Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Saat Mesir digempur tiga negara

Avatar photo
32
×

Saat Mesir digempur tiga negara

Share this article

Akhir Oktober hingga awal November 1956, terjadi perang yang melibatkan Mesir melawan tiga negara, yaitu Inggris, Perancis dan Israel. Pemantiknya adalah nasionalisasi Terusan Suez oleh presiden Mesir saat itu, Gamal Abdel Nasser. Perang ini dikenal sebagai Krisis Suez atau Agresi Tripartit atau dalam Bahasa Arab disebut Al `Udwān A ulāṡī.

Awal mula saya membaca sejarah perang ini justru dimulai dari menonton satu pertunjukan musik. Pada suatu ketika, di pusat kebudayaan milik Keduataan Perancis di Kairo, ada penampilan satu grup musik bernama El Tanbura. Grup ini berasal dari Port Said, kota pelabuhan Mesir di mulut Terusan Suez bagian utara. Jenis musik yang dibawakan adalah musik tradisional yang lekat dengan kehidupan masyarakat seputar pelabuhan.

Yang unik dari El Tanbura adalah alat musik yang dimainkan, yaitu semacam harpa tradisional bernama tanbura dan simsimiyya. Alat musik sejenis ini termasuk instrumen yang memiliki sejarah panjang, muncul gambarnya dalam pahatan relief peninggalan Mesir Kuno. Dari lembah Sungai Nil, alat ini pada akhirnya menyebar ke beragam wilayah, termasuk pesisir Laut Tengah di mana kota Port Said berada.

Grup ini juga unik karena personelnya didominasi dari pria-pria berumur dengan penampilan yang berbeda-beda, ada yang necis dengan jas, ada yang pakai jubah tradisional galabiyya, ada yang berpenampilan semi formal, ada yang nampak kasual. Satu di antaranya pada saat saya tonton penampilannya itu malah pakai topi bergambar Garuda Pancasila!

Penampilan mereka nampak cair, karena lagu-lagunya dinyanyikan secara ‘keroyokan’ dan riang gembira. Ada satu lagu yang terasa begitu asyik didengar waktu itu; asyik nada-nadanya juga semangatnya. Di antara beberapa liriknya yang saya tangkap waktu itu adalah ‘zayy en nahardah min khamsin sanah (hari ini 50 tahun lalu), alha Gamal fil Mansyiyyah, el miyyah diyya Masriyyah (Gamal mengatakannya di Mansyiyyah, air ini milik Mesir), al li syu’ibiddunya, umu we taharraru (ia katakan ke bangsa-bangsa di dunia, bangkitlah dan bebaskan diri).

Selapas penampilan malam itu, saya mencari tahu apa hubungan 50 tahun lalu, Gamal, Mansyiyyah, air, kebangkitan dan kebebasan. Maka mengertilah saya, bahwa di tahun 1956, Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir waktu itu mengumumkan nasionalisasi Terusan Suez dalam sebuah pidato di Mansyiyyah, Aleksandria. Nasionalisasi ini adalah wujud kebangkitan dan pembebasan diri dari kekuatan asing.

Dari penelusuran, saya juga tahu bahwa lagu di atas judulnya adalah Zayy en Nahardah (Canal Song), yang bercerita tentang canal atau Terusan Suez. Lagu ini termuat di dalam album Between The Desert and The Sea yang dirilis tahun 2006, tepat 50 tahun semenjak pengumuman nasionalisasi Terusan Suez oleh Gamal Abdel Nasser. Nasionalisasi inilah yang berujung kepada Krisis Suez, satu perang yang terpusat di Port Said, kota tempat grup El Tanbura berasal.

Dari album di atas, lagu andalan El Tanbura yang juga saya suka adalah Ehnal Bambutiyya yang artinya ‘kami para bambuti’. Istilah ‘bambuti’ konon berasal dari bahasa Inggris ‘man boat’, merujuk kepada para pedagang berperahu yang mencari nafkah di Terusan Suez. Dari terusan ini pecahlah perang yang melibatkan Mesir melawan salah satunya Perancis, yang lagun tentangya ditampilkan di pusat kebudayaan milik Kedutaan Perancis.

