Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Fatwa

Aurat, Hukum Cadar dan Pakaian Syar’i

Avatar photo
54
×

Aurat, Hukum Cadar dan Pakaian Syar’i

Share this article

Bagaimana hukum
memakai cadar bagi wanita? Karena ada sebagian ulama fikih yang mewajibkannya
dengan bersandar pada hadits Aisyah RA bahwa ia pernah menutup wajahnya ketika
berhaji hingga para rombongan lewat.

Darul Ifta Mesir
menjelaskan bahwa pakaian syar’i yang dikehendaki bagi seorang wanita muslimah
adalah pakaian apapun yang tidak menampakkan pesona lekuk tubuh, serta menutupi
seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapan tangan.

Oleh karena itu, lanjut
Lembaga Fatwa Mesir itu,
tidak ada larangan bagi perempuan untuk mengenakan pakaian yang memiliki
corak warna dengan syarat tidak menarik perhatian (mencolok) atau menimbulkan
fitnah (membangkitkan syahwat orang yang melihatnya).

Jika ketentuan-ketentuan ini terpenuhi pada jenis pakaian apapun, maka
wanita muslimah boleh mengenakannya meskipun itu di luar ruangan
,”
terang Darul Ifta dilansir dari laman resminya.

Adapun mengenai niqab
atau
cadar bagi perempuan yang
menutupi wajahnya dan juga sarung tangan, maka menurut jumhur

(mayoritas) ulama
, hal itu bukan
suatu kewajiban.

Perempuan boleh
menampakkan wajah dan kedua telapak tangannya, sesuai dengan firman Allah SWT:

وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا

“Dan janganlah
menampakkan perhiasannya (auratnya) kecuali yang (biasa) terlihat.”
(QS. An-Nur: 31)

Jumhur ulama baik
dari kalangan sahabat maupun golongan setelahnya, mereka menafsirkan bahwa
perhiasan yang terlihat adalah wajah dan kedua telapak tangan, sebagaimana
dinukil dari Ibnu Abbas RA, Anas RA, dan Aisyah RA, serta sesuai firman-Nya:

وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

“Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya.”
(QS. An-Nur: 31)

Lafal khimar bermakna
penutup kepala, sementara lafal jaib bermakna lubang kerah yang terdapat
pada atas baju (dada) yang menjadi tempat masuknya kepala yang masih
memperlihatkan sebagian dari dada bagian atas.

Jadi Allah SWT
memerintahkan wanita muslimah
agar menutupi area dada mereka dengan jilbab-jilbabnya.
Seandainya menutup wajah hukumnya wajib, tentu ayat tersebut akan
menjelaskannya dengan jelas dan gamblang.

Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah RA, Asma
binti Abu Bakar RA masuk ke rumah Rasulullah SAW dengan
mengenakan kain yang tipis
. Lalu beliau berpaling darinya kemudian bersabda, “Wahai Asma, sesungguhnya seorang wanita jika telah balig tidak
boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini.”

 Beliau mengisyaratkan pada wajah dan kedua
telapan tangan.

Dan masih banyak
dalil lainnya yang secara jelas menyatakan ketidakwajiban menutup wajah dan
telapak tangan.

Sebagian ulama
fikih berpendapat bahwa perempuan wajib menutupi wajahnya, dengan dasar hadits
riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Aisyah RA yang mengatakan, “Ada
sekelompok rombongan melewati kami, sementara saat itu kami bersama Rasulullah
SAW sedang berihram, ketika mereka mendekat ke arah kami, maka salah seorang di
antara kami menutupkan jilbabnya dari kepala ke wajahnya, kemudian apabila
mereka telah melewati kami, maka kami membukanya.”

Lembaga Fatwa
Mesir itu menanggapi bahwa hadits di atas sama sekali tidak menjadi dalil
diwajibkannya perempuan menutup wajahnya, karena perbuatan sahabat tidak menunjukkan
hukum asal kewajiban. D
i samping itu, hal tersebut mengandung kemungkinan adanya ketentuan khusus bagi para
Ummul mukminin
(istri-istri Nabi SAW) sebagaimana mereka memiliki kekhususan
haram dinikah setelah Rasulullah SAW wafat.

Telah menjadi
ketetapan dalam ilmu
ushul fikih bahwa:

وقائعَ
الأحوالِ، إذا تَطَرَّقَ إليها الاحتمالُ، كَسَاها ثَوْبَ الإجمال، فَسَقط بها
الاستدلالُ

“Beberapa
kejadian yang masih menimbulkan beberapa kemungkinan, maka tercakup dalam dalil
mujmal (global), jadi tidak bisa dijadikan dalil.”

Imam Al-Bukhari
meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya, dari Ibnu Umar RA bahwa Rasulullah
SAW bersabda: “Wanita yang sedang ihram janganlah memakai cadar dan juga
jangan memakai sarung tangan.”

Ini menunjukkan
bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita merdeka bukanlah termasuk aurat.
Bagaimana mungkin keduanya dianggap sebagai aurat sementara semua ulama telah sepakat
bahwa dalam shalat dan ihram ada kewajiban untuk tidak menutupinya.

Tidak mungkin syariat memperbolehkan membuka aurat dalam shalat dan
mewajibkan untuk membukanya dalam ihram, sementara hal-hal yang diharamkan
dalam keadaan ihram pada dasarnya adalah perkara-perkara yang mubah seperti
memakai pakaian berjahir, memakai wewangian, berburu, dan lain-lain. Tidak ada
satupun dari semua itu yang awalnya suatu kewajiban lalu menjadi haram sebab
ihram.

Singkat kata,
menutup wajah dan kedua telapak tangan bagi perempuan muslimah bukanlah suatu
kewajiban, namun masuk dalam lingkup mubah.

Sumber: klik di
sini
.

Kontributor

  • Arif Khoiruddin

    Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.