Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Zikir (Hizib, Wirid Dan Ratib) dalam Tradisi Tarekat Sufi

Avatar photo
78
×

Zikir (Hizib, Wirid Dan Ratib) dalam Tradisi Tarekat Sufi

Share this article

“Perumpamaan orang yang berzikir dan
yang tidak berzikir itu ibarat orang hidup dan orang mati”

“Barangsiapa memeperbanyak zikir
kepada Allah, maka ia akan terbebas dari kemunafikan”

“Barangsiapa memperbanyak berzikir
kepada Allah, maka Allah akan mencintainya.”

Kutipan di atas merupakan beberapa saja dari
sekian banyak hadis tentang fadhilah memperbanyak zikir kepada Allah. Zikir
memang amalan yang dianjurkan Allah kepada hamba-Nya. Banyak ayat-ayat al-Quran
yang dengan jelas memerintahkannya. Namun, terkair zikir, kita bisa menjumpai
kelompok orang yang sangat melanggengkan bacaan zikir. Bahkan, bacaan zikir ini
dibuat semacam majlis zikir. Kelompok ini kita kenal dengan istilah tarekat
sufi.

Memang, zikir sudah menjadi ciri khas atau
karakteristik tarekat sufi, di sampaing ciri khas lainnya seperti memakai
khirqah, sima’ dan maulid.  Ibnu
Athaillah as-Sakandari mendefinisikan zikir sebagai upaya pembebasan diri dari
sikap lalai (ghaflah) dengan mendawamkan kehadiran hati bersama Al-Haqq.”

Ada yang mengatakan zikir adalah mengulang-ulang
“nama yang disebut” (ism al-mazkur) dengan hati dan lisan, baik itu
dengan menyebut nama Allah, menyebut salah satu sifat dari sekian banyak sifat-Nya,
salah satu perbuatan dari sekian banyak af’al-Nya, atau dengan menyebut nama
Rasul, Nabi atau para wali-Nya, atau bersyi’ir, nyanyian, ceramah, dan hikayah.

Jadi, orang yang belajar ilmu kalam, juga bisa
dikatakan sebagai orang yang berzikir; orang yang belajar fikih, ia juga
disebut orang yang sedang berzikir; seorang guru, ia juga bisa dikatakan
sebagai orang yang berzikir; seorang mufti, juga dikatakan berzikir, orang yang
menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, ia juga disebut orang
yang sedang berzikir.

Dengan pemaknaan zikir seperti di atas, maka dalam
tradisi sufi, zikir dibagi menjadi dua macam. Pertama; zikir ‘am, dan kedua:
zikir khash.

Yang dimaksud dengan zikir am adalah semua
aktivitas ataupun pergerakan yang dilakukan oleh kaum muslimin, sebagaimana
yang disebutkan oleh al-Arif Billah Ibnu Athaillah as-Sakandari di atas.
Seperti seorang ahli ilmu kalam, seorang ahli fikih, seorang guru, mufti,
semuanya bisa dikatakan sebagai orang yang berzikir.

Sedangkan yang dimaksud dengan zikir khas adalah
zikir yang dikenal kalangan ahi sufi, seperti zikir dengan lisan saja, atau
zikir dengan lisan dan anggota badan.

Zikir model ini juga dibagi menjadi dua, yaitu
zikir mutlak dan zikir muqayyad. Zikir muqayyad adalah zikir yang terikat waktu
dan tempat, semisal zikir dalam shalat dan sesudahnya, zikir dalam haji, zikir
sebelum dan setelah tidur, zikir sebelum makan, zikir ketika naik kendaran dan
lain sebagainya.

Sedangkan zikir mutlak adalah zikir yang tidak
terikat dengan zaman, tempat, waktu, dan keadaan. Model zikir ada yang berupa
pujian kepada Allah, semisal (
سبحان الله ,
والحمد لله , ولا اله إلا الله , والله اكبر، ولا حول ولا قوة إلا بالله العلي
العظيم
), ada pula bacaan zikir yang berisikan doa seperti (ربنا
لا تؤاخذنا إن نسينا أو أخطأنا
), atau berupa munajat, seperti (اللهم
صل على سيدنا محمد
).

Zikir yang berupa munajat ini lebih membekas di
hati seorang pemula dibanding bacaan zikir yang tidak berupa munajat. Sebab,
orang yang bermunajat merasakan hatinya lebih dekat dengan Zat yang dimunajati
(Allah Swt.).

Ada lagi zikir yang berisi riayah atau permohonan
yang sifatnya duniawi atau ukhrawi. Contoh zikir riayah (penjagaan) misalnya (
اللهم أعني على ذكرك
وشكرك وحسن عبادتك
), zikir seperti ini mengandung penjagaan
terhadap keterjagaan hati. Zikir ini dipakai untuk menguatkan kehadiran hati
bersama Allah, menjaga adab dengan-Nya, menjaga agar tidak lalai, berlindung
dari setan, serta membantu menghadirkan hati ketika beribadah.

