Pajak adalah besaran harta tertentu yang diwajibkan oleh negara untuk dibayarkan oleh warga, tanpa terkait dengan manfaat tertentu yang langsung kembali kepadanya.
Pajak dikenakan pada properti, profesi, dan penghasilan sebagai imbalan atas layanan. Dengan pajak tersebut negara berkewajiban mengelolanya untuk kemaslahatan masyarakat. Besaran pajak jumlahnya bervariasi menurut hukum dan kondisi yang berbeda-beda.
Berikut penjelasan lengkap Darul Ifta Mesir mengenai sistem perpajakan:
Pemerintah (Ulil Amri) boleh mengenakan pajak yang wajar dalam kadar dan pemungutannya selain zakat. Hal itu untuk menutup belanja dan kebutuhan negara, mengingat pemerintah adalah yang bertanggung jawab atas kemaslahatan umat yang membutuhkan beberapa pengeluaran yang menuntut adanya sumber daya yang tetap. Terlebih lagi era sekarang di mana fungsi-fungsi negara semakin meningkat dan beberapa fasilitas negara berkembang.
Lembaga Fatwa Mesir itu menyatakan bahwa pemerintah pada masa sekarang adalah sekumpulan lembaga legislatif dalam sistem negara modern. Negara memiliki anggaran umum yang menghimpun pendapatan dan pengeluaran umum. Jika pengeluaran umum lebih besar dari pendapatannya, maka itu berarti ada defisit dalam anggaran negara yang harus dikompensasikan dengan beberapa cara. Di antaranya dengan mengenakan kewajiban membayar pajak.
Namun dalam mengenakan wajib pajak, harus memperhatikan bahwa beban masyarakat yang penghasilannnya rendah dan tidak bertambah. Selain itu pada dasarnya, pajak dipungut dari golongan-golongan yang tidak terbebani dengan pungutan tersebut seperti golongan para investor dan pengusaha yang seharusnya memberikan kontribusi kepada negara.
Ulil Amri yang Pertama Menerapkan Pajak
Khalifah Umar bin Khaththab ra. adalah orang yang pertama kali berijtihad dalam mengenakan pungutan dari harta orang-orang selain dari zakat dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan umum, seperti pajak tanah (Kharraj).
Pajak tanah wajib dibayarkan oleh setiap orang yang memiliki tanah wajib pajak yang berkembang, entah itu seorang muslim ataupun kafir, anak kecil atau orang dewasa, berakal atau orang gila, laki-laki ataupun perempuan. Hal itu dikarenakan pajak merupakan beban tanah yang sifatnya berkembang, dan perolehan mereka dari berkembangnya tanah itu dianggap sebanding.
Kewajiban pajak tanah yang dikenakan oleh Umar bin Khaththab ra. adalah untuk kemaslahatan umum yang jelas. Di antaranya adalah:
Kebutuhan untuk menemukan sumber keuangan yang stabil bagi umat Islam lintas generasi dan pendistribusian kekayaan tidak terbatas pada kelompok tertentu, serta pengelolaan tanah dengan pertanian dan tidak menelantarkannya.
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Kewajiban membayar kharraj ada pada masa Umar bin Khaththab ra. Kewajiban tersebut tidak ada dalam era Islam sebelum kekhalifahan Umar. Pajak tanah tidak diwajibkan pada masa Nabi Muhammad saw. dan juga pada masa khalifah Abu Bakar ra. Umar melakukan itu setelah bermusyawarah dengan para pembesar sahabat dari golongan Anshor dan Muhajirin.”
