Darul Ifta Mesir merilis jawaban atas sebuah pertanyaan mengenai seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya. “Dalam masa iddah, apakah ia boleh tinggal menetap di rumah keluarganya?” kata penanya.
Syekh Ahmad Wisam, Aminul Fatwa Darul Ifta menjelaskan bahwa seorang istri dalam masa iddah harus tinggal dan menetap di rumah suaminya selama empat bulan sepuluh hari kalender hijriyah.
Beliau menegaskan bahwa istri tidak boleh berpindah tempat selama masa iddah kecuali ada kebutuhan yang mendesak. Berpindah tinggal ke tempat saudara atau keluarganya bukan termasuk kebutuhan yang mendesak meskipun letaknya berdekatan. “Hal itu tidak diperbolehkan,” ujar beliau. “Keluarga dialah yang seharusnya menemaninya untuk tetap tinggal di rumahnya sendiri selama masa iddah.”
Sementara itu, Syekh Khalid Al-Jundi, anggota Majlis Tinggi untuk Urusan Islam menerangkan bahwa ada tiga pendapat di kalangan ulama fikih mengenai masalah ini.
Pertama: perempuan yang sedang berada dalam masa iddah tidak boleh keluar rumah selama empat bulan sepuluh hari. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah [2]: 234)
Kedua: perempuan yang sedang dalam masa iddah boleh keluar rumah pada siang hari untuk memenuhi kebutuhan namun ia harus kembali ke rumah pada malam hari.
Ketiga: perempuan tersebut boleh bepergian dan keluar rumah kapanpun ia mau. Dengan alasan, yang dimaksud dengan menunggu empat bulan sepuluh hari adalah menunggu agar bisa dilamar atau dinikahi pria lain. Hal itu mengisyaratkan bahwa pembatasan tersebut berlaku dalam diri perempuan, bukan menyangkut tempat ia tinggal.
Baca juga: Darul Ifta: Etika Memberi Nama Anak dalam Islam
Perempuan Keluar Rumah untuk Bekerja dalam Masa Iddah
Syeikh Utsman Uwaidhah, Aminul Fatwa Darul Ifta menjelaskan bahwa istri dalam masa iddah diperbolehkan keluar rumah untuk bekerja, jika memang ia harus menafkahi dirinya dan orang-orang yang berada dalam tanggungannya. “Karena kebutuhan tersebut termasuk dalam kategori Dharurah (keharusan yang tak dapat dihindari,” ujar beliau.
“Akan tetapi ia harus segera kembali ke rumah setelah pekerjaannya selesai.” imbuh Syekh Utsman.
Pada kesempatan lain, Aminul Fatwa yang lain, Syekh Muhammad Abdus Sami’ menjelaskan detail keterangan di atas. Istri dalam masa iddah, entah ia masih muda ataupun sudah lanjut usia, diperbolehkan keluar rumah untuk bekerja untuk menafkahi dirinya dan anak-anaknya.
Namun jika dia keluar dalam rangka hiburan atau mencari kesenangan, maka hal itu tidak diperbolehkan demi menghormati masa berkabung sepeninggalan suaminya sebab ia masih terikat dengan Mitsaq Ghalizh (ikatan kuat dengan suaminya yang meninggal).
Menurut Syekh Muhammad, pada dasarnya ia diperbolehkan keluar rumah karena ada kebutuhan yang mendesak. Apabila ia hendak keluar untuk pergi shalat ke masjid, hal itu dianggap bukan suatu kebutuhan, apalagi seorang perempuan lebih baik shalat di rumah daripada di masjid.
Hal ini sesuai dengan riwayat dari Abdullah bin Suwaid Al-Anshari RA, dari bibinya Ummu Humaid RA, bahwasa ia datang kepada Rasulullah SAW dan menyatakan keinginan kuatnya untuk ikut shalat berjamaah bersama beliau.
Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Saya mengetahui bahwa kamu ingin ikut shalat berjamaah bersamaku, akan tetapi ketahuilah bahwa shalatmu di kamar lebih baik daripada shalat di dalam rumah. Dan shalatmu di dalam rumah lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalat di masjidku.”
Akhirnya perempuan tersebut minta agar dibuatkan tempat shalat di sudut rumahnya. Selanjutnya ia pun senantiasa melaksanakan shalat di tempat tersebut sampai meninggal dunia. (HR. Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah)
Baca juga: Darul Ifta: Semua Umat Islam Masuk Surga Kecuali Golongan Ini
Menurut pendapat kalangan Malikiyah, seorang istri yang sedang dalam masa Iddah diperbolehkan keluar rumah untuk melaksanakan shalat di masjid. Al-Allamah Al-Hathab Al-Maliki mengatakan dalam kitab Mawahib Al-Jalil, bahwa istri dalam masa iddah tidak dilarang keluar rumah untuk memenuhi kebutuhannya, meskipun pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat tarawih ataupun tahajud.
Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan dari Syekh Ali Jum’ah. Mufti Mesir itu mengatakan bahwa istri yang sedang dalam masa Iddah harus menetap di rumahnya dan tidak boleh keluar kecuali ada kebutuhan mendesak.
Dia tidak diperbolehkan untuk berhaji atau umrah dan tidak boleh juga bepergian ke suatu tempat. Namun tetap tinggalnya dia di rumah bukan berarti ia tertahan secara mutlak dalam rumah. Dia boleh keluar rumah untuk bekerja, membeli makanan dan minuman, pergi berobat ke dokter ketika sakit, atau khawatir dan takut tinggal di rumahnya sendiri kemudian demi keselamatan dan keamanannya ia tinggal di tempat keluarganya.
Syekh Ali Jum’ah menambahkan, selain keluar rumah, istri dalam masa Iddah juga dilarang bersolek dan memakai perhiasan dengan tujuan memikat orang lain untuk memandangnya. Wallahu a’lam.