Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Fatwa

Hukum Berhubungan Intim sebelum Resepsi

Avatar photo
62
×

Hukum Berhubungan Intim sebelum Resepsi

Share this article

Pernikahan mempunyai nilai yang tinggi
dalam Islam yang tak lain adalah sunah para rasul. Di samping itu pernikahan
juga adalah kebutuhan mendasar bagi tabiat manusia. Allah swt menjadikan
pernikahan sebagai sebuah kecintaan dan kasih sayang, sebagaimana firman-Nya:

وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda
(kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu
sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
(QS. ar-Ruum:
21)

Rasulullah
saw turut menjelaskan bahwa menikah adalah salah satu sunah para rasul. Beliau
bersabda, “Empat dari salah satu sunah
para rasul: malu, memakai minyak wangi, bersiwak, dan menikah.
(HR. at-Timidzi
dan Imam Ahmad)

Dalam
syariat Islam, ketika pernikahan telah memenuhi syarat dan rukunnya maka ia sah
beserta semua konsekuensinya. Salah satu konsekuensi pernikahan adalah:
diperbolehkannya hubungan intim saat setelah akad atas kesepakatan kedua belah
pihak. Demikian fatwa Darul Ifta Mesir seperti dilansir dari laman resmi
websitenya.

Adapun
ketika tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak, maka tidak boleh
berhubungan intim kecuali telah meminta izin dari wali atau memberitahunya,
karena hubungan intim berkonsekuensi melahirkan beberapa hukum yang terkadang
diingkari oleh salah satu pihak seperti: nasab, hak pengantin wanita atas
seluruh mahar dsb.

Adat
atau ‘urf memberlakukan bahwa hubungan intim antar suami istri tidak
dilakukan kecuali setelah resepsi. Hendaknya para pasutri baru menghormati hal
ini, sebagaimana firman Allah swt:

خُذِ
الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ

“Jadilah pemaaf dan suruhlah orang
mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”
(QS. al-A’raf:
199)

Imam
az-Zarkasyi dari mazhab Syafii dalam kitab Tayniif al-Masami’ syarh Jam’ al-Jawami’
menukil dari Ibnu Athiyah bahwa ‘urf pada
ayat di atas bermakna segala hal yang diketahui manusia yang tak bertentangan
dengan syariat.

Imam
Ibnu Dzafar berpendapat bahwa ‘urf adalah
segala bentuk kebaikan yang diketahui orang yang berakal dan dibenarkan oleh syariat.
Maka hendaknya kita merujuk pada adat istiadat yang berlaku, demikian juga resepsi.

Adalah
sesuatu yang memalukan dan tidak hormat bagi sepasang pasturi jika berhubungan
intim secara sembunyi-sembunyi sebelum resepsi, Rasulullah saw telah berwasiat
untuk menghindari sesuatu yang nanti dimintai alasannya.

صَلِّ
صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، فَإِنَّكَ إِنْ كُنْتَ لَا تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ،
وَأْيَسْ مِمَّا فِي أَيْدِي النَّاسِ تَكُنْ غَنِيًّا، وَإِيَّاكَ وَمَا
يُعْتَذَرُ مِنْهُ

“Sholatlah seperti orang yang akan
berpamitan, maka sesungguhnya jika engkau tidak bisa melihat-Nya, Dia bisa
melihatmu. Dan tak perlu banyak berharap pada sesuatu yang ada di tangan orang
lain, niscaya engkau jadi kaya, dan berhati-hatilah dari apa-apa yang nanti
akan dimintai alasannya.”
(HR. ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Wasith)

Selama
adat istiadat tidak menyalahi syariat dan masyarakat umumnya memaklumi, maka
wajib hukumnya melaksanakan adat tersebut. Adapun kaidah fiqih menyatakan bahwa
adat bisa memberlakukan hukum seperti nash
quran dan sunah. Lihat kitab al-Masbuth karya Imam as-Sarkhusi.

Banyak
hikmah yang bisa kita petik dari hal ini terkhusus pada zaman sekarang. Bayangkan
jika istri ditalak setelah berhubungan intim secara diam-diam, akan terjadi
masalah yang rumit jika suami tidak bersaksi bahwa ia telah menyetubuhinya.

Begitu
juga bagi suami jika ia meninggal atau cerai ketika selesai berhubungan badan
secara diam-diam dan dari hubungan ini membuahkan seorang anak tapi sang istri
mengingkari bahwa anak ini hasil hubungan antara keduanya, maka akan memberi
dampak buruk bagi dia dan keluarganya, dan sang anak tidak mendapatkan haknya
sebagai ahli waris.

Lembaga
Fatwa Mesir itu menegaskan bahwa suami tidak serta merta berhak menuntut istrinya
berhubungan intim sebagai salah satu dari haknya dengan sekadar telah
menunaikan akad nikah semata. Hubungan intim tersebut baru dapat dilakukan jika
sudah diselenggarakan resepsi dan istri mendiami tempat
yang akan dia tinggali bersama suaminya.  

Kemudian
berhubungan intim secara sembunyi-sembunyi tanpa izin dari wali mempelai istri
dan tanpa menghormati norma-norma sosial dan tradisi yang dianut di dalamnya,
tidak diperbolehkan menurut syariat, demi menjaga hak kedua pasangan.
Wallahu a’lam.

Sumber:
klik
di
sini
.

Kontributor

  • Sultan Nurfadel

    Seorang mahasiswa Al-Azhar jurusan Akidah dan Filsafat. Warga Sunda yang mengaku sebagai calon presiden 2029.