Pajak dalam Pandangan Islam
Islam tidak melarang kewajiban pajak. Syariat Islam menetapkan bahwa dalam harta seorang muslim terdapat hak selain zakat. Hal itu ditunjukkan dalam firman Allah swt:
لَيْسَ البِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ وَلَكِنَّ البِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَالمَلائِكَةِ وَالكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى المَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي القُرْبَى وَاليَتَامَى وَالمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي البَأْسَاءِ وَالضَّرَاءِ وَحِينَ البَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ المُتَّقُونَ
Artinya, “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu adalah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan Nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-peminta, dan untuk memerdekakan budak, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)
Ayat tersebut menggabungkan antara memberikan harta yang dicintai dan menunaikan zakat dengan huruf ‘Athaf yang menuntut adanya pembedaan. Dan ini merupakan landasan bahwa dalam harta terdapat hak selain zakat supaya pembedaan tersebut benar adanya. (Tafsir Al-Fakhr Ar-Razi, 5/216, Dar Ihya` At-Turats Al-‘Arabi, dan halaman selanjutnya)
Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ad-Darimi dalam kitab Sunan-nya, dari Fatimah binti Qais ra, ia berkata: “Nabi saw. pernah ditanya tentang zakat, lalu beliau bersabda:
إِنَّ فِي المَالِ لحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ
Artinya, “Sesungguhnya ada hak yang harus ditunaikan dalam harta, selain zakat.” Kemudian beliau membaca ayat 177 surah Al-Baqarah tersebut.
Al-Qurthubi mengatakan dalam kitab Tafsirnya, 2/242, cetakan Dar Al-Kutub Al-Mishriyah, setelah menyebutkan hadits tersebut, “Hadits ini meskipun ada sedikit kelemahan, namun dapat diperkuat oleh sebuah makna dalam ayat ini, yaitu firman Allah SWT, “yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat,” ayat ini menyebut kewajiban shalat diikuti dengan kewajiban zakat, dan itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan firman-Nya, “memberikan harta yang dicintainya,” bukanlah zakat yang wajib, karena jika termasuk zakat yang wajib, berarti ada pengulangan kata. Wallahu A’lam.”
Makna ini, yakni adanya hak yang harus dikeluarkan dalam harta selain zakat, juga datang dari sejumlah sahabat seperti Umar, Ali, Abu Dzar, Aisyah, Ibnu Umar, Abu Hurairah, Al-Hasan bin Ali, serta dari para Tabi’in seperti Asy-Sya’bi, Mujahid, Thawus, dan Atha`. (Al-Muhalla bil Atsar, karya: Ibnu Hazm, 4/283, Dar Al-Fikr)
Dengan demikian ditetapkan bahwa dalam harta orang muslim yang kaya terdapat hak selain zakat, terlebih lagi mengingat kebutuhan masyarakat akan hal itu. Dan inilah makna yang sebenarnya dari solidaritas dan tanggung jawab sosial.
Solidaritas sosial adalah kewajiban menyeluruh, bukan yang terlintas pada benak sebagian orang saja seperti simpati pada fakir miskin dan golongan yang membutuhkan saja. Namun yang kita inginkan adalah sesuatu yang lebih umum dari itu meliputi hak masyarakat atas individu untuk bekerjasama demi kemaslahatan negara, dan hak masyarakat muslim ataas harta seseorang, karena ia tidak bisa memperoleh harta kecuali dengan partisipasi dari mereka, baik sengaja maupun tidak.
Jika dalam negara Islam, kebutuhan fakir miskin belum tercukupi dari zakat; atau kemaslahatan umum, stabilitas pertahanan dan perekonomian menuntut tersedianya sejumlah harta untuk memenuhi itu semua; atau agama Allah dan dakwah Islam membutuhkan harta, namun sumber daya atau kas negara tidak memiliki cukup dana untuk mewujudkan itu, maka Islam mewajibkan untuk mengambilkan dari harta-harta orang kaya, karena pemenuhan itu menjadi kewajiban pemerintah dan kewajiban tersebut tidak bisa terealisasi kecuali dengan harta, sementara harta tidak ada kecuali dengan pungutan pajak. Sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tidak dapat terlaksana, hukumnya adalah wajib juga.