Dari penjelasan ini dapat dipahami, bahwa zikir
memiliki empat macam kandungan, yaitu:

1. Pujian terhadap Allah, misal (سبحان
الله …. الخ
)

2. Doa, misal (ربنا
لا تؤاخذنا إن نسينا…. إلخ
)

3. Munajat, misal (الصلاة
على النبي… إلخ
)

4. Penjagaan urusan duniawi dan ukhrawi.

Selanjutnya, zikir dibagi menjadi dua, (1) zikir
lisan, dan (2) zikir qalb atau hati. Zikir scara lisan bisa mengantarkan
seorang hamba mendawamkan zikir hati dan memberi pengaruh terhadap zikir hati.
Jika seorang hamba berzikir dengan lisan dan hatinya, maka sempurnalah sifat
dan keadaan suluknya.

Antara Hizib, Wirid dan Ratib

Seringkali kita mendengar ketiga istilah ini.
Misalnya hizib nashar, hizib badawi rifa’i, hizib bahri dan lain sebagainya.
Juga, kita sering mendengar istilah ratib al-imam al-quthb al-habib Umar bin
Abdurrahman al-Aththas, ratib aththas, ratib haddad, dan sebagainya. Lantas,
barangkali muncul dibenak kita apa itu hizib, wirid, dan ratib?

Hizib adalah kumpulan zikir dan doa-doa yang
dibuat oleh Syaikh untuk pengikutnya guna dipakai berzikir, istighfar, taubat,
inabah, memuji Allah, dan bersyukur kepadanya. Adapun tujuan dibacanya hizb
secara berulang-ulang adalah supaya si murid senantiasa hudhur bersama Allah
dan tidak lalai pada-Nya. Biasanya, dalam tradisi sufi, hizib dibuat oleh
seorang Syaikh dengan ungkapan-ungkapan berantai, jelas, gampang dipahami, dan
memiliki pengaruh yang membekas pada jiwa. Hizib yang paling bagus adalah bila
di dalamnya mengandung kadar Al-Quran paling banyak.

Antara hizib dan wirid ada perbedaannya. Wirid
dibaca pada waktu secara teratur, seperti wirid siang, wirid malam. Sedangkan
hizib, pembacaannya tidak ada aturan waktu secara khusus. Jadi, dapat dicatat
bahwa setiap zikir atau doa-doa yang dibaca setelah shalat fardhu disebut
dengan wirid bila dikaitkan dengan waktu tertentu. Sehingga, baik hizib dan
wirid, keduanya merupakan dua kata yang bersinonim secara maknanya, tapi
berbeda lafalnya.

Pemaknaan wirid sebagaimana di atas inilah yang
digunakan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’-nya. Dalam kitab tersebut
disebutkan, wirid-wirid siang berjumlah sembilan, sedangkan wirid-wirid malam
berjumlah lima. Adapun perincian wirid tersebut dijelaskan Imam al-Ghazali
dalam bab al-Azkar wa ad-Da’awat pada juz pertama dari kitab Ihya’
Ulumuddin.

Sedangkan ratib merupakan bagian dari hizib. Dari
segi waktu, ratib tidak ada aturan khusus terkait waktu membacanya. Akan
tetapi, sebagian orang ada yang menentukan waktu pembacannya untuk dirinya
sendiri, terutama waktu antara Maghrib dan Isya’ atau setelah Isya’.

Perlu dicatat, jika suatu ucapan atau perkatan
merupakan ungkapan hati dari si pembicara, maka demikian pula dengan hizib.
Hizib merupakan ungkapan isi hati pengarangnya, cerminan pengamalan
spiritualnya, serta gambaran sejauh mana si pengarang sampai pada maqam, ahwal,
dan ma’rifatnya. Selain itu, ungkapan dan gaya atau uslub hizib telah
mencerminkan betapa si pengarang telah sampai pada penguasaan ilmu lughah,
sastra dan bayan.

Legalitas Hizib dan Wirid

Apabila kita mau mengamati dengan seksama isi dari
hizib-hizib, ratib dan wirid-wirid yang ditulis oleh ulama Sufi,  maka bisa dikatakan bahwa ia tersusun dari
beberapa ayat-ayat al-Quran, hadits-hadis Nabi, ungkapan para Nabi, Rasul dan
orang-orang salih, serta ungkapan ulama sufi itu sendiri.

Zikir-zikir ini – baik hizib, wirid, dan ratib –
diingkari oleh sebagian orang. Namun, sebagian yang lain tetap menganggap zikir
ini ada landasan syariatnya. Di antara ulama sufi yang menyatakan bolehnya
zikir-zikir ini adalah Syaikh Zaky Ibrahim, pemimpin tarekat Al-Asyirah
al-Muhammadiyyah, semoga Allah senantiasa menjaga beliau.

Syaikh Zaky Ibrahim berdalil tentang
disyariatkannya bacaan hizib dan wirid dengan beberapa hal berikut:

1) Rasulullah Saw. pernah mendengar dengan telinga
beliau sendiri orang berdoa dengan doa yang tidak ma’tsur – doa yang diajarkan
Allah dalam al-Quran dan diajarkan Rasul-Nya dalam hadis-. Namun demikian,
Rasulullah saat itu tidak menginkarinya, baik secara jelas maupun sindiran,
baik dengan ucapan maupun isyarat.

