Dimensi bahasa
menjadi ruang kajian yang cukup penting dalam kajian tasawuf. Karena dimensi
ini merupakan jembatan vital antara seorang sufi dan orang-orang yang hendak
mengkaji atau memahami gagasan sufistiknya. Di sisi lain, banyak sufi
menggunakan media bahasa untuk mengekspresikan apa yang mereka alami sekaligus
meninggalkan jejak dari pengalaman-pengalaman sufistik mereka, meskipun pada
dasarnya dalam terang ma’rifah, pengalaman-pengalaman tersebut sangat
sulit diungkapkan ke dalam ungkapan bahasa secara utuh (A.E. Affifi 1995,
150-154).
Dalam hal
mengekspresikan pengalaman sufistik, gaya dan tata bahasa para sufi relatif
berbeda dengan lainnya. Begitu juga dengan perbendaharaan kata, term atau
istilah yang mereka sebutkan. Perbedaan ini lantaran pengalaman sufistik
bersifat personal, dan setiap sufi mengalami pengalaman yang tidak sama. Oleh
karena itu apa yang terekspresikan juga tidak sama. Biasanya ekspresi dan jejak
pengalaman sufistik termanifestasi dalam bentuk karya kitab, teks atau kalam
sufistik yang kemudian dibaca dan diinterpretasi oleh orang lain, lalu menjadi
wacana diskursif kajian tasawuf.
Salah satu sufi yang banyak meninggalkan jejak
pengalaman sufistik dalam dimensi bahasa adalah Ibnu ‘Arabi. Hal ini bisa
dilihat dari banyaknya karya tulis yang dia tinggalkan. Karya-karya Ibnu ‘Arabi
dalam bidang tasawuf sebenarnya secara tidak langsung menunjukkan gaya bahasa
sufistiknya yang khas. Kekhasan gaya bahasa tersebut berkaitan erat dengan
peyaksian sufistik (syuhūd) sebagai pengalaman sufistik yang dia alami. Dalam
arti lain, dari penyaksian sufistik inilah bahasa sufistik khas Ibnu ‘Arabi
terbentuk dan muncul sebagai gaya bahasa baru yang berbeda dengan gaya bahasa
para sufi sebelumnya. Dengan demikian, relasi antara pengalaman sufistik Ibnu
‘Arabi dan tata bahasa yang dia gunakan untuk mengungkapkannya sangat erat.
Syuhūd sebagai Sumber
Kreatif
Ibnu ‘Arabi
merupakan rajul al-Masyāhid (Souad
Al-Hakim 1991, 65), yaitu seseorang yang menyaksikan
fenomena-fenomena ilahiah tersingkap dalam suatu wadah imajinal yang disebut
dengan wadah penyaksian (masyhad). Misalnya ketika Ibnu ‘Arabi
menyaksikan penyingkapan diri Tuhan, maka penyingkapan tersebut berlangsung
dalam sebuah wadah imajinal yang disebut dengan masyhad/locus of witnessing.
Adapun proses menyaksikan/penyaksian disebut syuhūd/witnessing (William
C. Cittick 2001, 140). Namun yang perlu digarisbawahi; penyaksian ini
merupakan pemberian atau anugerah Tuhan yang mengacu pada laku spiritual dan
kondisi rohani Ibnu ‘Arabi.
Penyaksian Ibnu
‘Arabi ini penting untuk ditelusuri meskipun cukup rumit. Karena hampir tidak
ada pemikiran sufistik Ibnu ‘Arabi yang tidak bersumber dari penyaksian
sufistiknya baik dalam keadaan terjaga maupun keadaan tidur. Di sisi lain, apa
yang dia saksikan terungkap ke dalam ungkapan bahasa melalui karya-karya tulis yang
dia tulis. Sehingga untuk memasuki dimensi bahasa Ibnu ‘Arabi dan mengungkap
karakteristiknya, terlebih dahulu harus menyelidiki penyaksian sufistiknya.
