Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Tafsir Hidayatul Quran: Tafsir milenial berbahasa Arab karya Ulama Indonesia

Avatar photo
88
×

Tafsir Hidayatul Quran: Tafsir milenial berbahasa Arab karya Ulama Indonesia

Share this article

Pendahuluan

Umat Islam akan selalu memiliki kebutuhan mendesak terhadap tafsir al-Quran dalam upaya memahami dan memedomani al-Quran. Kitab tafsir menjadi rujukan utama untuk menjembatani pengertian dan pemahaman manusia terhadap al-Quran. Sesungguhnya al-Quran itu universal, tetap dan tidak berubah sepanjang zaman. Namun ia memuat pesan-pesan simbolik, metaforis dan terkadang tidak dapat diterapkan secara harfiah oleh manusia, di sisi lain, peradaban manusia dan ilmu pengetahuannya yang selalu berkembang menuntut adanya uraian dan penjelasan yang lebih rinci mengenai suatu maksud dan tujuan yang sebelumnya belum pernah terjadi. Pada konteks ini, hadirnya berbagai macam tafsir al-Quran yang tumbuh dari masa dan peradaban berbeda akan mempermudah dan melengkapi pemahaman-pemahaman pesan ilahiah yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran.

Di Indonesia, perkembangan tafsir sangat membanggakan, ini nampak dari banyaknya karya-karya tafsir dengan corak dan manhaj yang beragam, baik menggunakan bahasa Indonesia, bahasa daerah, maupun bahasa Arab. Karya tafsir al-Quran lengkap 30 juz telah lahir sejak abad ke-17 M, diawali dengan kitab Tarjumân al-Mustafîd karya Syaikh ‘Abdur Ra’uf as-Sinkilî, dilanjutkan oleh Syaikh Nawawi al-Bantanî, Mahmud Yunus, Munawar Khalil, A. Hasan, Oemar Bakri, Hasbi Ash-Shiddiqy, Buya Hamka, Kiai Bisyri Mushthafa, Kiai Mishbah Mushthafa, dan Prof. Quraish Shihab. Daftar ini akan semakin panjang jika kita memasukkan karya-karya ulama nusantara yang masuk kategori tafsir namun tidak utuh 30 juz.

Tradisi Penafsiran al-Quran Berbahasa Arab di Indonesia

Tradisi penulisan tafsir berbahasa Arab di Indonesia telah diawali oleh Imam Nawawi al-Bantanî (1813-1879 M) dengan kitab tafsirnya, Marâh Labîd li Kasyfi Ma‘na al-Qur’ân al-Majîd atau yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Munîr. Tafsir ini diterbitkan di Makkah pada tahun 1880 M dan diterbitkan di Mesir pada tahun 1936 M. Selanjutnya muncul kitab Tafsir al-Khatîb al-Makkî (1947 M) karya Syaikh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi, lalu Tafsir Jâmiʿ al-Bayân min Khulâshat Suwar al-Qurʾan karya Muhammad bin Sulaiman Solo (1984 M), Tafsir al-Mu‘tasham fî Tafsîr al-Qur’ân al-Mu‘azhzham karya Kiai Abdul Halim Halimy Abî Hâtim al-Asham, Jember (2011 M), Tafsir Firdaus an-Na‘îm (2013 M) karya Kiai Thaifūr Ali Wafa Madura, dan mungkin masih banyak lagi karya tafsir lain yang ditulis dalam bahasa Arab.

Tafsir berbahasa Arab memiliki kelebihan dan kekurangan. Bahasa Arab merupakan salah satu bahasa mayor di dunia. Ia menempati urutan kelima dari 20 bahasa dunia berdasarkan penuturnya. Sedangkan dari segi pengguna, bahasa Arab menempati posisi ketujuh. Selain itu, bahasa Arab merupakan bahasa induk bagi dunia intelektual muslim. Karya berbahasa Arab akan menjadi sumbangsih keilmuan dan peradaban dunia karena dapat diakses oleh lebih banyak muslim dari berbagai negara. Tentunya hal ini berjalan selaras dengan segala risiko kerumitan dan risiko kesalahan yang menyertai proses pembuatannya, juga peminatnya di tingkat lokal.

