Shalat berjamaah memiliki banyak keutaman dan faidah. Antara lain pahalanya melebihi shalat munfarid (tidak berjamaah) sebanyak 25 atau 25 sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi.
Mendengar keutamaan shalat berjamaah ini sudah cukup mensugesti kita untuk senantiasa melaksanakan shalat jamaah. Namun sayangnya masih banyak kaum muslimin yang tidak melaksanakan shalat jamaah.
Hukum Shalat Berjamaah Menurut Ulama
Para ulama berbeda pendapat menyangkut hukum shalat berjamaah. Penting kiranya mengetahui hukumnya secara komprehensif, agar kita mengerjakannya dengan cara yang benar.
Baca juga: Orang yang Tidak Boleh Mengikuti Shalat Jamaah
Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarh al-Muhadzzab (4/163) menjelaskan mengenai hukum shalat berjamah. Berikut adalah redaksinya:
(فرع) في مذاهب العلماء في حكم الجماعة في الصلوات الخمس قد ذكرنا إن مذهبنا الصحيح أنها فرض كفاية وبه قال طائفة من العلماء. وقال عطاء والأوزاعي وأحمد وأبو ثور وابن المنذر هي فرض علي الأعيان ليست بشرط للصحة، وقال داود هي فرض علي الأعيان وشرط في الصحة وبه قال بعض أصحاب أحمد. وجمهور العلماء على أنها ليست بفرض عين. واختلفوا هل هي فرض كفاية أم سنة وقال القاضي عياض ذهب أكثر العلماء إلى أنها سنة مؤكدة لا فرض كفاية.
Terjemah; Hukum shalat berjamaah menurut pendapat yang shohih dalam mazhab kita (Syafi’i) adalah Fardhu Kifayah (Kewajiban kolektif). Adapun menurut Imam Atha’, Al-Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur dan Ibnu Al-Mundzir, hukum shalat berjamaah adalah fardhu ain, namun shalat itu tetap sah meski tidak berjamaah (hanya saja ia telah berdosa, sebab tidak melaksanakannya secara berjamaah).
Namun menuru Imam Daud Ad-Dzahiri, hukum shalat jamaah adalah fardhu ain dan menjadi syarat sahnya shalat (yakni shalat harus dikerjakan secara berjamaah. Jika tidak, maka shalatnya tidak sah. Sebagian Ashab Imam Ahmad juga berpendapat demikian. Namun mayoritas ulama berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah bukanlah fardhu ain (Kewajiban individual). Ulama juga berbeda pendapat, apakah hukum shalat berjamaah itu fardhu kifayah atau sunnah? Menurut Qadhi iyadh, mayoritas ulama menghukumi sunnah muakkad, bukan fardhu kifayah.
Tidak Selalu Sunnah Muakkad
Kemudian Habib Hasan bin Ahmad al-Kaff dalam Taqrirat as-Sadidah fi al-Masail al-Mufidah (1/290) menjelaskan bahwa hukum shalat berjamaah dengan menimbang macam shalatnya, ada 7 macam.
1. Fardhu ain bagi laki-laki, dalam konteks shalat Jum’at.
2. Fardhu Kifayah bagi laki-laki yang mukim (sebagaimana yang dijelaskan di atas).
3. Sunnah, dalam konteks shalat yang disyariatkan berjamaah semisal Shalat Hari Raya (Idul Fitri & Idul Adha), Istisqa’ (shalat dengan tujuan meminta hujan) dan jamaah bagi perempuan.
4. Mubah, pada konteks shalat yang tidak disyariatkan berjamaah semisal Shalat Dhuha dan shalat sunnah rawatib.
5. Khilaf aula (menyelisihi pendapat terkuat), jika imam shalat qadha dan makmum shalat ada’ (tepat pada waktunya) atau sebaliknya.
6. Makruh, jika imam shalat adalah orang fasik atau ahli bid’ah.
Adapun dalam I’anah at-Thalibin (1/333),dikatakan makruh juga jika imamnya belum sunat, pribadi yang was-was, anak hasil zina, shalatnya cepat (hanya mengerjakan yang wajib saja), memakai kain penutup yang menghalangi hidung dan mulut saat bersujud bagi imam laki-laki.
7. Haram tapi tetap sah shalatnya, pada konteks jamaah yang dilaksanakan di tempat yang dighasab (tidak izin) atau dalam konteks jika jamaah dikhawatirkan akan keluar dari waktunya.
Baca juga: Siapa Lebih Berhak Jadi Imam Shalat, Ahli Fikih atau Hafiz al-Qur’an?
Di samping itu, ada juga haram yang tidak sah. Yaitu ketika shalatnya berbeda, Contohnya seseorang shalat subuh, tapi bermakmum kepada orang yang melaksanakan shalat Kusuf (gerhana).
Demikian pandangan para ulama tentang hukum shalat berjamaah. Semoga kita termotivasi agar semakin giat melaksanakan shalat jamaah.