Karena sejatinya penyaksian sufistik Ibnu ‘Arabi merupakan sumber kreatif
bahasa sufistiknya. Bahkan Souad Al-Hakim (1991, 64); seorang pengkaji tasawuf asal
Lebanon menyebut penyaksian sufistik Ibnu ‘Arabi sebagai pusat kreasi bahasa
sufistiknya. Souad mengatakan: asy-Syuhūd al-Mubdi’ al-Muntij li Hādzihi
al-Lughah.
Artinya memahami bahasa sufistik Ibnu ‘Arabi
tidak bisa mengabaikan penyelidikan atas penyaksian sufistiknya. Dalam kajian
ini, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisah. Penulis
menganalogikan relasi keduanya seperti relasi matahari dan cahayanya, meskipun
matahari mendahului cahayanya, tapi matahari dan cahayanya tidak terpisahkan.
Oleh karena itu, menyelami dimensi bahasa sufistik Ibnu ‘Arabi sama halnya
menyelami dimensi penyaksian sufistiknya.
Syuhūd Ibnu Arabi dan Apa yang Disaksikan
Dalam syuhūd Ibnu ‘Arabi, tidak
ada satu pun entitas alam semesta yang mandiri dan berdiri sendiri selain
Tuhan. Karena alam semesta sejatinya merupakan susunan hakikat-hakikat tunggal atau
haqāiq mufradah. Hakikat-hakikat ini, ada yang murakkab (berupa
konsep universal) seperti kemanusiaan (insāniyyah) dan kebinatangan (hayawāniyyah),
ada pula yang basīth (singular) seperti ilmu (‘ilm), kekuasaan (qudrah),
dan wujud (wujūd). Setiap hakikat, baik yang murakkab maupun yang
basīth, memiliki ketunggalan hakikatnya masing-masing, tetapi tetap saling
bersandar satu sama lain atau tersusun
dalam format idhāfah (Souad
Al-Hakim 1991, 66).
Haqāiq mufradah tersebut
sebenarnya juga sifat (aksiden),
karena saling melekat dengan lainnya (Souad
Al-Hakim 1981, 345). Oleh karena itu, alam semesta merupakan susunan
hakikat-hakikat tunggal sekaligus sifat-sifat; haqāiq mufradah tarakkabat
‘ala tharīqah al-Washf wa an-Nasb wa al-Idhāfah. Namun dalam hakikat yang
lebih besar, haqāiq mufradah ini sebenarnya satu kesatuan, makanya
disebut “satu yang banyak” atau wahdāt.
Sebagai contoh, manusia
memiliki hakikat yang melekat pada dirinya yaitu insāniyyah. Sebagai
entitas yang tampak, manusia juga memiliki wujūd. Wujūd merupakan sifat
eksternal yang melekat pada hakikat manusia atau insāniyyah. Sifat wujūd
ini bukan sifat sejati manusia, tidak pula menyatu secara permanen dengan
hakikat manusianya, melainkan hanya sementara dilekatkan atau sekadar
dinisbatkan padanya (dipinjami) oleh Tuhan, dan sewaktu-waktu akan lenyap
darinya (diambil). Sedangkan insāniyyah, selain sebagai hakikat juga sebagai
sifat, karena pada dasarnya insāniyyah termasuk aksiden yang
melekat pada diri manusia (zāidah ‘ala dzāt al-Insān).
Jadi, eksistensi
manusia sebenarnya aksiden yang temporal. Selama sifat wujūd melekat
pada hakikat manusianya, maka keberadaannya di alam semesta akan tetap tampak. Namun
meskipun memiliki sifat wujūd, manusia tatap bukan entitas yang mandiri.