Tafsir Hidâyat al-Qur’ân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân

Tafsir Hidâyat al-Qur’ân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân adalah karya Dr. Kiai Afifuddin Dimyathi Romly, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang, dicetak pada tahun 2023 di Dâr an-Nibrâs, Kairo Mesir. Tafsir Berbahasa Arab ini melengkapi karya-karya berbahasa Arab beliau yang lain yang sudah diterbitkan di Mesir, yaitu asy-Syâmil fî Balâghat al-Qur’ân dan Jam‘ al-‘Abîr fî Kutub at-Tafsîr.

Tafsir Hidâyat al-Qur’ân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân disusun dalam 4 jilid dengan pengantar dari KH. Miftachul Akhyar, Rais Aam PBNU (periode 2022-2027) dan Prof. Dr. Muhammad Sâlim Abû ‘Âshî, Guru Besar Tafsir dan Ilmu al-Quran Universitas al-Azhar Kairo. Jilid pertama memuat mukaddimah dan tafsir surah al-Fâtihah hingga al-An‘âm dengan ketebalan 488 halaman. Jilid kedua berisi tafsir surah al-A‘râf-sampai Maryam dengan ketebalan 467 halaman. Jilid ketiga memuat tafsir surah Thâhâ hingga Shâd dengan ketebalan 487 halaman. Jilid keempat memuat surah az-Zumar hingga an-Nâs dengan ketebalan 546 halaman. Penulisan karya tafsir ini dimulai pada tanggal 7 Maret 2022 dan diselesaikan pada tanggal 17 Agustus 2023, sebagaimana yang tercantum di bagian penutup.

Dalam tafsir ini, Kiai Afifuddin menafsirkan al-Quran dengan mengikuti sistematika tahlîlî-ijmâlî, yakni sistematika penulisan tafsir yang menitikberatkan pada penafsiran global ayat perayat sesuai urutan surah dan ayat dalam Mushaf ‘Utsmânî. Beliau memulainya dengan menyebutkan identitas surah yang meliputi tempat turunnya surah (makkiyah atau madaniyah), dan jumlah ayat. Kemudian beliau mencantumkan satu atau dua ayat utuh, dan menulis kata “wa al-ma‘na” sebagai penanda tafsirnya. Dari sini, beliau mulai menafsirkan maknanya secara global (ijmâlî) sembari mengaitkannya dengan ayat-ayat lain. Apabila menemukan riwayat tafsir, perbedaan pendapat, atau keterangan penting dari para ulama, beliau akan menukilkannya dan menambahkan catatan kaki sebagai referensinya.

Tafsir Hidâyat al-Qur’ân membawa dan mengajak pembaca ke dalam proses tadabbur (perenungan) ayat-ayat al-Quran yang saling berkaitan. Pembaca diajak memasang puzzle-puzzle makna al-Quran yang berlapis-lapis, tersebar dan disiapkan Allah dalam ayat-ayat-Nya yang saling menjelaskan. Ayat-ayat di berbagai tempat itu menginspirasi pelbagai kemungkinan makna. Hal ini nampak jelas saat kita membaca dialog kisah-kisah dalam al-Quran. Kita akan merasakan kehebatan rangkaian ayat dan pilihan lafal yang telah ditata sedemikian rupa oleh Allah, sehingga betapapun suatu kisah terulang, alih-alih merasa jenuh dan bosan, kita justru mendapati kebaruan-kebaruan. Pada titik ini, Tafsir Hidâyat al-Qur’ân seakan mengajak pembacanya melacak sebab-sebab perbedaan rangkaian ta‘bîr yang termuat dalam al-Quran melalui pemaparan ayat-ayat yang saling berkaitan.

Beberapa manfaat yang bisa dirasakan oleh pembaca Tafsir Hidâyat al-Qur’ân sebagai berikut:

1. Membantu memahami dan menata puzzle makna lafal

Hal ini misalnya, bisa dilihat ketika Kiai Awis menafsirkan ayat kedua dari surah al-Fâtihah. Beliau mengaitkannya dengan surah ar-Rûm [30]: 18 dan al-Qashash [28]: 80. Dari pengaitan ayat-ayat ini, makna frasa pertama al-Fâtihah [1]: 2 yang semula “hanya” berbunyi, “Segala puji bagi Allah,” diperluas sehingga menghasilkan makna yang lebih utuh, yakni bahwa pujian untuk Allah, memenuhi segala ruang di langit dan bumi, serta memenuhi waktu di dunia dan akhirat. Begitu juga ketika menafsirkan kata ‘âlamîn, Kiai Awis menjelaskan bahwa maknanya adalah segala sesuatu yang ada di langit, bumi dan di antara keduanya, sembari menyebutkan ayat yang menegaskan makna ini, yaitu surah asy-Syu‘arâ’ [26]: 23-24 dan al-Jâtsiyah [45]: 36.[1]