***

Setelah selesai dibangun, Terusan Suez mulai diresmikan penggunaannya melalui satu upacara keagamaan pada 16 November 1869. Sehari kemudian, pada pukul 08.00 pagi, kapal L’Aigle menjadi kapal pertama yang melintas masuk terusan dari arah utara diikuti konvoi kapal-kapal lain. Melalui serangkaian hari inagurasi yang dipusatkan di Ismailiyah, akhirnya rombongan kapal berhasil menyusuri seluruh bagian terusan dan sampai di Suez pada tanggal 20 November pukul 11.30 siang.

Peristiwa di atas tertulis dalam buku ‘History of the Suez Canal Company (1858-1960): Between Controversy and Utility’ tulisan Hubert Bonin. Memang sebenarnya perusahaan pengelola Terusan Suez telah berdiri pada tahun 1858 tepatnya pada 15 Desember. Nama resmi perusahaan ini adalah Compagnie Universelle du Canal Maritime de Suez (Suez Company), berkantor di Paris dengan Ferdinand de Lesseps sebagai tokoh utamanya. Pembangunan Terusan Suez sendiri mulai dilaksanakan pada tahun 1859 dan selesai sepuluh tahun kemudian.

Melalui hak konsesi, keuntungan atas beroperasinya Terusan Suez banyak mengalir ke Perancis. Kemudian di tahun 1875, Inggris mulai membeli sejumlah banyak saham dari Suez Company. Bagi Inggris, Terusan Suez sangatlah penting karena ia memiliki negara-negara jajahan di belahan Selatan utamanya India. Tahun 1882, Inggris menginvasi Mesir dan praktis Terusan Suez berada di bawah kontrol Inggris.

Pada tahun 1952, dimulai tanggal 23 Juli, terjadilah revolusi di mana Kerajaan Mesir ditumbangkan oleh gerakan kudeta yang dipimpin para perwira militer Mesir. Pada akhirnya Muhammad Naguib menjadi presiden pertama Republik Mesir, sedang Gamal Abdel Nasser menjabat setelahnya. Pada 26 Juli 1956, Nasser yang tengah menjabat menjadi presiden mengumumkan nasionalisasi Terusan Suez dalam suatu pidato peringatan 4 tahun revolusi, di Mansyiyyah Aleksandria.

Mansyiyyah adalah nama tempat yang termuat dalam lirik lagu yang telah saya singgung di atas. Di tempat ini juga, pada 26 Oktober 1954, Nasser tampil dalam sebuah pidato dan mendapatkan sebuah serangan percobaan pembunuhan. Beruntung dia selamat dari terjangan sejumlah peluru. Pelakunya sendiri diidentifikasi sebagai seorang pendukung Al Ikhwan Al Muslimun bernama Mahmoud Abdel Latif.

Sebenarnya Nasser ingin mengumumkan nasionalisasi ini tepat pada hari revolusi 23 Juli, namun mundur kaitannya dengan informasi mengenai kondisi kesiapan perang pihak Inggris. Nasser baru mengabarkan rencana pengumuman ini kepada Dewan Revolusi pada tanggal 24 pagi. Kabinet pun baru ia kabari mengenai rencana ini pada 26 Juli pukul 7 petang, dua jam sebelum pidatonya dimulai. Hal ini sebagaimana termuat dalam buku ‘Suez Desconstructed: An Interactive Study in Crisis, War, and Peacemaking’ tulisan Philip Zelikow dkk.

Nasionalisasi Terusan Suez dimulai dengan diurungkannya rencana bantuan Amerika Serikat dan Inggris atas proyek pembangunan Bendungan Tinggi Aswan. Amerika Serikat Sendiri menarik bantuan ini karena melihat Nasser mulai condong ke blok Uni Sovyet. Pada tahun 1955, Mesir telah melakukan kesepakatan pembelian senjata dengan Blok Timur memalui Cekoslovakia.

Sebagaimana diketahui, saat itu perseteruan antara Blok Barat yang dimotori Amerika Serikat dan Blok Timur yang dimotori Uni Sovyet memang sedang memanas. Blok Barat sangat berkepentingan untuk mengambil hati Mesir, karena negara ini secara politis dianggap dalam posisi kuat di Timur Tengah. Secara geografis, Mesir juga merupakan negara penting karena berbatasan langsung dengan Israel, di mana konflik dengan Palestina masih berjalan.

Sebenarnya Uni Sovyet pernah menawari Mesir bantuan pembangunan Bendungan Tinggi Aswan, namun Nasser menolaknya karena khawatir akan terlalu bergantung ke Blok Timur. Dengan Nasionalisasi Terusan Suez, Nasser berharap agar penyelesaian pembangunan bendungan akan dibiayai dengan keuntungan mengelola terusan secara mandiri. Bendungan ini sendiri pada akhirnya selesai pembangunannya tanpa lepas dari dukungan Uni Sovyet.

