Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Fatwa

Fatwa Darul Ifta Mesir Tentang Hukum Jual Beli Dropship dan Kredit

Avatar photo
22
×

Fatwa Darul Ifta Mesir Tentang Hukum Jual Beli Dropship dan Kredit

Share this article

Dengan perkembangan teknologi
yang pesat dan persaingan pasar yang ketat, manusia dituntut untuk beradaptasi
dengan segala macam praktek jual beli. Salah satunya adalah jual beli secara kredit
dan online. Dalam jual beli online juga ada satu istilah populer
yaitu dropship.

Lantas apa yang dimaksud dengan dropship,
dan bagaimana hukum dropship dan jual beli kredit?

Dilansir dari halaman resmi
Darul Ifta Mesir, seseorang bertanya tentang bagaimana hukumnya orang yang
mengaku dirinya sebagai pedagang, padahal barang dagangannya tidak berada di
tangan alias dropship? Bagaimana hukumnya juga jika pembeli membayar
barang tersebut dengan menyicil alias kredit, dan penjual mengambil keuntungan
dari cicilan tersebut?

Beberapa ulama mengharamkan dropship
dengan alasan barang yang dijual harus berada dalam kepemilikan seorang
pedagang pada saat dia menjual barang tersebut, dan bukan dengan menawarkan
kepada pembeli dan barang baru tersedia jika pembeli sepakat untuk membeli
barang.

Darul Ifta sendiri menerangkan
bahwa syariat mengajarkan, menjual barang dengan menggunakan harga asli atau
harga kredit yang ditentukan tenggat waktunya, hukumnya sahih alias dibenarkan.
Penambahan tarif pada biaya kredit juga diperbolehkan oleh syariat, karena itu
termasuk akad jual beli murabahah.

Syariat turut membolehkan adanya
penambahan tarif pada akad kredit atau cicilan, selagi kedua belah pihak
sepakat dan tidak melanggar batas-batas syariat. Praktik ini sangat membantu
manusia dalam menunaikan hajatnya dan tidak termasuk dari praktek ribawi,
berdalihkan kaidah syariat yang berbunyi:

إذا
توسطت السلعة فلا ربا

“Jika suatu barang telah menjadi
penengah maka tidak ada riba
.”

Sedangkan menjual barang yang
tidak dimiliki alias dropship, sah hukumnya, dikiaskan ke praktek akad salam
atau jual beli salam.

Bentuk akad salam sendiri adalah
menjual
barang pesanan dengan mengirimkan barang di
kemudian hari oleh penjual dan nantinya pembeli akan melunaskan pembayaran
tersebut jika sudah sepakat dan sesuai dengan syarat-syarat tertentu.

Praktik ini termasuk diperbolehkan menurut syariat
berdasarkan dalil dari Al-Qur’an, hadits dan juga ijma’ ulama.

Allah SWT. berfirman,

يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ

“Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya.”
(QS. Al-Baqarah: 282)

Ibnu Abbas ra. berkata bahwa turunnya ayat
ini adalah untuk menjelaskan akad salam.

Rasulullah SAW. juga bersabda,

مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ
مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوم

Hadits ini dituturkan oleh
Rasulullah SAW. ketika ia datang ke Madinah. Pada saat itu penduduk Madinah
biasa memesan kurma dalam masa satu atau dua tahun. Beliau lantas bersabda,

“Barangsiapa yang ingin memesan
kurma, hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan, dan kurun waktu tertentu
(yang harus diketahui oleh kedua belah pihak.”
(HR.
Muttafaq Alaihi)

Ibnu Mundzir dalam Al-Ijma’ juga
memperbolehkan akad tersebut. Begitu juga dengan Ibnu Qudamah seperti yang
tertulis dalam kitabnya Al-Mughni (jilid 6, hal. 385, cet. Darul Hadits).

Dalil-dalil di atas menerangkan boleh
memesan suatu barang dengan syarat harus antara penjual harus menjelaskan
karakteristik barang kepada pembeli dengan detil meski barang tidak berada di
tangan penjual pada saat itu.

Darul Ifta menjelaskan beberapa
contoh alternatif yang sering terjadi dalam jual beli salam. Contoh pertama, pembeli
bisa meminta penjual untuk membeli barang dari supplier terlebih dahulu,
nantinya pembeli akan membeli barang tersebut langsung dari tangan penjual.

Contoh kedua, pihak penjual
alias reseller dan kostumer bisa bersepakat untuk datang bersama ke
tempat supplier agar pembeli bisa melihat barangnya langsung. Jika
kostumer setuju untuk membeli barang tersebut, reseller membelinya dari
tangan supplier. Nantinya pembeli akan membayar dengan menyicil
pembayaran ke reseller dan Islam membolehkan jual beli seperti ini.

“Semua ini halal,
memberi keuntungan untuk kedua belah pihak, tanpa menyalahi aturan agama yang
berlaku,” tutup Darul Ifta di akhir penjelasan fatwanya.

Kontributor

  • Sultan Nurfadel

    Seorang mahasiswa Al-Azhar jurusan Akidah dan Filsafat. Warga Sunda yang mengaku sebagai calon presiden 2029.