Dengan membaca Tafsir Hidâyat al-Qur’ân, kita diajak jeli dalam melihat hubungan antar ayat, dan mengembara pada lapisan-lapisan makna yang terkandung dalam ayat-ayat penjelas.

2. Membantu memperoleh keutuhan dan kedalaman makna

Hal ini misalnya, bisa kita lihat ketika membaca surahh ayat 26:

وَقَالَ نُوْحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْاَرْضِ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ دَيَّارًا

Nuh berkata, “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi.”

Menurut timbangan akal manusia, doa Nabi Nûh ini cukup ekstrem jika diucapkan oleh seorang Nabi. Lafal dayyâran yang digunakan untuk mengukuhkan makna nafî, menurut adh-Dhahhâk, seorang mufasir terkenal dari kalangan tabiin (w. 105 H),[2] berarti bangunan (tempat tinggal). Dengan demikian, makna ayat di atas kurang lebih berbunyi, “Jangan biarkan seorangpun tersisa (di antara orang-orang kafir itu), termasuk rumah tempat tinggal (bagi mereka).” Sedangkan menurut as-Suddî, seorang mufasir kenamaan yang juga dari kalangan tabiin (w. 127 H),[3] ad-dayyâr ialah orang yang menghuni rumah.[4] Walhasil, doa tersebut mengisyaratkan pemusnahan masal tanpa pengecualian dan tanpa sisa, termasuk bangunan.

Di luar tema kedahsyatan ini, timbul pertanyaan, “Mengapa doa ini diucapkan seorang nabi, apakah ini bentuk sebuah keputus-asaan? Tidak mungkinkah bagi Nabi Nûh untuk bersabar sedikit lagi? Apakah ini ungkapan kemarahan dan kebencian seorang nabi, yang tentunya tidak sesuai dengan kaidah sifat para nabi yang terbimbing dan tidak bertindak berdasarkan nafsu, terlebih bila dikaitkan dengan sifat rahmân Allah?”

Nah, pertanyaan-pertanyaan semacam ini akan ditemukan jawabannya dalam Tafsir Hidâyat al-Qur’ân. Kiai Awis menjelaskan bahwa doa Nabi Nûh pada ayat tersebut dilatarbelakangi oleh surah Hûd [11]: 36 yang menjelaskan bahwa sebelum berdoa dengan doa yang dahsyat itu, Nabi h telah menerima wahyu dari Allah yang mengabarkan bahwa pengikutnya tidak akan bertambah.

وَاُوْحِيَ اِلٰى نُوْحٍ اَنَّهٗ لَنْ يُّؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ اِلَّا مَنْ قَدْ اٰمَنَ فَلَا تَبْتَىِٕسْ بِمَا كَانُوْا يَفْعَلُوْنَۖ

Dan diwahyukan kepada Nûh, “Ketahuilah tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang sudah beriman (saja), karena itu janganlah engkau bersedih hati tentang apa yang mereka perbuat.

Nabi Nûh juga menjelaskan dalam lanjutan doa di atas (Nûh [71]: 27) alasan beliau berdoa dengan doa tersebut yaitu:

اِنَّكَ اِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوْا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوْٓا اِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا

Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.

Kiai Awis dalam tafsirnya menjelaskan bahwa Nabi Nûh mengetahui fakta ini karena beliau sudah berpengalaman berdakwah selama 950 tahun, dan mendapati bahwa kekafiran mereka senantiasa diturunkan dari generasi ke generasi. Kemudian Kiai Awis menguatkan penafsirannya ini dengan surah al-‘Ankabût [29]: 14, yaitu:[5]

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا اِلٰى قَوْمِهٖ فَلَبِثَ فِيْهِمْ اَلْفَ سَنَةٍ اِلَّا خَمْسِيْنَ عَامًا ۗفَاَخَذَهُمُ الطُّوْفَانُ وَهُمْ ظٰلِمُوْنَ

Dan sungguh, Kami telah mengutus Nûh kepada kaumnya, maka dia tinggal bersama mereka selama seribu tahun kurang lima puluh tahun. Kemudian mereka dilanda banjir besar, sedangkan mereka adalah orang-orang yang zalim.