Karena jika dengan sifat tersebut dia menjadi entitas mandiri, maka dia tidak
membutuhkan Tuhan agar dirinya ada. Padahal wujūd manusia tidak lain
adalah pinjaman (‘ala sabīli al-I’ārah) dari Tuhan, dan wujud sejati
hanya milik Tuhan (Wujud Mutlak). Sedangkan sifat sejati semua makhluk di alam semesta
hanya satu, yaitu ketiadaan (‘adam). Sebagaimana ucapan Ibnu ‘Arabi
dalam Risālah Masyāhid al-Asrār al-Qudsiyyah, ketika ditanya, “Siapa
kamu?” Dia menjawab, “Aku adalah ketiadaan yang kasat mata [al-‘Adam
azh-Zhāhir] (Souad Al-Hakim 1991,
66-67).
Struktur Kosmos dan Struktur Bahasa Sufistik
Ibnu ‘Arabi
Dari uraian di
atas, dapat ditarik kesimpulan terkait struktur dan tatanan kosmos dalam terang
syuhūd Ibnu ‘Arabi. Dalam hal ini, alam semesta merupakan susunan
hakikat-hakikat tunggal sekaligus sifat-sifat yang saling bersandar. Oleh
karena itu, struktur dan tatanan dasar alam semesta dalam syuhūd Ibnu
‘Arabi adalah kombinasi dari idhāfah (penyandaran), nisbah (penisbatan),
dan washf (penyifatan). Kombinasi ini menjadi sesuatu yang
identik dengan makhluk sebagai ciptaan yang tidak bisa berdiri sendiri.
Sedangkan Tuhan sebagai pencipta tidak terkait dengan kombinasi ini, karena Dia
adalah Zat yang berdiri sendiri.
Kombinasi idhāfah,
nisbah, dan washf tersebut pada akhirnya memancar dari syuhūd Ibnu
‘Arabi ke dalam dimensi bahasa. Sehingga tata bahasa yang diucapkan oleh Ibnu
‘Arabi ketika mengungkapkan masyhad, juga muncul dalam kombinasi itu.
Ringkasnya, jika struktur kosmos dalam syuhūd Ibnu ‘Arabi tersusun dalam
kombinasi idhāfah, nisbah, dan washf, maka tata bahasa sufistik
Ibnu ‘Arabi juga mencakup kombinasi ketiganya. Oleh karena itu, syuhūd Ibnu
‘Arabi menjadi basis epistemologis bahasa sufistiknya. Dalam arti lain
merupakan sumber kreatifnya.
Struktur Bahasa Sufistik Ibnu ‘Arabi dan
Mekanisme Dasarnya
Struktur bahasa yang telah diurai
sebelumnya, memiliki mekanisme yang disebut dengan mekanisme penamaan (Tasmiyyah);
suatu proses penamaan atas fenomena-fenomena yang disaksikan oleh Ibnu ‘Arabi
dalam wadah imajinal. Penamaan ini
menjadi proses awal untuk memberi semacam label pada fenomena-fenomena yang dia
saksikan dengan nama tertentu, agar fenomena-fenomena tersebut tetap terekam
oleh ingatan dalam bentuk nama-nama (asmā’). Karena fenomena-fenomena
yang dinamai ini dengan sendirinya akan hilang dari wadah imajinal dan berganti
dengan fenomena lain, sehingga yang tersisa dalam ingatan hanya nama sebagai
jejak. Dalam hal ini, nama (ism) menjadi bukti konkret (asy-Syāhid
al-Malmūs) atas keberadaan objek yang disaksikan (musamma), setelah
objek tersebut hilang dari pandangan (Souad
Al-Hakim 1991, 72).
Dalam ranah bahasa, mekanisme penamaan
ini merupakan mekanisme dasar, karena setiap objek membutuhkan nama agar bisa
diucapkan dalam komunikasi dan perbincangan. Misalnya, objek benda alam yang
padat dan keras; yang dalam konvensi bahasa formal dinamai “batu.” Objek
tersebut memerlukan nama “batu” untuk bisa diucapkan. Dan kita sebagai subjek,
membutuhkan nama “batu” agar bisa mengucapkan objek bendanya. Nama “batu” juga
menjadi bukti bagi kita tentang keberadaan objek yang dinamai, meskipun kita
tidak sedang melihatnya lagi.
