Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Telisik Relevansi Tafsir Mafatihul Gaib di tengah Keberagaman Aliran

Avatar photo
23
×

Telisik Relevansi Tafsir Mafatihul Gaib di tengah Keberagaman Aliran

Share this article

Ketua Umum PBNU masa bakti 2010-2021, Prof. Dr. Kh. Said Aqil Siradj baru-baru ini menggelar pengajian online kitab tafsir fenomenal bertajuk Mafatihul Gaib. Kitab interpretasi teks-teks wahyu ini sebuah masterpiece sarjana muslim abad keenam hijriyah, Imam Fakhruddin ar-Razi, yang sarat nilai-nilai teosofis dan filosofis.

Pengajian online semacam ini semakin digandrungi masyarakat akar bawah sebab mudah diakses, nir-ruang dan nir-kuota. Jauh sebelum itu, ritual ‘Ngaji Online’ di kalangan warga Nahdliyyin telah memasuki fase ‘Keemasan’ yang telah, sedang dan akan terus dipunggawai langsung oleh Gus Ulil Absar Abdalla, dalam pengajian kitab Ihya’ Ulumudin dan beberapa kitab lain milik Imam Ghazali, seperti al-Munqizh min al-Dlalal dan Misykatul Anwar.

Meski bukan orang pertama yang mengampu pengajian daring, Kh. Said Aqil Siradj seolah memiliki daya tarik tersendiri yang mampu menyedot perhatian para kalangan santri dan masyarakat awam. Hal itu disebabkan  ketajaman wawasan yang dimiliki olehnya dalam membaca realitas faktual yang tidak biasa.

Di awal pengajian yang dilangsungkan di gedung auditorium pesantren Al-Tsaqofah itu, beliau tidak menyebutkan secara eksplisit alasan mengapa kitab tafsir itu yang dipilih, padahal terdapat sekian banyak kitab tafsir yang terserak dan berjejer di rak-rak perpustakaan khazanah keilmuan Islam.

Maka kemudian timbul pertanyaan, apa sebenarnya rahasia di balik pemilihan kitab itu? Apakah muatan kandungan ayat-ayat dalam kitab tafsir yang terlampau sepuluh abad silam itu masih memiliki relevansi di era sekarang? Sedangkan pakar tafsir terkemuka Indonesia Pak Quraish Shihab pernah mengatakan bahwa isi kandungan tafsir Imam ar-Razi ini sudah kadaluwarsa dan tidak relevan lagi dengan zaman kedisinian. Atau adakah motif lain yang melatarbelakangi itu semua?

Berangkat dari nalar skeptis semacam ini, saya mencoba mengurai benang merah dengan menggunankan metode-komparatif antar dua tokoh; Kh. Said Aqil Siradj (kemudian akan ditulis SAS) dan Imam Fakhruddin ar-Razi dari sisi sejarah dan sosio-politik.

Titik Temu Kiai Said Aqil Siradj dan Fakhruddin Ar-Razi

Meletusnya perang Salib sejak tahun 493 H. dan berlangsung selama dua abad lamanya membuat paceklik sana-sini bagi masyarakat Muslim Baghdad. Baik dari sektor ekonomi pun sosial. Terlebih situasi politik dinasti Abbasiyah yang semakin melemah dan tak menentu kala itu menjadikan umat Islam lumpuh di tiga sektor kehidupan itu.

Baca juga: Imam Fakhruddin Ar-Razi, Ikon Puncak Keemasan Mazhab Asy’ari

Namun anehnya, kelumpuhan itu tidak menimpa sektor pemikiran dan pendidikan. Justru di tengah degradasi sosio-politik, pemikiran dan pendidikan malah semakin maju dan mendapatkan banyak perhatian. Sebagaimana dikemukakan oleh sejarawan Muslim Ibnu Khaldun dalam Mukaddimah, dua perangkat rasional itu yang kelak dapat memakmurkan kembali tatanan kehidupan mereka dan membangkitkan peradaban Islam menjadi gemilang.

‘Ray’, adalah sebuah desa di mana Imam Razi tumbuh-berkembang. Siapapun yang membuka lembaran sejarah Islam tahu betul bahwa desa itu terkenal dengan beragam macam mazhab, sekte, aliran dan kepercayaan-kepercayaan umat manusia saat itu, maka tak heran jika beragam macam ilmu pengetahuan juga ikut tumbuh seiring merebaknya varian mazhab tadi.

