Beredar di media sosial flyer dari sebuah akun dakwah yang menimbulkan perdebatan. Pasalnya disebutkan bahwa kerja di kantor pajak dan bea cukai adalah haram.
Benarkah Islam mengharamkan orang bekerja di kantor pajak? Jika memang terbukti diharamkan, tentu itu berkonsekuensi pada hukum pajak dan kewajiban membayar pajak.
Pajak adalah pungutan wajib yang biasanya berupa uang sejumlah tertentu dan harus dibayarkan oleh seseorang atau perusahaan kepada negara sehubungan dengan pemilikan, pendapatan, harga beli barang dan lain sebagainya. Sumber dana pemerintah untuk melakukan pembangunan salah satunya dari pajak. Sifat manfaat pajak tidak dirasakan secara langsung oleh wajib pajak.
Mufti Agung Mesir Prof. Dr. Syauqi Allam secara tegas menyampaikan bahwa warga negara tidak boleh lari dari kewajiban membayar pajak dan tidak boleh pula menyogok atau menyuap petugas agar mengurangi jumlah pajak yang harus dibayarkan.
Dikutip dari harian lokal Elwatan, Ketua Sekretariat Jenderal untuk Otoritas Fatwa Dunia itu menyatakan bahwa membayar pajak adalah bentuk ibadah kepada Allah sebagai wujud implementasi kepatuhan kepada pemimpin negara dalam hal kebenaran, kebaikan dan pembangunan.
“Membayar pajak adalah bentuk ketaatan kepada undang-undang yang dirumuskan oleh waliyul amri (pemimpin negara) dan kita diperintahkan untuk menaatinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasulullah,” ujar Syekh Syauqi Allam.
Maksud dari waliyul amri di era sekarang adalah sekumpulan institusi pemerintahan yang bertugas merumuskan undang-undang. Sebuah negara memiliki apa yang disebut dengan anggaran umum yang berisi seluruh pemasukan dan belanja negara. Jika belanja negara lebih besar daripada pemasukan, maka terjadi defisit anggaran yang harus dikompensasi dengan beberapa cara di antaranya dengan pajak.
Syekh Syauqi Allam mengatakan bahwa Islam tidak melarang negara mewajibkan pajak kepada rakyat. Dalam Islam ditetapkan bhwa di dalam harta seorang muslim ada hak di luar zakat. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh firman Allah:
لَيْسَ البِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ وَلَكِنَّ البِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ وَالمَلائِكَةِ وَالكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى المَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي القُرْبَى وَاليَتَامَى وَالمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي البَأْسَاءِ وَالضَّرَاءِ وَحِينَ البَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ المُتَّقُونَ
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Baqarah: 177)
Pada ayat di atas, disebutkan “memberikan harta yang dicintainya” dan “menunaikan zakat” sehingga ini membuktikan bahwa ada hak lain di luar zakat atas setiap harta kekayaan.
Ulama Al-Azhar itu menekankan bahwa dasar dalam penetapan pajak adalah untuk menciptakan pemasukan bagi negara yang digunakan untuk melaksanakan tugas dan memenuhi kewajibannya. Uang yang dikumpulkan dari pajak kemudian dibelanjakan untuk penyediaan fasilitas publik yang sifat kemanfaatannya dirasakan oleh seluruh rakyat.