Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Tuhan di Mata Penyair Sanai Ghaznawi

Avatar photo
37
×

Tuhan di Mata Penyair Sanai Ghaznawi

Share this article

“Bila jurnalisme bicara dengan fakta, sastra bicara dangan kebenaran.” 

Kalimat di atas ditulis oleh Seno Gumira, dalam bukunya, Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Harus Bicara.

Tidak salah jika sastra dikaitkan dengan kebenaran. Di Indonesia, sastra menjadi alat ampuh dalam membentuk pemahaman manusia dengan sejarahnya, dengan krisis politiknya, ekonomi dan sosialnya, dan manusia dengan dirinya sendiri. Terlihat nama-nama besar seperti Rendra, Pram, Chairil, dan masih banyak lagi.

Terkhusus puisi, Muhammad Iqbal menyoroti bagaimana keterkaitan antara puisi dan filsafat yang keduanya memiliki tujuan sama. Keduanya ingin berjalan menuju perkara eksistensial. Namun tetap ada perbedaan karakter antara keduanya. Artinya, puisi mendakwahkan kebenarannya sendiri, meski pengetahuan yang dicerap olehnya bersifat eksklusif dan personal.

Tapi ungkapan Seno yang seolah meyakinkan, betapa ada kaitan sangat kuat antara sastra dan kebenaran hingga kemudian harus dibicarakan, itu menyisakan keganjilan bagi saya. Terkesan digeneralisasi dan dipaksakan. Biasanya orang tiba-tiba berpuisi saat jatuh cinta, kangen, dan patah hati, apapun itu yang berkaitan getaran jiwanya. Namun itu sebatas getaran. Sebuah perasaan haru yang kadang datang, mengada dan kemudiian hilang begitu saja. Bahkan tak jarang getaran itu berupa keharuan yang labil. Lalu untuk berpusi dan kemampuan membicarakan kebenaran, dalam praktiknya, tak semudah yang dibayangkan. Terlebih saat, bicara kebenaran dispesifikkan mengarah pada ihwal ketuhanan.

Dalam hal ini, sastra macam apakah, atau katakanlah, puisi yang bagaimanakah yang bisa menembus ranah itu?

Ada tingkatan tertentu yang mungkin dijangkau oleh akal puisi dalam membicarakan kebenaran. Yang mampu berjalan ke sana, di antaranya ialah puisi-puisi sufistik. Kita melihat Sanai Ghaznawi berada di jajaran  para penyair sufistik tersebut.

Sanai hidup pada paruh kedua abad kelima hijriah. Tak banyak kisah tentang kehidupannya yang sampai pada kita. Konon dalam awal kepenyairannya, Sanai dikenal sebagai penyair yang memuji kaum penguasa. Baru setelah mendapat pencerahan, syair-syairnya bernuansa religius sufistik. Sosoknya menjadi menarik saat Rumi menyebut-nyebut namanya dalam puisi matsnawinya:

Attar adalah ruhani, dan Sanai telah menjadi sepasang matanya

Lalu Aku datang hanya sebagai penerus keduanya.

Sanai mempunyai karya monumental berjudul Hadiqatul Haqiqah wa Syariatut Thariqah, sekumpulan puisi ensiklopedia dengan berbagai sorotan, mulai dari humanisme, teologi, hikmah dan filsafat. Buku ini memuat dua belas ribut syair yang konon menjadi tonggak kepenulisan puisi matsnawi di Persia. Terlihat nama-nama besar telah terpengarus olehnya, seperti al-Attar dan Jalaluddin ar-Rumi.

Mari kita lihat pemikirannya tentang Tuhan. Seperti yang tertulis dalam bab pertama, “Tentang Tauhid dan Pengagungan”.

Ia mengatakan:

Agama dan kekufuran gegas berlari di jalan-Mu, seraya keduanya berkata, “Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya.” (bait 11)

Di sini Sanai sangat menarik. Paham seperti Barangkali dalam logika khalayak terkesan kontroversial, karena bagaimana mungkin pengakuan akan keesaan diucap oleh dua entitas yang berlawanan: agama dan kekafiran. Tapi pemaknaan menjadi lain saat kita memahami bahwa yang diinginkan oleh sang penyair adalah sesuatu yang substansial. Bukan gejala luar semata. Saya melihat ada kesamaan antara dia dengan Ibnu Makhila, seorang pembesar tarekat Syadzuliah yang mengatakan bahwa segala kejadian alam semesta ini adalah manifestasi dari Tuhan. Artinya, baik-buruk, susah-senang, miskin-kaya, kecil-besar, dan pola-pola struktural apa saja dalam kehidupan adalah lambang keberadaan Tuhan.