Dengan melakukan nasionalisasi, Mesir merasa bahwa keuntungan yang selama ini lepas ke pihak asing akan masuk ke dalam negeri. Latifah Muhammad Salim dalam buku Azmat As Suways 1954 – 1957: Judżūr, Ahdā, Natāij menggambarkan sebagai berikut. Pada tahun 1955, Mesir hanya mendapat 1 per 35 keuntungan pendapatan Terusan Suez. Tahun itu minyak yang menuju Inggris melewati terusan Suez sebanyak 20 juta ton. Dari seluruh perdangan minyak Timur Tengah, 20 persennya adalah menuju Inggris. Dengan perdagangan ini, 50% keuntungan masuk ke negara-negara Arab, di mana bagian Mesir hanya 5% saja.

Saat itu Terusan Suez memiliki posisi krusial bagi Inggris, karena jalur ini adalah jalan penghubung dengan negara-negara jajahannya. Sepertiga kapal yang melalui Terusan Suez adalah milik Inggris, sementara saham pengelolalan terusan terbesar adalah milik Inggris sebesar 44%. Pada akhirnya, nasionalisasi Terusan Suez berujung kepada krisis yang melibatkan Mesir, dan tiga negara lain.

Inggris dan Perancis yang terlibat dalam pembangunan, pengelolaan dan penggunaan Terusan Suez tentu saja merasa terganggu dengan nasionalisasi ini, meskipun sebenarnya Mesir mau menawarkan ganti rugi. Perancis juga memiliki sentimen terhadap Mesir yang memberi dukungan perjuangan kemerdekaan Aljazair dari Perancis waktu itu. Israel ikut terlibat dalam momen ini karena di samping memiliki kepentingan terhadap wilayah Sinai, juga sebelumnya telah memiliki konflik dengan Mesir kaitannya dengan serangan milisi di perbatasan dan blokade Mesir atas Selat Tiran.

***

Pada tanggal 22 hingga 24 Oktober 1956, pihak Inggris, Perancis dan Israel mengadakan pertemuan khusus di Sèvres, Paris, membahas persiapan serangan terhadap Mesir. Dalam buku The Suez Crisis 1956, Derek Varble menyebut bahwa ketiga negara itu menyepakati satu urutan permulaan operasi militer. Pertama, pada tanggal 29 Oktober, Israel akan merangsek ke Sinai. Lalu pada tanggal 30 Oktober, Inggris dan Perancis akan memberi ultimatum penghentian peperangan. Jika tanggal ultimatum itu tidak ditanggapi (hal ini sudah diperkirakan), maka pada tanggal 31 Oktober, dua negara ini memulai serangan terhadap Mesir.

Sesuai rencana, Israel memulai Operasi Kadesh pada tanggal 29 Oktober dengan menduduki Sinai, termasuk mendaratkan pasukan parasut di Mitla Pass (Mamarr Mitla), sekitar 50 kilometer di timur Suez.  Dan sesuai rencana juga, pada 31 Oktober, Inggris dan Perancis memulai Operasi Musketeer dengan serangan udara untuk melumpuhkan objek-objek vital kekuatan Angkatan Udara Mesir.

Menyikapi serangan, Mesir mulai melakukan blokade atas Terusan Suez dengan merusakkan segenap kapal dan membiarkan bangkainya menghalangi lalu lintas terusan. Blokade ini akhirnya bisa menghambat pendaratan kapal militer pihak musuh di sekitaran Port Said. Blokade ini juga yang mengakibatkan Terusan Suez tutup dalam waktu lama sehingga lalu lintas pasokan minyak ke Eropa khususnya Inggris menjadi terganggu. Hal ini malah membuat Inggris kerepotan sendiri sampai akhirnya nanti memutuskan menghentikan perang.

Pada tanggal 3 November, Israel tidak hanya melakukan operasi militer di Sinai, tetapi sudah berhasil menguasai Gaza, Palestina, Kemudian pada tanggal 5 November, Inggris dan Perancis mulai melancarkan Operasi Telescope dengan mendaratkan pasukan parasut di Port Said. Di tanggal itu juga, operasi militer Israel di Sinai sudah tuntas dengan keberhasilan menduduki Sharm El Sheikh, yang menjadi pangkalan militer utama Mesir di Sinai.