Jadi, Ibnu ‘Arabi
tidak sekadar meriwayatkan apa yang dia saksikan, melainkan juga memberi nama
pada setiap fenomena, struktur penyifatan-penisbatan-penyandaran, dan keadaan
yang disaksikan-dialami dalam syuhūd-nya. Ketika semua itu hilang dari
pandangan lalu berganti, maka wujud abstraknya tetap dalam ingatan sebagai nama,
susunan kata atau term yang konkret dan hidup (baqā’ jaliyy wa hayy).
Pemaknaan Kata-kata Benda Tunggal
Pada dasarnya,
susunan kata, term atau ungkapan dalam bahasa Ibnu ‘Arabi yang mengacu pada masyhad
tidak murni muncul dari kehendaknya sendiri, melainkan dari ilham yang
diberikan oleh Tuhan melalui proses syuhūd. Dalam hal ini, dia tidak
hanya diberi ilham dalam menangkap makna-makna (substansi) dari apa yang dia
saksikan, tetapi dia juga diberi ilham dalam menangkap kata-kata yang mewadahi
makna-makna itu. Barangkali memang, ada sebagian susunan kata dalam bahasa Ibnu
‘Arabi yang tidak lahir melalui proses ilham, namun secara teknis tetap
mengikuti susunan kata yang lahir dari proses tersebut. Semacam teknik mumātsilah,
yaitu mengidentikkan satu susunan kata dengan susunan dasarnya (Souad Al-Hakim
1991, 73).
Teknik mumātsilah
secara dominan berlaku pada pemaknaan kata benda tunggal (ism mufrad). Dalam
syuhūd Ibnu ‘Arabi, setiap kata benda tunggal yang tadinya menunjuk suatu entitas, objek
atau diri (dzāt), berubah pemaknaannya menjadi dinisbatkan pada hakikat
yang melekat padanya. Hakikat ini bisa berupa sifat, keadaan, kedudukan atau
relasi. Misalnya kata “malam” (al-Lail). Kata “malam,” dalam pemaknaan
yang umum menunjuk malam itu sendiri, yaitu jangka waktu yang berlangsung sejak
terbenamnya matahari hingga terbitnya matahari. Tapi dalam syuhūd Ibnu
‘Arabi, pemaknaan kata “malam” justru menunjuk sifat-sifat yang melekat pada
malam, yaitu: gaib (al-Ghaib) dan rahasia (al-Isrār). Sehingga
segala sesuatu yang dilekati sifat-sifat ini, masuk kategori “malam.” Misalnya
“malam” dalam arti yang gaib; Kullu ghaibin lisyain, fahuwa lailuhu; setiap
yang gaib bagi sesuatu adalah malamnya.
Contoh lain, kata
benda tunggal “sungai” (nahr). Dalam pemaknaan formal, kata tersebut
menunjuk sungai itu sendiri, yaitu air tawar yang mengalir dari hulu ke hilir.
Tapi dalam syuhūd Ibnu ‘Arabi, kata tersebut justru menunjuk sifat-sifat
yang melekat pada sungai, yaitu: yang bisa dirasakan (yudzāq) atau bisa
diminum (qābil li asy-Syarb) dan yang mengalir (yajri). Sehingga
segala sesuatu di dunia dan akhirat yang memiliki sifat “bisa
dirasakan-diminum” dan sifat “mengalir,” semuanya bisa digabung (disandarkan)
dengan kata “sungai,” lalu membentuk nama dan makna baru. Dalam ungkapan lain,
dari kata benda tunggal “sungai” terbentuk banyak susunan kata benda baru
melalui kombinasi idhāfah, nisbah, dan washf. Sebagaimana susunan
kata berikut ini: Nahr al-Balwa (sungai bencana), Nahr al-Hayāh (sungai
kehidupan), Nahr ad-Dunyā (sungai dunia), Nahr al-Qur’ān (sungai
al-Quran), Nahr al-‘Asl (sungai madu), dan Nahr al-Mā’ (sungai
air).