Dalam ranah teologi, rupanya Sanai adalah seorang penganut Sunni-Asy’ari.  Hal itu terlihat saat ia mengatakan:

Dialah pencipta ikhtiyar akan kebaikan dan keburukan

Dialah penghembus nafas dan pencipta logika. (bait 24)

Hal ini jelas berbeda saat kita membandingkan dengan pahan Muktazilah mengenai etika. Bahwa asal keburukan dan kebaikan ditentukan oleh logika manusia, dan mustahil jika Tuhan adalah pencipta keburukan. Karena Tuhan Mahasuci, maka penisbatan keburukan pada-Nya menjadi musykil. Apa boleh buat, manusialah yang menciptakan baik-buruknya sendiri. Begitulah paham Muktazilah.

Berbeda dengan Asy’ariyah yang mengatakan bahwa nilai etis itu tidak dirumuskan oleh logika, melainkan oleh syariat. Dan nilai etis dalam konteks ketuhanan di mata mazhab ini sudah tidak berlaku lagi, karena yang menjadi objeknya adalah makhluk. Sebab itu baik buruk sama-sama berasal darinya.

Sanai juga menyoroti kaitan metodolgis antara logika atau hati, tentang bagaimana potensi keduanya dalam menjangkau realitas ketuhanan. Dalam matsnawinya, ia mengatakan secara tegas:

Tiada jalan sama sekali bagi hati menjangkau hakikat-Nya,

Dan akal pun tak benar-benar tahu batas kesempurnaan-Nya.

 

Jantung logika didera kebingungan akan kebesaran-Nya,

Dan akal ruhani jatuh tersungkur tersebab keelokan-Nya. (bait 26-27)

Akal yang menjadi simbol keluhuran modernitas itu, sekilas terkesan negatif di sini. Jika akal tak punya kuasa, lalu dengan apa manusia mampu menjangkau tuhan? Bukan. Yang dikehendalki oleh sang penyair bukanlah kelemahan totalitas dari sebuah akal. Secara potensi, akal masih mendalat hak untuk dijunjung dan dikendarai. Tapi sampai batas mana? Inilah poin yang ingin disampaikan oleh sang penyair.

Akal diperkenankan berjalan sesuai kapasitasnya. Terlebih dalam ranah teologi, kita mengetahui bagaimana peranan akal sebagai perangkat nadzor. Bahkan bagi sebagian pendapat, status keimanan yang tak diiringin nadzor (nalar kontemplatif), dipertanyakan kebahsahannya. Dari situ posisi akal begitu dihargai dan diakui.

Tapi Sanai, lagi-lagi menulis bait yang mengagumkan:

Sessungguhnya manusia bisa menenangkan akalnya,

Bilamana ia telah sampai pada maqom Jibril.

 

Namun jibril pun di depan keagungan-Nya,

tak ubahnya seekor burung yang pandai bersiul saja. (bait 35-36)

Puisi di atas mengingatkan saya pada Taha Abdurrahman, seorang filsum muslim kontemporer yang begitu saya kagumi. Perihal proses pencariannya, pernah suatu kali dia menjelaskan dalam sebuah video dokumenter, bahwa dengan bermodal logika semata, ia merasa tak mampu menyelesaikan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Di sana ia menyerah, setelah proses kontemplasi berpuluh tahun lamanya, ia tak kunjung puas. Setelah itu ia memutuskan untuk menempuh jalur tarekat, dan barulah ia mendapatkan jawaban seperti yang ia inginkan, dan akhirnya selesai.

Kemudian menarik saat Sunai menyebut kata “Jibril”, dalam puisinya itu. Apa yang ia maksud dari Jibril? Apakah suatu hal yang suci, dalam arti terpisah seluruhnya dari hasrat manusia? Atau yang ia maksud adalah semacam capaian transenden. Lalu benarkah manusia dengan perangkat logika dan  bahasanya, yang kemudian melahirkan filsafat dan sastra misalnya, benar-benar menjamin pencariannya? Entahlah. Yang pasti, menurut Sanai, Jibril pun dalam ranah ketuhanan juga berakhir pada batasnya sendiri, yang oleh si penyair digambarkan sebagai sosok yang bersiul saja. Tak lebih.

Kontributor

  • M. Farhan al-Fadlil

    Mahasiswa fakultas Usuluddin, universitas Al-Azhar, Mesir. Aktivis Said Aqil Siraj (SAS) Center, Kairo. Saat ini menjabat ketua Himpunan Alumni Pesantren Lirboyo (HIMASAL) cabang Mesir.