Demikian pula sesuai kaedah Kulliyyah (universal) yang ditetapkan para ulama, yaitu:
أنه يُتَحَمَّلُ الضرر الخاص لدفع الضرر العام
Artinya, “Dilaksanakannya kemudaratan yang khusus untuk menolak kemudaratan yang umum.” Atau dengan kata lain, kemudaratan yang resikonya lebih rendah dilakukan demi menolak resiko yang lebih besar. (Al-Asybah wa An-Nazha`ir, karya Ibnu Najim Al-Hanafi, hlm. 74-75)
Tidak diragukan lagi bahwa kaedah fikih ini tidak hanya berimplikasi pada diperbolehkannya pajak-pajak saja, namun kewajiban menariknya, demi mewujudkan kemaslahatan umum dan negara, serta menyingkirkan kemafsadahan dan kemudaratan bagi umat dan negara.
Seandainya negara tidak diperkenankan menarik pajak untuk biaya operasional negara, tentu akan menggoncang perekonomian, melemahkan kedaulatan negara.
Memaknai Hadits “Pemungut Pajak Tidak Masuk Surga”
Adapun mengenai adanya riwayat hadits yang mencela pungutan pajak, seperti hadits dari Uqbah bin Amir ra. bahwa Nabi saw. bersabda:
لا يَدْخُلُ الجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ
Artinya, “Tidak akan masuk surga penarik pajak.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, serta Abu Dawud dalam Sunan-nya)
Ini adalah hadits shahih sesuai syarat Imam Muslim, namun beliau tidak menakhrijnya (tidak mencantumkan dalam Shahih Muslim). Jadi dalam riwayat itu, tidak ada ketetapan pasti tentang pelarangan pajak secara mutlak, karena lafal Al-Maks (pajak) tidak hanya terbatas pada satu makna saja secara bahasa maupun syara’.
Riwayat tersebut mengandung makna bahwa penarik pajak di situ adalah para petugas yang berbuat zalim dan melampaui batas dalam melakukan pekerjaannya, yakni memungut harta dari para pemilik harta wajib zakat di luar haknya dan tanpa ridhanya, dan itu dilakukan untuk kepentingan pribadinya, bukan untuk kemaslahatan umat Islam secara umum.
Ada pula makna lain dari Al-Maks ini, yaitu pajak-pajak yang diterapkan sebelum era Islam, yang diambil tidak dengan cara yang benar dan tidak didistribusikan dengan adil. Pajak itu diambil dari seluruh warga tidak peduli kaya atau miskin. Pungutan pajak semacam inilah yang dikecam oleh Rasulullah saw.
Imam Adz-Dzahabi mengatakan dalam kitab Al-Kaba`ir, hlm. 115, Dar An-Nadwah Al-Jadidah, “Para pemungut pajak yang dikenal dengan Al-Makkas, Al-Makis, Shahibul Maks, atau Al-‘Asysyar, adalah para pelaku kezaliman terbesar, karena mereka mengambil harta yang tidak berhak diambil dan memberikannya kepada orang yang tidak berhak menerimanya.”
Adapun pajak-pajak yang ditetapkan untuk menutup anggaran dan kebutuhan negara dari produksi-produksi dan pelayanan, lalu digunakan untuk kemaslahatan umat secara umum baik dalam bidang kemiliteran, ekonomi, kebudayaan, dan lain sebagainya sehingga rakyat menjadi makmur, maka hukumnya wajib. Negara berhak menetapkan kewajiban pajak dan memungutnya dari rakyat sesuai standar kemaslahatan dan kebutuhan.
Sementara bea cukai, itu salah satu bagian dari sistem perpajakan yang dipungut dari komoditas perdagangan yang masuk ke negara umat Islam yang telah ditetapkan oleh negara, kemudian dimasukkan ke dalam kas anggaran negara untuk kemaslahatan umum. Karena unsur inilah, tidak diperbolehkan (haram) menghindari kewajiban pajak, dan juga haram memberikan suap untuk mengurangi beban pajak. Wallahu a’lam.