Dalam membincang konflik politik di Eropa, nama Krimea akan banyak disinggung. Tidak hanya dalam kurun beberapa tahun belakang, melainkan sudah sejak berabad-abad lalu. Di balik kepedihan-kepedihan yang ia saksikan secara langsung, siapa sangka semenanjung ini juga merekam barisan-barisan indah para pujangga yang terpana akan keindahannya. Singkat kata, Krimea adalah magnet yang menarik penulis-penulis besar, sebut saja di antaranya Alexander Pushkin dan Alfred Tennyson.
Sejak abad ketiga belas, Semenanjung Krimea sudah menjadi tuan rumah berbagai konflik politik yang rumit dipecahkan. Semenanjung ini telah berkali-kali pindah tangan, mulai ketika menjadi bagian Orda Emas Mongolia, kemudian dalam kendali independen orang-orang Muslim di bawah bendera Crimean Khanate (Kekhanan Krimea), lalu beralih secara resmi ke pengawasan kesultanan Utsmaniyah, kemudian kekaisaran Tsar dari Rusia, berikutnya ke teritori Uni Soviet (di mana warga muslim mengalami penderitaan pedih di bawah kebijakan Joseph Stalin lantaran diduga mendukung Adolf Hitler), setelah itu menjadi milik Ukraina, lalu kembali lagi ke tangan Rusia.
Sejak dimulainya permusuhan sengit Rusia-Ukraina pada 2014 silam, sejumlah relawan Muslim dari Chechnya berada di pihak Ukraina dalam melawan Rusia. Tidak hanya itu, sebuah kelompok minoritas kecil muslim juga memperkuat pasukan Ukraina, mereka tidak lain ialah yang dikenal sebagai muslim Tatar Krimea.
Kastil Sarang Burung Walet (The Swallow’s Nest) yang terletak semenanjung Krimea, tepatnya di kota kecil antara Yalta dan Alupka
Bagaimana sejarah singkat muslim Tatar Krimea?
Pada tahun 1241, Batu Khan (cucu Jenghis Khan) menaklukkan wilayah Krimea kemudian mendirikan pemerintahan Mongol, yang mana sebagian wilayahnya dikelola oleh konfederasi suku Turki dan Mongol atau yang kemudian dikenal sebagai gerombolan Orda Emas.
Sebagian pendatang menikahi perempuan-perempuan pribumi asli (hari ini wilayah Rusia dan Ukraina), mereka mengadopsi dialek Turki serta menjadikan Islam sebagai agama. Masjid Han Ozbek di Staryi Krym adalah peninggalan tertua era ini sekaligus menjadi masjid paling awal di Krimea, dibangun pada tahun 1314.
Masjid Han Ozbek di Staryi Krym dibangun pada tahun 1314, merupakan masjid tertua di Krimea
Penguasa muslim Dinasti Tatar Khanate Krimea abad keenam belas, Menli I Giray, tidak lain adalah anak turun dari Batu Khan. Karena prestasi-prestasi politiknya, Giray menyandang julukan Sang Penguasa Dua Benua dan Sang Khan dari Dua Lautan.
Seorang Khan yang lain, Qirim Giray, pada tahun 1764 menugaskan seorang pakar bagunan asal Persia bernama Omar untuk merancang air mancur di dalam istana Bakhchisaray di Krimea. Tertulis dengan tinta emas sejumlah ayat Al-Quran berikut sajak-sajak yang memuji keagungan para Khan pada monumen tersebut. Di antara ayat-ayat penggambaran surga yang tertulis tentu ayat kedelapan belas dari Surah al-Insan, “Sebuah mata air bernama Salsabila”. Ayat tersebut, tidak lain adalah janji surga kepada para hamba-Nya, yang mana oleh Al-Quran sering digambarkan sebagai taman, lengkap dengan sungai mengalir berikut mata airnya. Kata “bakhchisaray” sendiri memiliki arti istana dalam taman.
Beberapa abad kemudian air mancur tersebut dibuat semakin kesohor oleh Katrina Agung (Catherine II, The Great) dari Rusia, yakni pada abad ke-18 satu zaman dengan penyair besar Alexander Pushkin. Dua tokoh tersebut sama-sama menyanjung kehebatan muslim Tatar dengan istana Bakhchisaray-nya, tidak aneh bila dalam sejarah panjangnya acapkali disebut Alhambra-nya Rusia atau Taj Mahal-nya Rusia.
Katrina Agung mengunjungi istana Bakhchisaray berikut bangunan-bangunan tua lainnya pada tahun 1787 dan berdiam di sana selama beberapa malam, yakni beberapa saat setelah pasukannya berhasil merebut Krimea dari Kekhanan di bawah kuasa Kesultanan Utsmaniyah. Sang permaisuri sengaja berkunjung antara lain untuk meresapi keindahan alam pesisirnya dan mengabadikan air mancur, masjid, mausoleum, serta bangunan-bangunan bersejarahnya dalam beberapa sajak dan prosa liris.
Katrina Agung di usia limapuluhan, lukisan oleh Johann Baptist von Lampi the Elder
Alexander Pushkin yang berkunjung ke sana tahun 1820 menulis puisi bertajuk “Air Mancur Bakhchisaray” (The Fountain of Bakhchisaray) yang dipublis pada tahun 1824. Puisi tersebut tentang kehebatan salah seorang Khan berikut legenda kisah cintanya yang tragis dalam ungkapan terkenalnya “The Fountain of Tears” yang diikuti penggambaran bertajuk kekaguman terhadap taman istana beserta yang ada padanya. Karya balet berjudul “Bakhchisaray Fountain” garapan Boris Asafyef adalah salah satu adaptasi paling terkenal dari puisi Pushkin tersebut.