2) Rasulullah Saw. mengakui bentuk ijtihad doa
ini. Berarti beliau menganjurkan atau paling tidak membolehkan ijtihad dalam
berdoa, semisal hizib dan wirid. Serta menjadikan hal ini sebagai bentuk sunnah
taqririyah yang dilaksanakan oleh para sahabat dan tabi’in, terutama
ulama-ulama salaf.

3) Berdasarkan dua argumen di atas, maka orang
yang bisa atau tidak bisa berdoa dengan doa yang ma’tsur, maka boleh baginya
berdoa dengan doa yang tidak ma’tsur, seperti wirid-wirid, hizib-hizib, madaih
(pujian kepada Rasulullah), maulid, dan karya-karya orang-orang salih lainnya.

Syaikh Zaky Ibrahim menuturkan bolehnya membaca
hizib dan wirid berdasarkan pada hadis yang menyatakan bahwa ada seseorang yang
berdoa dengan doa yang tidak ma’tsur, tapi Rasulullah tidak menginkarinya.

Hadis ini disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir
al-Qursyi ia berkata: An-Nasa’i berkata, telah menceritakan kepada kami
Abdurrahman bin Khalid, telah menceritakan kepada kami  Zaid ibn al-Habbab, telah menceritakan
kepadaku Malik bin Mighwal, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin
Buraidah dari ayahnya bahwa ia masuk masjid bersama Rasulullah, tiba-tiba ada
seorang laki-laki yang shalat kemudian berdoa dengan mengatakan; ALLAAHUMMA
INNII AS-ALUKA BIANNII ASYHADU ANNAKA ANTALLAAHU LAA ILAAHA ILLAA ANTA, Al
AHADUSH SHAMAD, ALLADZII LAM YALID WA LAM YUULAD WA LAM YAKUN LAHU KUFUWAN AHAD

(Ya Allah, aku memohon kepadaMu dengan bersaksi bahwa Engkau adalah Allah,
tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Yang Maha Esa, Tempat
bergantung, Yang tidak melahirkan dan tidak dilahirkan, dan tidak ada
sesuatupun yang serupa denganNya). Kemudian beliau mengatakan: “Demi Dzat
yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh ia telah meminta dengan nama-Nya yang
paling agung, yang apabila Dia dimintai suatu doa maka Dia akan mengabulkan dan
apabila diminta dengannya maka Dia akan memberi.”

Adab Zikir dalam Tradisi Sufi

Berzikir sendiri bukanlah aktifitas yang
dikerjakan secara asal-asalan. Ia memiliki adab atau etika yang perlu
diperhatikan. Dalam tradisi sufi, masing-masing tarekat sufi memiliki adab
berzikir sendiri. Meski demikian, setidaknya ada beberapa adab yang disepakati
mayoritas tarekat-tarekat sufi, sebagaimana berikut.

1) Orang yang berzikir hendaknya dalam posisi
beretika yang sempurna, serta kondisi lahir dan batin paling bagus. 

2) Hendaknya dalam keadaan suci dan bersih.

3) Ketika berzikir dalam kondisi khusyu’,
mengagungkan Allah, menghadap kiblat seakan-akan dalam posisi shalat.

4) Jika zikirnya secara berjamaah, maka harus
bareng dengan jamaahnya, tidak boleh mendahului atau terlambat.

5) Duduk dalam tempat yang suci. Sebagian orang
berpendapat, tempat zikirnya diberi wewangian.

Sebenarnya masih ada adab-adab lainnya, namun
tidak disebutkan di sini lantaran adanya perbedaan pendapat di kalangan tarekat
sufi. Adapun adab yang diperselisihkan di antaranya adalah berzikir dengan
suara lirih, sementara menurut sebagian yang lain berzikir secara keras atau
jahr lebih utama. Tentu saja masing-masing memiliki dalilnya tersendiri.

Kelompok yang memandang bahwa zikir secara lirih
itu lebih bagus mereka berargumen dengan hadis Nabi, “Sebaik-baik zikir
adalah zikir yang lirih, dan sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi.”
(HR.
Ahmad Ibnu Hibban dan al-Baihaqi dari Abu Sa’id).

Sementara kelompok yang memangdang zikir jahr
lebih utama juga berargumen dengan hadis Nabi, “ Perbanyaklah zikir kepada
Allah hingga orang-orang mengatakan gila.”
(HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu
Hibban, Hakim, dan al-Baihaqi dari Abu Sa’id).

Pendapat-pendapat ulama terkait hal ini sangat
panjang, dan masing-masing kelompok menguatkan pendapatnya dengan dalil
al-Quran, hadis, pendapat para ulama, dan tindakan orang-orang salih.

Kontributor

  • Muhammad Misbah

    Alumni al-Azhar Kairo Mesir. Sekarang diamanati tugas sebagai Kapodri Ilmu Hadits Fakultas Ushuluddin IAIN Kudus Jawa Tengah.