Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Respon al-Ghazali atas aliran keagamaan (2)

Avatar photo
53
×

Respon al-Ghazali atas aliran keagamaan (2)

Share this article

Terhadap Bathiniyah, kritiknya yang paling pokok adalah mengenai otoritas imam yang ma’sum, sebagai sumber pengetahuan tentang kebenaran. Al-Ghazali sependapat dengan mereka bahwa pemberi informasi (al-Mu’alim) itu perlu bersifat ma’shum, tetapi hanya terbatas pada tingkat nabi; sesudah nabi orang tidak memerlukan iman yang ma’shum lagi. Sebab, Tuhan melalui kitab suci telah memberi kepada manusia ukuran dan alat untuk mengetahui kebenaran.

Usaha al-Ghazali dalam hal ini menjelaskan bahwa al-Qur’an telah mengandung ukuran-

ukuran tentang kebenaran dan manusia telah dianugerahi alat untuk berfikir, menggunakan ukuran-ukuran tersebut, adalah untuk membuktikan bahwa manusia tidak memerlukan imam-imam yang ma’shum lagi setelah nabi, sebagai sumber kebenaran.

Kesimpulannya tentang bathiniyyah ialah bahwa sistem pemahaman ini tidak memenuhi harapannya, karena bathiniyyah mengesampingkan daya manusia untuk menemukan kebenaran. Di sini taqlid menjadi hal yang sangat penting sedangkan taqlid membawa keragaman dan pertentangan.

Pada masa al-Ghazali, kehadiran aliran bathiniyyah telah mengakibatkan generasi muda banyak yang tersesat jalan. Karena itu al-Ghazali sangat menaruh perhatian untuk mengkritik habis pendapat-pendapat mereka, dengan dasar pertimbangan bahwa tersebar luasnya aliran tersebut akan membawa dampak-dampak disintegrasi sosial.

Ringkasnya, menurut al-Ghazali, para penganut aliran bathiniyyah seperti halnya para golongan ataupun filosof di masanya, bukanlah termasuk golongan yang mampu mencapai kebenaran yang hakiki.

Pada ilmu kalam, ia melihat kemandulan metodologi, kalau yang hendak dicari adalah hakikat-hakikat, sebab ilmu kalam ini tidak dipersiapkan untuk itu. Pada filsafat, ia melihat ketidaklengkapan metodologi sehingga menghasilkan inkoherensi, sebab filsafat hanya mengandalkan akal semata.

Pada bathiniyyah, ia melihat kekeliruan, karena dengan konsep al-Ta’lim, peran pengalaman, pengamatan, dan akal manusia sebagai alat-alat menemukan sendiri kebenaran dengan kitab suci sebagai pedoman, diabaikan, sehingga pengetahuan tidak diperoleh manusia dengan sendirinya.

Kaum sufi

Aliran terakhir yang dilalui al-Ghazali adalah mengenai jalan sufi. Ketika menguji tasawuf, pada dasarnya ia tidak menghadapi persoalan tentang validitas sumber pengetahuan sebagaimana pada kaum mutakallimin, filosof, dan bathiniyyah. Sebab, sebelumnya ia telah yakin adanya intuisi (al-Dzauq) pada penyelesaian keraguannya pada fase awal.

Menurutnya, para sufilah pencari kebenaran yang paling hakiki. Lebih jauh lagi, menurutnya, jalan para sufi adalah paduan ilmu dan amal, sementara sebagian buahnya adalah bahwa mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah dibandingkan pengalamannya.

Karena itu, persoalan yang dihadapi pada aliran yang terakhir ini adalah tentang pemilihan antara pengalaman jalan sufi atau pada keterlibatannya pada aktivitas duniawinya. Inilah sesungguhnya yang membuat keraguan al-Ghazali akhir petualangannya dalam perkembangan intelektual dan spiritualnya.

Al-Ghazali tidak mengingkari bahwa dirinya sangat terpengaruh oleh para penganut sufi sebelumnya seperti, keterpengaruhannya atas kitab Qut al-Qulub karya Abu Thalib al-Makki dan kitab-kitab karya Harits al-Muhasibi (243 H/857 M), juga fatwa-fatwa al-Junaid (298 H/910 M), yang kesemuanya menurut pengakuannya sendiri telah menjadi rujukan pada ilmu tasawuf.

