Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Fatwa

Lembaga Fatwa Mesir Serukan Khitan Perempuan Dihentikan

Avatar photo
20
×

Lembaga Fatwa Mesir Serukan Khitan Perempuan Dihentikan

Share this article

Telah menjadi hal yang
lumrah berlaku di masyarakan muslim, bayi perempuan mereka dikhitan, namun hal
ini hanya merupakan adat, bukan tuntutan syara’. Merespon permasalahan ini,
Darul Ifta Mesir menegaskan bahwa khitan bagi perempuan hukumnya haram secara syara’.

Lembaga
Fatwa Mesir itu 
juga meminta seluruh
elemen dan aparatur negara yang bertanggung jawab untuk menghentikan fenomena
ini karena hal itu bukan termasuk tuntutan agama, namun suatu hal yang menjadi
tradisi ranah medis dan adat masyarakat.

Darul Ifta menyatakan
bahwa keharaman khitan bagi perempuan merupakan pendapat yang benar dan sesuai
dengan Maqashid Syari’ah dan mengandung unsur kemashlahatan
manusia, terlebih lagi kebiasaan ini bertentangan dengan syariat Islam dan
hukum positif.

Dalam
riwayat hadits yang dhaif dari Ummu ‘Athiyah, yang diriwayatkan oleh Abu Dawud
dalam kitab Sunannya, bahwasanya Ummu ‘Athiyah berkata: “Sesungguhnya ada
seorang perempuan di Madinah yang berkhitan, lalu Nabi Muhammad SAW bersabda
kepadanya:

اخفضى ولا تنهكي

“Pendekkanlah dan
Janganlah kamu habiskan semuanya.” 
Yakni jangan dihabiskan klitorisnya.

Lebih
lanjut Darul Ifta mengatakan bahwa riwayat Abu Dawud ini tidak kuat alias
dhaif.

Dalil
terkuat yang digunakan oleh orang yang mensyariatkan khitan bagi perempuan
adalah hadits Nabi SAW:

إذا التقى الختانان وجب
الغسل

Apabila dua kemaluan (yang dikhitan) saling bersentuhan, maka
diwajibkan atas keduanya untuk mandi
.”

Dari
hadits ini, mereka berpendapat bahwa khitan bagi perempuan juga disyariatkan,
sama halnya bagi laki-laki.

Namun pendapat ini
dikritik, bahwa hadits 
tadi sebagai penegasan bahwa Rasulullah SAW menyebut bagian vital
aurat perempuan dengan menggunakan lafal Al-Khitan, sebagai
bentuk adab dan etika, tidak diartikan sebagai disyariatkannya khitan.

Aminul
Fatwa Darul Ifta, Syeikh Muhammad Wisam menyebutkan bahwa dalam Majalah
Al-Azhar yang terbit pada tahun 1951 M, Imam Besar Al-Azhar Syeikh Muhammad
Syaltut dan anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar menyatakan bahwa khitan bagi
perempuan bukan termasuk hal yang disyariatkan, selama tidak ditemukan di
belakangnya tujuan medis atau kerusakan fisik.

Pendapat
ini diperkuat oleh pernyataan dokter spesialis saat itu yang menegaskan bahwa
tidak ada faktor medis yang mengharuskan perempuan dikhitan.

Aminul
Fatwa Darul Ifta mengatakan bahwa tidak ada satupun dokter spesialis yang
mengatakan tentang keharusan khitan bagi perempuan.

Dalam siarang langsung di channel Darul Ifta, beliau menjelaskan
bahwa Nabi Muhammad SAW tidak pernah mengkhitan putri-putri beliau
. Tidak ada satupun hadits yang mengatakan tentang itu, baik itu
hadits shahih, dhaif, maupun yang maudhu’.

Oleh karena itu
memfatwakan haramnya khitan bagi perempuan adalah sebuah keharusan. Khitan bagi
perempuan tidak ada kaitannya dengan 
iffah (pengendalian syahwat), baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.

Beliau melanjutkan,
bahwa tidak dikhitannya perempun justru menambah keharmonisan suami istri
ketika berhubungan badan. 
Hal ini telah diisyaratkan oleh Nabi SAW bahwa bagian kemaluan wanita yang dipotong
dapat mengurangi kenikmatan dalam persetubuhan. Sementara kaitannya dengan
iffahhal itu dicapai melalui pendidikan dari ibu kepada putrinya
tentang penting dan wajibnya menjaga diri dari syahwat hingga dirinya halal
bagi seorang laki-laki.

Senada
dengan fatwa Darul Ifta, Imam Besar Al-Azhar Syeikh Dr. Ahmad Thayyib pernah
menjawab pernyataan wakil umum untuk urusan hukum syariat tentang khitan bagi
perempuan.

Beliau menegaskan
bahwa berdasarkan ketetapan ahli fikih dan dokter yang terpercaya serta yang
berkompeten di bidangnya, Al-Azhar menjelaskan bahwa khitan bagi perempuan
mengandung 
mudarat besar yang dialami oleh perempuan secara umum dan secara
khusus mempengaruhi keharmonisan dalam kehidupan keluarga setelah menikah.

Syeikh
al-Azhar melanjutkan, berdasarkan hal ini dan setelah mempelajari tema khitan
bagi perempuan dari segala aspek, Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyyah menetapkan
berdasarkan kesepakatan anggotanya dalam pertemuan 28 Februari 2008, bahwa
khitan bagi perempuan tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula ditetapkan
kebenarannya baik dalam Al-Qur’an maupun hadits Nabi SAW.

Menurut
beliau, k
hitan bagi perempuan
hanyalah adat kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat karena kesalahan
dalam pemahaman agama. Praktik khitan 
ini mengandung banyak kemudaratan
dan berbahaya bagi kesehatan perempuan itu sendiri, sesuai dengan realita yang
terungkap serta yang meresahkan masyarakat masa-masa sekarang ini.

Sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh pandangan syara’ dan kedokteran bahwa khitan bagi
perempuan termasuk adat yang membahayakan dan tidak berdasar, maka dari itu
mengkhitan perempuan hukumnya haram, dan orang yang mempraktekkannya dengan
dalih perintah syara’, berhak mendapatkan hukuman.

Praktik
K
hitan Perempuan di Negara-negara
Arab

Imam
Besar Al-
Azhar Syeikh Muhammad
Sayyid Thanthawi mengatakan dalam fatwanya:

“Adapun bagi
perempuan, tidak ada 
nash syara’ shahih yang dijadikan hujjah untuk membenarkan khitan perempuan.
S
epengetahuan saya, di Mesir, itu hanyalah adat
kebiasaan yang turun temurun dari generasi ke generasi, dan nyaris terkikis
bahkan hilang di seluruh lapisan masyarakat, khususnya kalangan intelektual
atau terpelajar.

Kami menemukan di mayoritas negara-negara yang berpenduduk
muslim dan memiliki banyak ahli fi
kih, mereka meninggalkan tradisi khitan bagi perempuan, seperti
negara Arab Saudi, dan negara-negara Arab teluk lainnya, begitu juga dengan
negara Yaman, Ira
k, Syiria, Libanon, Yordania, Palestina, Libya, Aljazair,
Maroko, dan Tunisia.”

Kontributor

  • Arif Khoiruddin

    Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.