Salah satu sudut Istana Bakhchisaray, tampak menara dengan khas arsitektur Turki Usmani
Bagi kaum Tatar Krimea era modern, sejarah bukan semata sesuatu yang tertulis dalam buku, melainkan arus kehidupan sehari-hari yang mana seringkali pilu dan menyakitkan. Generasi tertua mereka masih ingat bagaimana mereka hampir dimusnahkan oleh Joseph Stalin, meski akhirnya sekadar diusir secara massal. Mereka hanya diberi waktu 30 menit untuk berkemas, sebagian besar dari mereka tidak pernah dapat melihat kediamannya lagi.
Sampai hari ini, mereka yang berstatus minoritas di Moskow dan Kazan besar kemungkinan masih menyimpan ketakutan terhadap kaum mayoritas Kristen Ortodoks Rusia. Tanah air asli yang mereka miliki diserahkan kepada Ukraina pada tahun 1954 oleh pimpinan Soviet waktu itu, Nikita Khrushchev.
Bahkan setelah kematian Stalin pada tahun 1953, puluhan ribu muslim Tatar Krimea tetap memilih berdiam di Asia Tengah selama beberapa dekade pascadeportasi, sebagian besar dari mereka juga masih tinggal di Uzbekistan. Baru setelah keruntuhan Uni Soviet pada 1991, tidak sedikit dari kelompok etnis muslim ini kembali ke kampung halaman mereka.
Dukungan kaum Muslim Tatar Krimea terhadap Hitler dan Nazi baru semata dugaan, namun penderitaan yang mereka terima dari Stalin adalah kenyataan. Deportasi paksa bagi seluruh penduduk muslim Tatar tersebut terjadi pada bulan Mei tahun 1944, berjumlah sekitar 230.000 jiwa. Pengusiran tersebut memakan setidaknya 100.000 korban selama perjalanannya ke Uzbekistan. Penulis Jalal Khan menggambarkan Stalin telah membantai dan membuat mereka menderita dengan cara seperti (1) Hitler membantai orang-orang Yahudi, (2) Vladimir Putin memperlakukan warga Muslim Chechnya (tidak kurang dari 250.000 warga sipil terbunuh pada tahun 1999, belum termasuk perang Rusia-Chechnya antara 1994-1996 di bawah presiden Boris Yeltsin), dan (3) perlakuaan Bashar Al-Asad terhadap warga negaranya sendiri, Suriah.
Jalal Khan melanjutkan, betapa ironis seorang Stalin yang notabenenya sangat menyukai balet Asafyef juga sajak Pushkin menjadi tokoh di balik penderitaan besar kaum muslim Tatar di Krimea pada 1944. Sama ironisnya dengan kebijakan ekstrim Putin saat ini, melihat ia sebagai tokoh anti-LGBT yang juga sempat menyetujui pembangunan masjid megah di Chechnya beberapa tahun lalu. Pada waktu yang sama, bahkan Putin juga mengataka menghina Nabi Muhammad tidak terhitung sebagai kebebasan berekspresi, melainkan tindakan yang mencederai kebebasan dalam beragama.
Cara pandang Putin di atas sekilas mengingatkan warganya pada Permaisuri Katrina Agung yang terkenal toleran terhadap warga muslimnya, dengan mendukung mereka untuk membangun masjid semegah dan bermenara setinggi mungkin (yang mana pada saat itu menuai banyak penentangan dari warga beragama lain). Bagi Katrina, urusan ‘naik ke langit’ bukanlah urusannya, yang menjadi urusannya adalah mengurus rakyat dengan membantu urusan-urusan mereka. Putin yang dari berbagai sisi dipandang memiliki spirit yang sama dengan mendiang Katrina tidak aneh bila akhir-akhir ini memaksa dahi warga Eropa mengernyit, setidaknya bagi sebagian muslim di Eropa.
Ukraina sendiri merupakan negara Eropa Timur yang terbilang besar, sempat menjadi bagian dari Uni Soviet (USSR) hingga keruntuhannya pada tahun 1991 seiring berakhirnya perang dingin. Sejak dianeksasi oleh Rusia pada 2014 lalu, Krimea semakin kerap mengisi halaman depan berbagai media massa, lebih-lebih setelah Ukraina mulai diserang militer Rusia sejak 24 Februari lalu.
Muslim Tatar Krimea tergabung dalam unit pro-Ukrania melawan Separatis Rusia di Donbass (Sumber foto: middleeasteye.net)
Sejak Krimea diambil alih oleh Rusia, yang mana mayoritas berbagai negara tidak mengakuinya, orang-orang Tatar mengkhawatirkan adanya upaya-upaya untuk membungkam suara mereka. Kenangan sejarah tentang penganiayaan yang lalu-lalu membuat sebagian besar dari mereka lebih memilih berada di bawah payung Ukraina daripada harus berteduh di bawah bendera Rusia.
Ke arah mana sejarah hendak bergerak, kepada kuasa siapa wilayah ini akan bertolak, warga muslim Tatar Krimea harus tetap pandai bergaul dengan pemerintah mereka, memiliki daya toleransi tinggi dan kecanggihan dalam melobi dan menawar segala bentuk kebijakan dan kesepakatan. Jika tidak, boleh jadi kemungkinan terburuk bakal bukan sekadar kemungkinan.