Contoh lain bisa dibaca juga dalam surah Hûd [11]: 45 yang bercerita tentang “protesnya” Nabi Nûh kepada Allah ketika melihat anaknya akan tenggelam. Dalam Tafsir Hidâyat al-Qur’ân dijelaskan, bahwa protes Nabi Nûh ini bukan karena lemahnya hati, namun sebaliknya, merupakan ketaatan Nabi Nûh terhadap perintah Allah sebelum banjir turun untuk memasukkan keluarganya ke kapal. Perintah itu terdapat dalam ayat ke-40 di surah yang sama.

قُلْنَا احْمِلْ فِيْهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَاَهْلَكَ

Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalamnya (kapal itu) dari masing-masing (hewan) sepasang (jantan dan betina), dan (juga) keluargamu.

Kronologinya akan semakin jelas jika kita membaca lanjutan ayatnya, yaitu surah Hûd [11]: 46.

قَالَ يٰنُوْحُ اِنَّهٗ لَيْسَ مِنْ اَهْلِكَ ۚاِنَّهٗ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ فَلَا تَسْـَٔلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنِّيْٓ اَعِظُكَ اَنْ تَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ

Dia (Allah) berfirman, “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku melarangmu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.”

 Ayat ini menegaskan bahwa janji keselamatan Allah hanyalah berlaku pada keluarga Nabi Nûh yang seiman. Kan‘ân yang telah melakukan banyak perbuatan yang tidak baik akan tenggelam. Dalam Tafsir Hidâyat al-Qur’ân, Kiai Afifuddin juga menjelaskan bahwa makna “a’izhuka” dalam ayat ini bukanlah nasehat, tetapi sebuah larangan. Beliau memberi argumen beruapa penggunaan kata sejenis yang termaktub dalam surah an-Nûr [24]: 17. Dengan demikian, konteks ayat di atas ialah larangan kepada Nabi Nûh atau siapapun untuk berdoa dengan tujuan membela atau memprotes ketentuan Allah yang tidak didasari dengan ilmu tentang ketentuan tersebut, karena pelakunya akan terjatuh dalam kebodohan.[6]

Dari sini terlihat bahwa menafsirkan al-Quran dengan al-Quran sangat membantu memperoleh kejelasan makna, merasakan keindahan rangkaian ayat-ayat al-Quran yang saling berkaitan, dan merasakan konsistensi dan keutuhan pesan ilahiah yang tersebar di berbagai tempat. Dengan merenungkan isyarat lafal dan isyarat makna yang saling berhubungan, pembaca akan memperoleh “kisi-kisi” makna, keluasan kandungan dan hikmah-hikmah tersembunyi, sehingga akan memperoleh pemahaman yang berlapis-lapis.

3. Membantu mengurai beberapa problem dalam penafsiran ayat

Dalam memberi penjelasan dan menguraikan makna dan kandungan ayat, tidak jarang seorang mufasir menemui problem. Berkenaan dengan problem ini, tafsir al-Qur’ân bi al-Qur’ân terkadang mampu memberikan penjelasan dengan baik, karena ia berusaha menghadirkan kedua ayat yang seakan problematik tersebut dalam sebuah rangkaian pemaparan, sehingga bisa didapatkan benang merah dari redaksi yang dianggap berbeda. Misalnya, terdapat dua ayat yang memberitakan sebuah kisah dengan pelaku dan peristiwa yang sama, namun terdapat satu redaksi yang berbeda. Ayat pertama, surah al-A‘râf [7]: 160 berikut ini:

وَقَطَّعْنٰهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ اَسْبَاطًا اُمَمًاۗ وَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اِذِ اسْتَسْقٰىهُ قَوْمُهٗٓ اَنِ اضْرِبْ بِّعَصَاكَ الْحَجَرَۚ فَانْۢبَجَسَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًاۗ قَدْ عَلِمَ كُلُّ اُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْۗ وَظَلَّلْنَا عَلَيْهِمُ الْغَمَامَ وَاَنْزَلْنَا عَلَيْهِمُ الْمَنَّ وَالسَّلْوٰىۗ كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْۗ وَمَا ظَلَمُوْنَا وَلٰكِنْ كَانُوْٓا اَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُوْنَ

Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar dan Kami wahyukan kepada Mûsâ ketika kaumnya meminta air kepadanya: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka mengalirlah dari padanya dua belas mata air. Sesungguhnya tiap-tiap suku mengetahui tempat minum masing-masing. Dan Kami naungkan awan di atas mereka dan Kami turunkan kepada mereka manna dan salwa. (Kami berfirman): “Makanlah yang baik-baik dari apa yang telah Kami rezekikan kepadamu.” Mereka tidak menganiaya Kami, tapi merekalah yang selalu menganiaya dirinya sendiri.

Sedangkan ayat kedua yang memiliki kemiripan pelaku dan peristiwa dengan ayat di atas adalah surah al-Baqarah [2]: 60.

وَاِذِ اسْتَسْقٰى مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِّعَصَاكَ الْحَجَرَۗ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۗ قَدْ عَلِمَ كُلُّ اُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ ۗ كُلُوْا وَاشْرَبُوْا مِنْ رِّزْقِ اللّٰهِ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Mûsâ memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu.” Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.

Pada kedua ayat di atas dikisahkan bahwa Nabi Mûsâ mendapat perintah untuk memukulkan tongkatnya kepada batu sehingga keluarlah air dari batu tersebut. Namun keluarnya mata air itu diungkapkan dengan redaksi yang berbeda. Surah al-A‘râf [7]: 160 meredaksikannya dengan “fanbajasat” (فَانْۢبَجَسَتْ), sedangkan surah al-Baqarah [2]: 60 melukiskannya dengan “fanfajarat” (فَانْفَجَرَتْ). Pertanyaannya, apakah kedua redaksi ini memiliki makna yang sama?

Dengan menggunakan pendekatan tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân, kita dapat merunut dan menemukan jawabannya. Bila diamati secara saksama, pada dua narasi kisah di atas terdapat perbedaan, yaitu subjek yang menginginkan air. Dalam al-A‘râf [7]: 160, disebutkan bahwa yang menginginkannya adalah Bani Israil, maka air keluar dengan “inbajasat” atau mengalir keluar dari batu yang dipukul Nabi Mûsâ. Berbeda dengan peristiwa dalam al-Baqarah [2]: 60, subjek yang menghendaki dan menginginkan air adalah Nabi Mûsâ. Maka jawaban atas doa tersebut adalah “infajarat” yaitu terpancarnya 12 mata air yang deras. Dengan kata lain, perbedaan subjek dalam dua narasi kisah tersebut berimplikasi pada perbedaan redaksi “keluarnya mata air”. Bila subjeknya adalah Bani Israil, maka redaksi inbajasat-lah yang dipilih, yang berarti “mengalirnya mata itu seperti pada umumnya (baca: tidak deras)”. Sedangkan jika subjeknya adalah Nabi Mûsâ, maka redaksi infajarat-lah yang dipilih, yang berarti “memancarnya air dengan deras”. Hal ini dijelaskan oleh Kiai Awis dalam tafsirnya dengan merujuk pada pendapat Imam Suyûthî.[7]

Penutup

Kita patut bersyukur pada milenium ketiga ini di Indonesia telah hadir karya tafsir 30 Juz berbahasa Arab: Hidâyat al-Qur’ân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân. Kehadirannya akan memperkaya literasi khazanah tafsir al-Quran di Nusantara dan menginspirasi dunia intelektual muslim Indonesia, sekaligus menjadi kontribusi pemikiran Nusantara di kancah intelektual muslim dunia.

