Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Fatwa

Syekh Ali Jum’ah Terangkan Apakah Meninggal Hari Jumat Pertanda Husnul Khatimah

Avatar photo
21
×

Syekh Ali Jum’ah Terangkan Apakah Meninggal Hari Jumat Pertanda Husnul Khatimah

Share this article

Syekh Ali Jum’ah, mantan mufti Mesir menanggapi pertanyaan mengenai kematian atau meninggal pada hari Jumat, apakah menjadi tanda mendapatkan husnul khatimah?

Syekh Ali Jum’ah pada salah satu majlis pengajiannya, menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW menyukai sikap optimis dalam segala hal. Jika seseorang mengatakan, “Seorang fulan meninggal pada hari Jumat, maka dia termasuk orang baik,” maka janganlah ucapannya itu dibantah.

Dalam laman resmi Facebooknya, anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar itu menyebut ada sebuah hadits yang menerangkan kematian pada hari Jumat, diriwayatkan dari Abdullah bin Amr,

ما من مسلم يموت يوم الجمعة إلا وقاه الله فتنة القبر

“Tidaklah seorang muslim meninggal pada hari Jumat kecuali ia dilindungi oleh Allah dari fitnah kubur.”

Akan tetapi Syekh Ali Jum’ah mengingatkan bahwa hadits ini dikomentari oleh At-Tirmidzi. Dia mengatakan bahwa hadits ini gharib dan mengandung unsur kedhaifan serta keraguan.

Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa Imam Al-Bukhari menulis beberapa kitab yang di dalamnya terdapat bab tentang orang yang meninggal pada hari Senin. “Dengan ini, seolah Al-Bukhari melemahkan hadits yang diriwayatkan At-Tirmidzi tersebut.” ujarnya.

Baca juga:

Syekh Ali Jum’ah menambahkan bahwa pertanyaan-pertanyaan seperti ini muncul seiring dengan kemunculan Nabitah (Khawarij). Sebelum mereka ada, orang yang mengambil hadits dhaif ini tidak menjadi masalah.

Selain itu, ada hal lain yang dikatakan Syekh Ali Jum’ah terkait kegembiraan banyak orang bila meninggal pada hari Jumat. “Jenazahnya boleh jadi akan dishalati banyak orang seusai melaksanakan shalat Jumat.” kata beliau.

Syekh Ali Jum’ah berpesan bahwa mempertanyakan hal-hal semacam ini telah menyibukkan banyak orang namun dengan tujuan mendangkalkan pemikiran mereka. “Pertanyaan seperti itu tidak mengajak kita agar merenungi nash-nash Al-Qur’an dan hadits untuk mengetahui kandungan maksudnya,” tambah beliau.

Orang-orang yang gemar mempertanyakan demikian, mengikuti cara pandangan beragama yang sempit, tidak bermaslahat untuk dunia dan agama. Bila melihat kaum muslimin memegang tasbih, akan disebut bid’ah oleh mereka. Bila ada peringatan hari kelahiran (maulid) Nabi, akan disebut bid’ah pula.

“Ini merupakan cara pandangan beragama yang keliru dan sempit.” pungkas Syekh Ali Jum’ah.

Kontributor