negara muslim sebagai sarana untuk meningkatkan hubungan dengan negara-negara Muslim.

Melalui BRI, China telah menginvestasikan lebih dari 400 miliar dolar pada 600 proyek infrastruktur di 45 negara-negara berpenduduk Islam seperti Pakistan, Malaysia, Indonesia, Turki dan negara-negara berpenduduk Muslim lainnya. Proyek-proyek ini tidak hanya meningkatkan konektivitas dan pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut tetapi juga membantu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi ketegangan sosial yang sering kali menjadi penyebab konflik.

Selain itu, investasi ini juga membuka peluang bagi transfer teknologi dan pengetahuan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kapasitas lokal dalam berbagai sektor. Banyak negara penerima manfaat dari proyek-proyek ini telah melaporkan peningkatan signifikan dalam infrastruktur transportasi, seperti pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan, yang memudahkan aliran barang dan jasa.

Namun, proyek-proyek ini juga tidak lepas dari kontroversi. Beberapa pihak mengkhawatirkan meningkatnya ketergantungan ekonomi negara-negara penerima terhadap China, serta potensi masalah lingkungan yang mungkin timbul akibat pembangunan besar-besaran. Meski demikian, banyak pihak yang optimis bahwa dengan pengelolaan yang tepat, sehingga inisiatif ini dapat membawa manfaat jangka panjang bagi semua pihak yang terlibat.

Di sisi lain, kerja sama ini juga membuka pintu bagi pertukaran budaya dan pemahaman antarnegara, yang pada akhirnya dapat mempererat hubungan diplomatik dan mempromosikan perdamaian global. Dengan demikian, Belt and Road Initiative tidak hanya berkontribusi pada pembangunan fisik tetapi juga pada pembangunan manusia dan hubungan internasional yang lebih harmonis.

Pendekatan Strategis: Netralitas dan Non-Intervensi

China memiliki kebijakan luar negeri yang didasarkan pada prinsip netralitas dan non-intervensi dalam urusan dalam negeri negara lain. Pendekatan ini membuat China lebih mudah diterima oleh banyak negara Islam yang mungkin tidak ingin terlibat dalam aliansi militer yang lebih besar atau merasa terancam oleh campur tangan asing.

Sebagai contoh, dalam konflik antara Arab Saudi dan Iran, dua kekuatan utama di dunia Islam, China telah berhasil mempertahankan hubungan baik dengan kedua belah pihak. Ini memungkinkan China untuk berperan sebagai mediator yang netral dan dipercaya, yang dapat membantu mendorong dialog dan negosiasi damai.

Dalam sebuah seminar internasional bertajuk “Pengaruh China di Timur Tengah dan Prospek untuk Stabilitas dan Perdamaian” (China’s Influence in Middle East and the Prospect for Stability and Peace) yang digelar di Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Duta Besar (Dubes) Republik Rakyat China untuk Indonesia Lu Kang mengatakan bahwa keberhasilan rekonsiliasi antara Arab Saudi dan Iran utamanya berkat aspirasi rakyat Timur Tengah yang menginginkan pembangunan, stabilitas regional, keharmonisan di antara dunia Islam dan solidaritas negara-negara berkembang.

Peran dalam Konflik Regional: Timur Tengah dan Asia Selatan

China juga telah menunjukkan minat yang besar dalam membantu menyelesaikan konflik regional di dunia Islam, terutama di Timur Tengah dan Asia Selatan. Dalam konflik Israel-Palestina, China berusaha membangun Concrete Road Map For Two State Solution mendukung solusi dua negara dan mendorong dialog antara kedua belah pihak sebagaimana disampaikan oleh Menlu China Wang Yi. Hal senada dikuatkan oleh pernyataan Presiden China Xi Jinping bahwa China mendukung upaya-upaya berdirinya negara Palestina yang merdeka.

China juga terlibat dalam upaya internasional untuk menstabilkan situasi di Afghanistan, di mana ia bekerja sama dengan negara-negara tetangga seperti Pakistan dan Iran. Sedangkan di Asia Selatan, China memainkan peran penting dalam mendukung proses perdamaian di Afghanistan pasca penarikan pasukan AS, dengan mempromosikan dialog antara Taliban dan pemerintah Afghanistan.

China turut terlibat dalam upaya mediasi antara India dan Pakistan terkait isu Kashmir, meskipun dengan pendekatan yang hati-hati untuk menjaga hubungan baik dengan kedua negara.

Peran China sebagai mediator internasional di dunia Islam terbukti telah menyelesaikan berbagai konflik dan menciptakan atmosfer perdamaian yang indah. Konsep diplomasi luar negeri China yang netral dan tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain diterima oleh dunia Islam dan tentu saja akan membawa China sebagai Global Peace Maker. Sehingga bagi penulis, kekuatan relasi China dan Islam yang telah terbangun sejak 618 M atau delapan tahun paska kenabian Rasulullah bisa menjadi fondasi negara-negara Islam untuk melakukan penguatan-penguatan kerja sama komrehensif dengan negara tirai bambu ini. Karena China dan Islam telah membangun relasi berbasis mutual respect, understanding dan contsructive coopertation berabad-abad lamanya. 

Kontributor

  • Mujahidin Nur

    Ketua Departemen Luar Negeri dan Hubungan Antar Lembaga BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) & Direktur Peace Literacy Institute Indonesia.