Begitu juga
ketika Ibnu ‘Arabi menyebut kata benda tunggal “laut” (bahr). Dalam syuhūd-nya,
kata “laut” tidak menunjuk laut itu sendiri, melainkan menunjuk sifat yang
melekat padanya, yaitu: yang menenggelamkan manusia (alladzi yastaghriq
al-Insān). Sehingga segala sesuatu yang memiliki sifat tersebut bisa
digabung dengan kata “laut,” kemudian membentuk susunan-susunan kata baru dengan
makna baru. Seperti susunan kata berikut ini: Bahr az-Zamān (laut waktu),
Bahr al-Hubb (laut cinta), Bahr al-Qur’ān (laut al-Quran), Bahr
al-Bidāyah (laut permulaan), dan Bahr al-Haqīqah (laut
hakikat). Contoh-contoh tersebut, menandakan bahwa Ibnu ‘Arabi menamai sesuatu
bukan berdasarkan sesuatu itu sendiri (dzāt musamma), melainkan
berdasarkan hakikat-hakikat yang melekat padanya, baik berupa sifat, keadaan,
kedudukan maupun relasi (haqāiq qāmat fi al-Musamma).
Pemaknaan semacam
ini, berbeda dengan pemaknaan dalam kamus konvensional, bahkan berbeda dengan
gaya bahasa simbol para sufi sebelumnya yang bersifat padat dan aforis. Bahasa
sufistik para sufi sebelumnya juga cenderung berkutat pada diri si sufi sendiri
(dzāt) dan perilakunya (mu’āmalah) dalam beribadah kepada Tuhan.
Sedangkan bahasa sufistik Ibnu ‘Arabi justru menunjuk hakikat-hakikat atau
sifat-sifat yang melekat pada dzāt musamma. Dan salah satu ciri khasnya
ialah bersifat kosmik (ru’yah kawniyyah); mengarahkan pandangan pada
alam semesta beserta isinya (Souad
Al-Hakim 1991, 74-77)
Fondasi Bahasa Sufistik Ibnu ‘Arabi
Dari seluruh
uraian di atas, tergambar suatu fondasi yang mendasari struktur bahasa Ibnu
‘Arabi. Fondasi ini identik dengan struktur kosmos dalam syuhūd-nya,
yaitu kombinasi idhāfah, nisbah, dan washf. Namun kombinasi
tersebut sebenarnya terangkum dalam satu fondasi paling dasar lagi, yaitu idhāfah.
Karena baik nisbah maupun washf, sejatinya juga idhāfah; penggabungan
atau penyandaran suatu kata dengan kata lain; yang sering kita sebut dengan
frasa (‘ibārah).
Kita akan melihat
bentuk-bentuk frasa, baik dalam susunan idhāfah, nisbah maupun washf dalam
penjelasan berikut ini (Souad Al-Hakim 1991, 79-82):
1.
Idhāfah merupakan frasa
yang terbentuk dari dua kata, yang salah satunya disandarkan pada kata lain;
atau suatu kata benda (ism) disandarkan pada kata benda lain (ism).
Contohnya: Nahr al-Qur’ān dan Nahr al-‘Asl.
2.