Hasil karya pemikiran ulama Nusantara tentunya sangat menarik untuk dikaji oleh pemikir muslim dunia, karena lahir dan tumbuh dari konteks sosial dan peradaban yang berbeda dengan negara muslim lainnya. Yaitu sebuah bangsa muslim terbesar yang dianggap mampu dan berhasil mengakomodir keragaman budaya, perbedaan madzhab dan pemikiran tanpa konflik yang berarti. Terlebih, Hidâyat al-Qur’ân Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân ini telah diberi pengantar oleh Prof. Dr. Muhammad Sâlim Abû ‘Âshî, Guru Besar Tafsir dan Ilmu al-Quran Universitas al-Azhar Kairo. Tegasnya, ia sangat berpeluang melengkapi prestasi buku-buku Kiai M. Afifuddin Dimyathi Romli lainnya yang sudah diterbitkan di Mesir dan menjadi kajian akademik di kalangan pelajar muslim dunia. Wallâhu A‘lam.

Daftar Pustaka

Dimyathi, Muhammad Afifuddin. Hidâyat al-Qur’ân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân, Kairo: Dâr an-Nibrâs, 2023.

Dzahabî (al), Syamsuddîn Muhammad Ibn Ahmad Ibn ‘Utsmân. Siyar A‘lâm an-Nubalâ’, Vol. 5. t.tp: Mu’assasah ar-Risâlah, 1985.

Ibn Katsîr, Abî al-Fidâ’ Ismâ‘îl Ibn ‘Umar al-Qurasyî ad-Dimasyqî. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Vol. 8. Riyadh: Dâr Thayyibah, 1999.

Mâwardî (al), Abî al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habîb. an-Nukat wa al-‘Uyûn: Tafsîr al-Mâwardî, Vol. 6. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah & Mu’assasah al-Kutub ats-Tsaqâfiyyah, t.t.

Nuwayhidh, ‘Âdil. Mu‘jam al-Mufassirîn min Shadr al-Islâm wa hatta al-‘Ashr al-Hadîts, Vol. 1. Beirut: Mu’assasah Nuwayhidh ats-Tsaqâfiyyah, 1988.

Sâmarrâ’î (al), Fâdhil Shâlih. at-Ta‘bîr al-Qur’ânî. Amman: Dâr ‘Ammâr, 2006.

 


[1] Muhammad Afifuddin Dimyathi (Kiai Awis), Hidâyat al-Qur’ân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân, Vol. 1 (Kairo: Dâr an-Nibrâs, 2023).

[2] ‘Âdil Nuwayhidh, Mu‘jam al-Mufassirîn min Shadr al-Islâm wa hatta al-‘Ashr al-Hadîts, Vol. 1 (Beirut: Mu’assasah Nuwayhidh ats-Tsaqâfiyyah, 1988), 237.

[3] Syamsuddîn Muhammad Ibn Ahmad Ibn ‘Utsmân adz-Dzahabî, Siyar A‘lâm an-Nubalâ’, Vol. 5 (t.tp: Mu’assasah ar-Risâlah, 1985), 264-265.

[4] Abî al-Fidâ’ Ismâ‘îl Ibn ‘Umar Ibn Katsîr al-Qurasyî ad-Dimasyqî, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, Vol. 8 (Riyadh: Dâr Thayyibah, 1999), 236.

[5] Kiai Awis, Hidâyat al-Qur’ân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân, Vol. 4. Berkenaan dengan latar belakang Nabi Nûh berdoa dengan doa yang dahsyat itu, lihat pula Abî al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habîb al-Mâwardî, an-Nukat wa al-‘Uyûn: Tafsîr al-Mâwardî, Vol. 6 (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah & Mu’assasah al-Kutub ats-Tsaqâfiyyah, t.t.), 105.

[6] Kiai Awis, Hidâyat al-Qur’ân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân, Vol. 2.

[7] Kiai Awis, Hidâyat al-Qur’ân fî Tafsîr al-Qur’ân bi al-Qur’ân, Vol. 1. Bandingkan dengan hasil analisis as-Sâmarrâ’î dalam Fâdhil Shâlih as-Sâmarrâ’î, at-Ta‘bîr al-Qur’ânî (Amman: Dâr ‘Ammâr, 2006), 322-324.

Kontributor

  • M. Ali Mudhoffar

    Pemerhati kajian pesantren dan penulis buku metode cepat mengaji al-Quran Al Wasilah. Alumni MAK Darul Ulum dan Fakultas Adab UIN Sunan Ampel Surabaya. Sekarang tinggal di lingkungan Pondok Pesantren Darul 'Ulum dan mengabdi di Yayasan PP. Darul 'Ulum.