Dalam serangan beberapa hari, Mesir harus mengakui superioritas militer tiga negara lawannya. Bahkan pasukan Inggris dalam serangan ini mencatatatkan sejarah baru dalam bidang militer, yaitu mendaratkan pasukan langsung ke area pertempuran dengan menggunakan helikopter. Eksperimen ini berhasil dan model pendaratan semacam ini terus dipakai dan dikembangkan di dunia militer hingga saat ini.

Namun keunggulan militer ini ternyata tidak sebanding dengan keunggulan secara politik. Banyak sekali tekanan internasional terhadap tiga negara di atas untuk menghentikan serangan terhadap Mesir. Inggris paling merasakan tekanan ini, tidak hanya dari Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), tapi juga dari Amerika Serikat dan publik dalam negeri Inggris sendiri. Amerika Serikat yang secara politik makin kuat posisinya sebagai negara superpower, memberikan ancaman sanksi yang terkait dengan dukungan ekonomi kepada Inggris.

Pada akhirnya gencatan senjata berlaku resmi mulai tanggal 7 November pada pukul 02.00. PBB menginisiasi dibentuknya pasukan khusus untuk dikirim ke wilayah konflik peperangan dengan nama United Nations Emergency Force (UNEF). Pasukan ini dibentuk melalui usulan Menteri Luar Negeri Kanada, Lester Pearson, yang dari usulnya ini akhirnya membuat dia diganjar Nobel Prize. UNEF bisa dikatakan sebagai cikal bakal bentuk mapan dari pasukan keamanan PBB yang kita kenal saat ini.

Inggris dan Perancis kemudian berangsur-angsur menarik pasukannya dari Mesir, dengan rombongan terakhir bertolak pada tanggal 22 Desember. Kemudian pada tanggal 24 Desember, warga Port Said dengan dinamit merobohkan Patung Ferdinand de Lesseps yang menjulang di pinggir Terusan Suez, yang selama ini dianggap sebagai lambang kekuasaan asing. Israel yang sudah berhasil menguasai Semenanjung Sinai, sebuah tempat yang sangat strategis secara militer bagi negara ini, baru mau meninggalkan wilayah ini pada bulan Maret 1957.  

***

Secara umum, Mesir berhasil melewati Krisis Suez dengan kemenangan politik meskipun dengan kekalahan militer. Sebaliknya, Inggris Perancis dan Israel yang menang secara militer tidak berhasil meraih kemenangan politik. Mungkin hanya Israel yang memiliki keuntungan dengan keberhasilan percobaan menguasai Sinai dan Gaza, serta keberhasilan memperlonggar blokade Mesir atas Selat Tiran. Gamal Abdel Nasser sendiri tetap menduduki posisi sebagai presiden Mesir dan Terusan Suez tetap menjadi milik Mesir.

Gamal Abdel Nasser malah menjadi sosok pahlawan bagi Mesir maupun dunia Arab secara umum. Pada dekade itu memang sedang bergolak semangat perjuangan negara-negara yang ingin lepas dari kekuasaan asing. Nasionalisasi Terusan Suez dan kemenangan politik Mesir pada Krisis Suez menjadi inspirasi bagi perjuangan-perjuangan di wilayah belahan dunia yang lain. Peristiwa yang terjadi di Mesir menjadi semacam momentum bagi bangkitnya negara-negara Dunia Ketiga, demikian yang tertulis dalam buku arb At tawāu A ulāṡī : Al `Udwān A ahyūnī Al Anjlūfaransī `alā Mi tulisan Hasan Ahmad Badri dan Fatin Ahmad Farid.

Krisis Suez akhirnya membawa peningkatan keuntungan ekonomi bagi Mesir, terutama melalui pengelolaan Terusan Suez yang tak lagi di bawah kuasa Inggris dan Perancis. Khusus bagi Inggris, Krisis Suez menjadi penanda surutnya negara ini dan naiknya pamor Amerika Serikat dalam posisi negara superpower dunia. Bagi Mesir dan Israel, Krisis Suez menjadi satu babak dari konflik dua negara ini yang masih akan dilanjutkan dengan babak-babak berikutnya.

Kontributor

  • Muhyidin Basroni

    Muhyidin Basroni, Lc., MA., peminat kajian sejarah, budaya dan seni dalam Islam, pernah belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.