Gerakan intelektual dan pemikiran di era Imam Razi semakin gencar dan masif. Hal itu disebabkan oleh sokongan dan dukungan para pemerintah terhadap ulama-ulama, dan kontribusi riil mereka dalam membangun sekolah-sekolah keilmuan juga memperkaya diri dengan berkarya melalui literasi.

Sampai sini kiranya kita perlu mengaca diri, sama halnya dengan era Imam Razi, keberagaman mazhab dan kepercayaan itu sudah sejak dulu mengakar kuat di Nusantara bukan! Bahkan situasi politik yang tidak menentu di era Imam Razi pun juga kita rasakan saat ini seperti munculnya kelompok-kelompok yang membonceng kepentingan politik dan siap meramaikan euforia pesta pilpres dua tahun yang akan datang seolah menjadi bom waktu yang siap meledak kapan pun.

Dalam etimologi Islam hal itu (keberagaman) termasuk ke dalam sunnatullah, ketentuan Tuhan yang tidak bisa dielak. Nah, persis di titik ini, situasi sosio-politik antara dua tokoh; Razi dan SAS bertemu. Meski bukan satu-satunya cara dalam menyatukan pandangan setiap kelompok, namun sekurang-kurangnya membangkitkan gairah keilmuan di tengah kemelut perpecahan dan pengelompokan umat bisa meminimalisir sekaligus memperkecil ledakan bom waktu itu.

Jika saya boleh berasumsi, alasan fundamental mengenai pemilihan kitab tafsir Razi ini bukan tanpa sebab. Sebagaimana yang sudah saya paparkan di paragraf awal tulisan ini, di samping sarat nilai falsafah dan tasawuf, ajaran teologis Islam yang dinarasikan oleh Imam Razi dalam kitab tafsirnya itu tidak lepas dari latar belakang keilmuan Imam Razi an sich.

Perlu digarisbawahi bersama, nilai-nilai teosofis yang dipaparkan di dalam kitabnya itu, selain dipetik dari guru beliau sejak kecil yang notabenenya adalah ayahnya, juga disarikan dari dua guru besarnya dalam bidang tasawuf; Majdu al-Din al-Baghdadi dan Najmu al-Din al-Kubra. Maka wajar saja jika sisi batiniah (esoteris) per surat dalam al-Quran –dalam kaca mata Imam Razi- bisa mencapai sepuluh ribu poin, sebagaimana yang disebutkan di awal pembahasan surah al-Fatihah yang berjumlah tujuh ayat itu.

Baca juga: Kitab Tafsir Mafatih Al-Ghaib yang Fenomenal

Teologi Islam yang dinarasikan oleh Imam Razi dalam tafsirnya ialah representasi dari ajaran teologis Muslim mayoritas sejagad raya, yaitu teologi Asy’ariyah. Sedang dari aspek yurisprudensial, Imam Razi bermazhab al-Syafi’i, maka ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum fikih merefer pada mazhab Imam Syafi’i. Wajar saja jika aya-ayat yang bersinggungan dengan akidah kerap menjadi antitesis bagi aliran Rasionalisme (Muktazilah), Antromorphisme (Khawarij) dan Free will (Jabariyah).

Di tengah bisingnya slogan back to Qur’an and Sunnah, anti-mazhab dan aliran-aliran fundamentalis ultra-konservatif itulah seakan SAS ingin menjawab tantangan zaman dengan mengaji dan mengkaji pemikiran-pemikiran ulama dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Pendekatan yang diambil oleh SAS memiliki berpotensi memiliki dampak yang signifikan. Sebagaimana yang pernah terjadi di era Imam Razi, banyak kalangan dari sekte Karamiyah, Muktazilah dan sejenisnya yang tersadarkan usai menghadiri pengajian beliau dan kembali ke mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Wabakdu, relevansi pengajian online kitab Mafatihul Gaib di era kini terlihat sangat kontras. Pemilihan kitab tafsir yang berjilid-jilid itu sudahlah tepat, menurut saya, karena adanya keselarasan ahwal zaman, baik saat kitab tafsir ini ditulis maupun saat ini.

Kontributor

  • Ahmad Fauzan Azhima

    Achmad Fauzan Azhima, pemuda asal Banten. Mahasiswa Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Fakultas Ushuluddin. Dept. Teologi-Filsafat. Peminat kajian Filsafat, Teologi dan Teosofi. Pernah jadi anak bawang di SASC (Said Aqil Siradj Center) Mesir dalam kajian Historis Islam Klasik.