Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Ibadah

Hukum mendistribusikan daging kurban dalam keadaan matang

Avatar photo
46
×

Hukum mendistribusikan daging kurban dalam keadaan matang

Share this article

Umumnya daging kurban didistribusikan dalam keadaan mentah, lalu bagaimana jika daging kurban didistribusikan dalam keadaan matang.

Ternyata mendistribusikan daging kurban dalam keadaan matang tidak boleh, lain halnya dengan daging akikah yang justru didistribusikan dalam keadaan matang.

Syekh Zainuddin Al-Malibari mengatakan:

ويجب التصدق ولو على فقير واحد بشيء نيئا ولو يسيرا من المتطوع بها والأفضلالتصدق بكله إلا لقما يتبرك بأكلها وأن تكون من الكبد وأن لا يأكل فوق ثلاث والتصدق بجلدها وله إطعام أغنياء لا تمليكهم

Wajib menyedekahkan daging kurban dalam kondisi mentah, meski pada satu orang fakir atau miskin, jika kurbannya bersifat sunnah (bukan nadzar). Hanya saja yang afdal adalah menyedekahkan keseluruhan daging kurban, dengan hanya menyisakan satu suapan untuk dibuat tabarrukan.

Dan yang dimakannya ialah hatinya hewan (sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW), serta suapan tadi tidak melebihi 3 kali.

Lalu yang utama baginya ialah menyedekahkan kulit kurbannya, dan ia boleh membagikan daging kurban kepada orang kaya, namun dalam rangka pemberian, bukan tamlik (pengalihan status kepemilikan, jadi ia tidak boleh menjualnya, ia hanya diperbolehkan memakannya. (Fath al-mu’in bi syarh qurrat al-ain PDF hal. 303)

Dari keterangan tersebut, diwajibkan menyedekahkan daging kurban dalam keadaan mentah.

Apakah ini berimplikasi pada keabsahan kurbannya? Oleh komentator kitab ini dijelaskan;

(وقوله: نيئا) أي ليتصرف فيه المسكين بما شاء من بيع وغيره. فلا يكفي جعله طعاما ودعاء الفقير إليه، لأن حقه في تملكه لا في أكله.

“Tidak cukup (tidak sah) mendistribusikan daging kurban sebagai makanan matang, lalu mengundang orang fakir untuk menyantapnya. Karena haknya orang fakir adalah memilikinya, bukan memakannya (lain halnya dengan orang kaya, di mana ia hanya bisa memakannya, tidak dengan menjualnya). (Syekh Abi Bakar Syatha, I’anah al-thalibin fi hall alfadz fath al-mu’in, PDF Juz 2 hal. 39)

Jadi daging kurban pemberian dari Mudhahhi (orang yang berkurban atau panitia) dibagi menjadi dua, yakni jika yang menerima adalah orang faqir atau miskin, maka dia boleh memakannya dan boleh menjualnya. Namun jika yang menerimanya adalah orang kaya, maka dia boleh memakannya, tapi ia tidak boleh menjualnya. Sebab ini sudah berdasar nash ayat, dijelaskan;

(وَلَا يَجُوزُ تَمْلِيكُ الْأَغْنِيَاءِ) شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ كَمَا فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ وَكَفَّارَةِ الْيَمِينِ؛ وَلِأَنَّ الْآيَةَ دَلَّتْ عَلَى الْإِطْعَامِ لَا عَلَى التَّمْلِيكِ.

“Tidak diperbolehkan tamlik daging kurban kepada orang kaya, sebagaimana dalam konteks zakat fitrah dan kafarat sumpah. Sebab nash ayat hanya mengindikasikan pada kebolehan memberikannya, bukan memilikinya, sehingga ia hanya boleh memakannya, bukan menjualnya.” (Zakariyya Al-Anshari, Asna Al-mathalib fi syarh raud al-thalib PDF Juz 1 hal. 545)

Maka dari itu berikanlah daging kurban dalam keadaan mentah, sebab ini terkait dengan keabsahan kurbannya. Adapun bagi penerima daging kurban, maka ia harus memperhatikan. Jika ia fakir atau miskin, maka ia boleh memakan dan menjualnya. Adapun orang kaya, maka ia hanya sebatas memakannya saja. Jika sudah terlanjur dijual, maka akadnya batal. Ia harus mengembalikan komoditasnya. Wallahu a’lam.

Kontributor

  • Ahmad Hidhir Adib

    Asal dari Pasuruan. Sekarang menempuh studi program Double degree di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada program studi PAI dan Fikih Muqaran dan tinggal Wisma Ma’had Aly UIN Malang.