Nisbah merupakan frasa yang terbentuk
dari dua kata, yang salah satunya dinisbatkan pada kata lain. Contohnya: Nabiyy
waliyy. Frasa ini terdiri dari dua kata yang sebenarnya berbeda di satu
sisi, tapi ada kesesuaian di sisi lain. Karena kenabian (nubuwwah) dan
kewalian (wilāyah) adalah dua wilayah yang selamanya berbeda. Namun
menurut Ibnu ‘Arabi, keduanya memiliki satu titik temu atau kesesuaian, yaitu
sama-sama memperoleh pengetahuan yang pasti tanpa ada keraguan (‘ilm
al-Yaqīn). Frasa “nabiyy waliyy” digunakan oleh Ibnu ‘Arabi untuk
menunjuk sosok manusia istimewa yang diberi wahyu oleh Tuhan tanpa disertai
syariat yang harus dia sampaikan pada umat manusia. Untuk sosok manusia
istimewa lain yang diberi wahyu oleh Tuhan dengan disertai syariat yang harus
dia sampaikan pada umat manusia, Ibnu ‘Arabi menamainya dengan frasa “nabiyy
rasūl.”
3.
Washf merupakan frasa
yang terbentuk dari dua kata, yang salah satunya menyifati kata lain.
Contohnya: al-Ardl al-Wāsi’ah. Namun kata “al-Wāsi’ah” di sini
tidak menyifati kata “al-Ardl” dalam arti bumi yang umum kita pahami.
Ketika kata “al-Wāsi’ah” digabung dengan kata “al-Ardl” dengan
menggunakan susunan washf, maka kata “al-Wāsi’ah” tidak sedang
menyifati kata “al-Ardl” dalam arti bumi yang dipahami oleh kebanyakan
orang. Melainkan artinya berubah menjadi bumi khusus yang berbeda dengan bumi
yang umum kita pahami.
Ibnu ‘Arabi dan Para Sufi Sebelumnya: Sebuah
Perbandingan Bahasa
Kebaruan bahasa Ibnu ‘Arabi sama
sekali tidak terputus dari warisan bahasa sufistik para sufi sebelumnya. Hanya
saja Ibnu ‘Arabi memberikan ruh baru. Karena bahasa Ibnu ‘Arabi sama sekali
tidak bertentangan dengan bahasa sufistik sebelumnya atau menolaknya. Dia tetap
menjaga keberadaan beberapa term atau istilah dalam tradisi tasawuf sebelumnya.
Misalnya terhadap kosa kata yang digunakan para sufi terdahulu, Ibnu ‘Arabi
tetap mempertahankannya, seperti kata “nahr.”
Ibnu ‘Arabi tidak menolak kata
tersebut, bahkan tetap mempertahankan dan menggunakannya. Hanya saja, dia
memberi dimensi baru. Kata “nahr” yang tadinya merujuk pada sungai itu
sendiri (dimensi dzāt) dan digunakan oleh para sufi sebelumnya sebagai
simbol dari objek atau kondisi tertentu, oleh Ibnu Arabi diberi dimensi baru
dengan menghadirkan dimensi hakikat dan sifat. Sehingga kata “nahr” tetap
digunakan oleh Ibnu ‘Arabi, tapi untuk menunjuk hakikat dan sifat yang melekat
pada sungai, lalu membentuk frasa baru dan makna baru. Kemudian terbentuklah
frasa “nahr al-Qur’ān” dan seterusnya.
Perbedaan bahasa Ibnu ‘Arabi dan
bahasa para sufi sebelumnya bisa dilihat dari perbandingan antara corak tasawuf
Ibnu ‘Arabi dengan corak tasawuf Imam al-Ghazali. Sosok Imam Al-Ghazali bisa
dikatakan mewakili corak pemikiran tasawuf sebelum Ibnu ‘Arabi, karena kitab Ihyā’
‘Ulum ad-Dīn yang di tulis Imam al-Ghazali merupakan kitab ensiklopedi
tasawuf yang juga merangkum berbagai pandangan sufistik para sufi sebelumnya,
seperti al-Muhasibi, as-Sarraj, ath-Thusi, al-Qusyairi, dan al-Makki (Souad
Al-Hakim 1991, 35-36). Kitab
ini pada dasarnya berisi tentang perilaku-perilaku seorang hamba dalam ber-mu’āmalah
dengan Tuhan sebagai Kekasih. Mu’āmalah di sini adalah mu’āmalah kalbu.
