Wacana “jenggot” tak pernah habis untuk dibahas. Pembahasan mainstream yang kerap kita dengar ada perbedaan pendapat antara empat madzhab mengenai hukum jenggot. Kalangan Hanafiyah dan Hanabilah berpandangan jenggot haram dipotong. Sementara menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, jenggot makruh dipotong.
Ulama hadits dari Alexandria Mesir yang sangat disegani, Syekh Ibrahim Abdul Baits Al-Kattani, mempunyai pandangan ‘non-mainstream’ dalam menafsirkan ‘hadits jenggot’. Menurutnya, melihat redaksi hadits yang kerap dijadikan dalil, sama sekali tidak menunjukkan keharusan memelihara jenggot tanpa dipotong sama sekali. Maknanya justru malah sebaliknya: anjuran memotong jenggot. Alasannya, pada kata kerja (fi’il) hadits “a’fû al-lihâ” terdapat hamzah yang disebut “hamzah as-salb wa al-izâlah”. Dan hamzah ini yang membuat maknanya berbalik dari apa yang kita pahami selama ini.
Apa Itu Hamzah as-Salb wa al-Izâlah?
Hamzah as-salb wa al-izâlah adalah hamzah yang masuk pada kata kerja dengan membawa makna “as-salb wa al-izâlah” pada asal makna kata kerja tersebut. Dengan kata lain, ia adalah hamzah yang membubuhkan makna ‘meniadakan’ dan ‘menghilangkan’. Seperti namanya, menurut Syekh Hazimi, jika hamzah ini masuk pada bentuk kata kerja (fi’il), ia akan merubah makna kalimat tersebut menjadi makna yang berlawanan dari makna asalnya.
Para ulama kerap mencontohkan dengan redaksi: “a’jamtu al-kitâb” (اعجمت الكتاب). Redaksi ini mempunyai makna memberi penjelasan pada sebuah kitab sehingga membuatnya ‘tak asing’. Sementara kata عجم sendiri mempunyai makna asing dan samar. Hamzah yang masuk pada ‘ajama menghilangkan ‘kesamaran’ kitab itu sehingga menjadi jelas.
Mari kita lihat satu contoh aplikasi “hamzah as-salb” pada ayat al-Quran maupun hadits Nabi Muhammad SAW.
Pada ayat “innallaha yuhibbu al-muqsithîn”, kata al-Qisth (القسط) sejatinya mempunyai makna kelaliman (الجور). Apabila “hamzah as-salb” masuk pada kata tersebut, makna kata itu akan berubah menjadi lawan dari makna asalnya. Sehingga jika kita artikan firman Allah,
ان الله يحب المقسطين
Artinya menjadi: “Allah menyukai orang orang yang menghilangkan kelaliman (adil).” (QS. Al-Maidah [5]: 42)
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Al-Bukhari juga dikatakan,
اعذر الله الي امرئ اخر اجله حتي بلغه ستين سنة
“Allah menghilangkan ampunan (اعذر) seseorang yang panjang umurnya hingga mencapai 60 tahun.” (HR. Al-Bukhari)
Asal kata “adzara” adalah mengampuni/memaafkan. Apabila “hamzah as-salb” masuk pada kata ini, ia menjadi bermakna “menghilangkan ampunan” (ازالة العذر).
Baca juga: Ada yang Aneh dengan Kaum Muslim Urban di Indonesia
Lantas jika makna ‘meniadakan’ dan ‘menghilangkan’ ini ditambahkan pada redaksi ‘hadits jenggot’, akan seperti apa maknanya?
Syekh Ibrahim Abdul Ba’its Al-Kattani mengatakan, redaksi kata kerja pada hadits “a’fû al-liha” (اعفوا اللحي) adalah redaksi kata kerja yang dimasuki “hamzah as-salb”. Al-‘Afwu sendiri mempunyai beberapa makna: terkadang ia bermakna memaafkan (الصفح), meninggalkan (الترك), tanpa penjelasan (السكوت عن البيان), lebihan (الفضل) dan beberapa makna lainnya. Makna terakhir (lebihan), menurut Syekh Ibrahim, adalah makna yang paling sesuai dengan konteks hadits di atas.
Sehingga makna yang tepat, bukan “panjangkan jenggot”, akan tetapi justru “potonglah lebihan/sisa jenggot kalian”.
Makna tersebut sejalan dengan firman Allah,
يسألونك ماذا ينفقون قل العفو
“Mereka bertanya kepadamu, apa yang kamu nafkahkan? Jawablah, “dari sisa keperluan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 219)
Menurut Syekh Ibrahim, jika a’fû al-lihâ dimaknai ‘panjangkan jenggot’, maka menjadi tidak sejalan dengan sunnah fitrah. Sunnah fitrah sendiri didasarkan pada hukum “penghilangan”.