Atas dasar sumber-sumber itulah, kemudian ia dengan mudah memperoleh ilmu tasawuf secara teoritis.

Dalam masalah ini, al-Ghazali memusatkan perhatiannya kepada bagaimana pengalaman sufi secara nyata. Kritik al-Ghazali terhadap jalan sufi tidaklah sekeras terhadap tiga aliran sebelumnya. Namun demikian, ia melarang atas konsep-konsep sufi tentang hulul dan penyatuan. Sementara dalam pandangan Taftazani, al-Ghazali telah berhasil menjadikan tasawuf sebagai ilmu dengan pengertiannya yang luas. Ia menulis tentang tasawuf begitu luas dan dalam.

Seiring dengan kekaguman al-Ghazali pada aliran sufi dan berbagai tanggapan atas pemuliaan terhadap tasawufnya, sebagaimana tanggapan al-Taftazani di atas, muncul pulalah berbagai kritik yang dialamatkan kepada al-Ghazali. Kemampuan al-Ghazali pada akhirnya dikerahkan untuk memformulasikan cara-cara bagaimana orang boleh dan harus hidup sesuai dengan syara’. Kitab al-Ihya Ulumuddin, misalnya, telah merentang rel besi untuk tidak dilampaui oleh siapapun. Dan al-Ghazali-lah yang menutup rapat-rapat pintu pemikiran pintu falsafati kaum

Muslim.

Dalam petualangan intelektualnya, al-Ghazali berkesimpulan bahwa pendidikan batinlah dan bukan pendidikan intelek yang diperlukan oleh manusia untuk mencapai kebahagiaan, maka disusunlah disiplin kerohanian mistik yang begitu ketat mengikat untuk memperoleh kebahagiaan batin tersebut.

Implikasi dan konsekuensi logis dari pemikiran dan ajaran etika mistik al-Ghazali dalam kehidupan pribadi ataupun kelompok sangat kentara. Menurut Fazlur Rahman, hingga saat ini masyarakat Muslim di seantero dunia sulit untuk mengendorkan tali pengikat pengaruh al-Ghazali.

Inti dari kritikan yang dialamatkan kepada al-Ghazali adalah bahwa, al-Ghazali telah memasung kreatifitas berfikir dengan terpilihnya jalan sufi dan berbagai karya-karya tasawuf yang dilahirkannya. Untuk sekedar memberikan pemahaman atas tuduhan itu semua, disini dapat difahami bahwa bagi al-Ghazali, pengalaman khususnya yaitu pengalaman bathiniyah yang merupakan unsur terpenting dalam usaha dan menemukan kebenaran.

Kedudukan pengalaman batiniah seperti itu, memang telah menimbulkan problem sekitar posisi akal.

Akal sebagai suatu perangkat kemanusiaan seringkali dipertentangkan dengan batin atau rasa dalam kegiatan berfikir. Bagi al-Ghazali dua hal tersebut memiliki kontribusi terhadap usaha mencari dan memahami kebenaran.

Akal menurut al-Ghazali mempunyai batas kemampuan dalam mencari dan memahami kebenaran. Sementara pekerjaan batin dalam usaha mencari dan memahami akal baginya adalah merupakan tindak lanjut usaha yang dilakukan akal.

Tak hanya itu, akal baginya merupakan jembatan mencapai kebenaran sejati. Ketika kemampuan akal mencapai titik optimumnya, tugas berfikir kemudian diteruskan oleh batin. Akal dan batin dengan demikian, dua substansi terpenting bagi manusia untuk memahami, menemukan dan mencapai kebenaran. Sesuai dengan potensi masing-masing, akal dan batin dipergunakan al-Ghazali secara bersama dan bertahap dalam usahanya menemukan kebenaran di atas. Wallahu a’lam bisshawab.

Kontributor

  • Salman Akif Faylasuf

    Sempat nyantri di PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.