Syekh Ali Jum’ah menyatakan bahwa mayoritas umat Islam sepakat bahwa dilarang
bersalaman dengan ajnabi (lawan jenis bukan mahram).
Menyangkut
masalah ini, kita tidak sedang membahas batalnya wudhu jika menyentuh perempuan
karena dalam mazhab Hanafi, jika laki laki menyentuh perempuan, wudhunya tidak batal. Adapun dalam mazhab Syafi’i sebaliknya. Bila laki-laki menyentuh perempuan,
wudhunya batal.
Maka dari itulah mereka melarang bersalaman dengan lawan jenis.
Namun ada juga ulama yang berpendapat bahwa diperbolehkan bagi perempuan
bersalaman dengan laki laki, entah itu ajnabi atau bukan, muslim ataupun nonmuslim.
Mereka berpijak pada dalil, bahwa Abu Bakar as-Shiddiq pernah bersalaman dengan
perempuan ketika ia menjadi khalifah. Adapun hadist yang berbunyi, “Saya tidak bersalaman dengan perempuan, perkataan saya untuk satu perempuan sama dengan untuk seratus orang,” ini khusus untuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Selain itu, kaum perempuan Kabilah Asyari sering mencari kutu di kepala Abu
Musa Al-Asy’ari padahal dia sedang haji dan mereka bukan mahram.
Dan masih banyak dalil–dalil lain yang
menjelaskan kebolehan bersalaman antar lawan jenis. Sebagaimana sahabat nabi yang pernah makan pada satu nampan bersama
perempuan dan kadang tangan mereka menyenggol yang lain.
Mantan mufti Mesir itu menegaskan bahwa dengan
dalil-dalil tadi, ada sebagian ulama membolehkan bersalaman antar lawan jenis. Secara singkat, dalam ilmu fiqih, ada 2 pendapat menyangkut
hukum bersalaman dengan lawan jenis. Ada pendapat yang mengharamkan dan ada juga pendapat yang membolehkan.
Maka dari itu, lanjut Syekh Ali Jum’ah, seorang muslim bisa mengikuti mereka
yang membolehkan karena kaidah yang berlaku adalah “tidak boleh berbeda dalam perkara
yang sudah disepakati dan boleh berbeda dalam perkara yang masih diperselisihkan”.
Dan bersalaman dengan lawan jenis adalah perkara yang diperselisihkan
dan bukan yang sudah disepakati.
Syekh Ali Jum’ah menjelaskan bahwa kita boleh mengikuti ulama yang membolehkan. Kita wajib
berpegang pada kaidah ini: tidak boleh berbeda dalam perkara yang sudah
disepakati dan boleh berbeda dalam perkara yang belum disepakati.
Selain itu, keluar dari perselisihan sangat
dianjurkan, tetapi jika memang kesulitan dalam menjalaninya maka ikutilah ulama
yang membolehkan.
Dari situlah orang muslim merasakan bahwa agama ini sangat relevan dengan ruang
dan waktu dan Islam bukan agama yang rumit dalam kehidupan di tengah-tengah masyarakat.
Sebagai permisalan, sekiranya ketika kita bertemu dengan
persoalan model semacam ini di barat perihal anjing najis atau tidak, perlu
diterangkan bahwa ia
najis menurut Mazhab Syafi’i, dan tidak najis
dalam Mazhab Maliki, padahal orang barat sangat bergantung pada anjing untuk keperluan darurat, penjaga, pelacak narkoba,
dll. Maka kami fatwakan kepada mereka dengan Mazhab Maliki agar orang Islam bisa hidup
dengan damai dan mudah.
Sebagaimana perkataan ulama bahwa perbedaan mereka adalah rahmat, sampai Imam Utsmani
berpendapat dalam syairnya: sesungguhnya semua perbedaan imam terletak di antara
kemudahan dan kehati-hatian, maka semuanya benar, jika kita mau berhati-hati
ambil yang paling aman dan jika kita ingin kemudahan maka ambillah keringanan
itu.
Demikian
paparan Syekh Ali Jum’ah tentang hukum bersalaman dengan yang bukan mahram.
Kesimpulannya adalah bahwa hukum bersalaman dengan orang yang
bukan mahram ada dua: ada ulama yang membolehkan dan juga ada ulama yang tidak
membolehkan. Wallahu a’lam.