Seperti kita tahu, memotong jenggot merupakan bagian dari sunnah fitrah. Kuku, rambut ketiak, rambut kemaluan, termasuk jenggot adalah sunnah fitrah yang didasarkan pada hukum “penghilangan.” Jika sunnah fitrah dari kuku, rambut ketiak, rambut kemaluan adalah dipotong (penghilangan), kenapa jenggot dikecualikan?
Dalam Shahih Ibnu Hibban disebutkan, Nabi Muhammad SAW melakukan sunnah fitrah setiap Kamis, dan di antara yang beliau lakukan adalah memotong jenggot (‘ifâ’u al-lihyah). Sunnah fitrah yang dimaksud bertujuan untuk keindahan penampilan dan keelokan lahiriah hingga tak membuat orang menjauh saat berdekatan. Jika yang dimaksud dengan i’fâ’u al-lihyah adalah “memanjangkan jenggot”, kenapa harus ada pembatasan di setiap hari Kamis? Bukankah kerapian itu pada jenggot yang tertata dan tidak berlebihan panjangnya.
Dan lagi, Khitab اعفوا اللحي awal mula tertuju pada orang Arab. Kita tahu, ras Arab merupakan ras berjenggot (multahi), bukan yang memotong jenggot (halîq). Tidak logis apabila perintah itu adalah ‘perintah memanjangkan’ sementara mereka dari awal merupakan ras yang berjenggot lebat nan panjang. Makna “panjangkan” mungkin tepat jika orang Arab mempunyai tradisi gemar memotong jenggot. Tapi kenyataannya justru sebaliknya.
Di sisi lain, perintah memanjangkan jenggot adalah untuk menyelisihi Yahudi maupun orang Musyrik. Menurut Syekh Ibrahim Abdul Ba’its, tradisi orang Yahudi dan rahib-rahibnya justru mempunyai kegemaran memanjangkan jenggot mereka. Tentu saja maksud Nabi menjadi hilang manakala kita sama sama memanjangkan jenggot seperti mereka.
Baca juga: Benarkah Orang Murtad Harus Dihukum Mati?
Lantas bagaimana jika kita disuguhi redaksi hadits lain, bukankah redaksi yang lain mempunyai makna ‘memanjangkan jenggot’?
Redaksi hadits yang mempunyai muatan makna sama, sejatinya tidak menganulir makna a’fû (اعفوا) yang mempunyai makna menghilangkan lebihan/izâlatul ‘afw (ازالة العفو). Justru maknanya akan semakin kokoh.
Dalam redaksi lain disebutkan “waffirû…” (وفروا). Syekh Ibrahim mengatakan, maknanya bukan “panjangkan”, sebagaimana yang dipahami kebanyakan orang. Tetapi “potonglah yang berlebihan” (azîlû wafratahâ).
Menurutnya, “waffara” (وفر) dalam bahasa Arab mempunyai makna “iqtatha’a” (memotong). Sehingga jika kita jumpai kalimat: “waffartu min râtibî mablagha kadza” (وفرت من راتبي مبلغ كذا), mempunyai makna: “aku memotong jumlah sekian dari gajiku.”
Adapun hadits dalam Shahih Muslim yang berbunyi “arkhû al-lihâ” ( ارخوا), makna yang paling sesuai adalah “uraikan”. Makna ini tentu saja disesuaikan dengan konteks redaksinya yang mempunyai maksud menyelisihi Majusi (ارخوا اللحي خالفوا المجوس): Majusi mempunyai kebiasaan mengepang jenggot mereka. Sehingga kita diperintahkan untuk membiarkannya terurai, bukan membiarkan panjang.
Jadi, kesunnahan memotong jenggot yang diambil dari redaksi “a’fû al-lihâ” karena dimasuki “hamzah as-salb”, tidak bertentangan dengan redaksi “waffirû” (وفروا) yang bermakna “memotong”, dan “arkhû” (ارخوا) yang mempunyai makna “mengurai”. Semuanya tidak mengarah ke makna pembiaran jenggot panjang tanpa dipotong sama sekali.
Syekh Ibrahim Abdul Baits Al-Kattani adalah murni jebolan pendidikan tradisional tempaan ulama Mesir dan sekitarnya. Bahkan, ia pernah menimba sanad pada Syekh Yasin Padang.
Syekh Ibrahim bukan seorang akademisi lulusan Universitas, bukan pula pemikir kontemporer yang buah pikirnya kerap dipandang sebelah mata. Ia satu-satunya ulama di abad ini yang hapal Shahih Al-Bukhari di luar kepala. Ijtihad beliau didasarkan pada pembacaan hadits-hadits Nabi secara komprehensif dan penguasan terhadap perangkat untuk membacanya secara matang.