Kitab ini menunjukkan bahasa sufistik sebelum Ibnu ‘Arabi cenderung mengarah
pada diskursifikasi perilaku sufistik atau suluk.
Selain kitab Ihyā’ terdapat
kitab Imam al-Ghazali lainnya yang juga menunjukkan corak bahasa sufistik yang
sama, yaitu kitab Ayyuhal Walad; sebuah risalah yang ditulis secara
khusus oleh Imam al-Ghazali untuk muridnya sebagai pedoman menempuh jalan
suluk. Di dalamnya terdapat nasihat-nasihat sufistik terkait perilaku-perilaku
yang harus dilakukan dan ditinggalkan oleh seseorang yang hendak menjadi salik.
Kitab ini juga sering kali merujuk pada kitab Ihyā’ dan pendapat para
sufi terdahulu.
Dari kitab Ihyā’ ‘Ulum ad-Dīn dan
Ayyuhal Walad, tergambar corak pemikiran tasawuf sebelum Ibnu ‘Arabi
yang cenderung memotret diri seorang hamba yang hendak mendekati Tuhannya
melalui mu’āmalah kalbu. Sedangkan corak pemikiran tasawuf Ibnu ‘Arabi
yang terpancar dari (misalnya) kitab Futūhāt al-Makkiyah cenderung berkaitan
dengan pengalaman syuhūd seorang sufi sebagai hasil dari mu’āmalah kalbu.
Corak tasawuf Ibnu ‘Arabi juga cenderung mengarah pada persoalan kosmik;
mengarahkan pandangan pada alam semesta beserta isinya atau ru’yah kawniyyah.
Perbedaan corak pemikiran inilah yang
menjadikan bahasa sufistik Ibnu ‘Arabi dan kebanyakan para sufi sebelumnya juga
berbeda. Para sufi sebelum Ibnu ‘Arabi mengenalkan tata bahasa kalbu (Lughah al-Mu’āmalah). Sedangkan Ibnu ‘Arabi mengenalkan tata bahasa
penyaksian dan penyingkapan (Lughah
al-Musyāhadah wa al-Mukāsyafah).
Dua corak bahasa ini bukan berarti
menunjukkan adanya kontradiksi antara tasawuf Ibnu ‘Arabi dan tasawuf para sufi
sebelumnya. Karena baik Ibnu ‘Arabi maupun para sufi sebelumnya sama-sama
melakukan mu’āmalah kalbu dan mengalami syuhūd. Mu’āmalah kalbu
dan syuhūd adalah dua fase sufistik yang saling berkaitan. Hanya saja
Ibnu ‘Arabi lebih cenderung menjelaskan fase syuhūd, sedangkan tradisi tasawuf sebelumnya lebih
cenderung menjelaskan fase mu’āmalah kalbu.
Sumber Bacaan
Affifi, A. E., Filsafat Mistis Ibnu
‘Arabi, Jakarta: PT. Gaya Media Pratama, cet. 2, 1995.
Al-Ghazali, Abu Hamid, Ayyuhal
Walad, Beirut: Dār al-Manāhij, 2014.
Al-Hakim, Souad, al-Mu’jam
ash-Shūfi: al-Hikmah fi Hudūd al-Kalimah, Beirut: al-Muassasah
al-Jāmi’iyyah li ad-Dirāsāt wa an-Nasyr wa at-Tawzī’, 1981.
Al-Hakim, Souad, Ibn ‘Arabi wa
Mawlid Lughah Jadīdah, Beirut: al-Muassasah al-Jāmi’iyyah li ad-Dirāsāt wa
an-Nasyr wa at-Tawzī’, 1991.
Chittick, William C. Chittick, Dunia
Imajinal Ibn ‘Arab: Kreativitas Imajinasi dan Persoalan Diversitas Agama, Surabaya:
Risalah Gusti, cet. 2, 2001.