Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Ibadah

Hukum Perempuan Berjamaah di Masjid

Avatar photo
54
×

Hukum Perempuan Berjamaah di Masjid

Share this article

Shalat jamaah mempunyai keunggulan dalam derajat pahalanya.

Keunggulan shalat jamaah berdasarkan sebuah hadist Nabi Muhammad Saw, yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahihnya:

صلاة الجماعة أفضل من صلاة الفذ بسبع وعشرين درجة، وفي رواية بخمس وعشرين درجة

“Shalat jamaah lebih baik daripada shalat munfarid (sendirian) dengan pahala yang berlipat sebanyak dua puluh tujuh derajat, dan dalam sebuah riwayat dikatakan dengan pahala yang berlipat sebanyak dua puluh lima derajat.”

Al-Allamah Syeikh Abdul Aziz as- Syihawi berkata, bisa dipahami dari riwayat ini bahwa pertama-tama Allah memberi wahyu kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, pahala jamaah sebanyak dua puluh lima, kemudian turun kembali wahyu kepada Sang baginda dengan tambahan pahala yaitu sebanyak dua puluh tujuh derajat. Ataupun pahala tersebut berbeda sesuai keadaan orang yang mendirikan shalat jamaah. 

Pada dasarnya shalat fardhu berjamaah hukumnya adalah fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang dituntut untuk dilakukan tanpa memandang siapa yang melakukannya. 

Ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama berkata sunnah seperti Imam Rafi’i, fardhu kifayah menurut Imam Nawawi, dan fardhu ain menurut Ibnu Munzir. Pendapat yang kuat adalah fardhu kifayah seperti yang diungkapkan oleh Imam Khotib Asy-Syirbini dalam Iqna’. 

Dalam mazhab syafi’i shalat jamaah bisa didirikan paling sedikit dua orang, yaitu imam dan makmum, lain halnya dengan mazhab hanafi yang mengatakan bahwa shalat jamaah terdiri paling sedikit tiga orang (kecuali shalat jumat). Mendirikan shalat fardhu berjamaah di masjid lebih baik daripada di rumah dan semakin banyak anggota jamaah maka hal itu lebih baik. 

Hukum fardhu kifayah ini berlaku bagi: 

1. Laki-laki: maka tidak dihukumi fardhu kifayah bagi perempuan. 

2. Merdeka: tidak dihukumi fardhu kifayah bagi hamba sahaya. 

3. Muqimin: tidak dihukumi fardhu kifayah bagi musafir. 

4. Berpakaian: tidak dihukumi fardhu kifayah bagi orang yang telanjang tanpa pakaian. Menurut Maulana Syeikh Syihawi illat hukum ini adalah melihat aurat sesama. Apabila orang yang telanjang mendirikan jamaah di keadaan yang gelap dan tidak terlihat aurat sesama maka hukumnya adalah sunah. 

5. Shalat fardhu dilakukan dalam waktunya (ada’). Tidak dihukumi fardhu kifayah bagi yang mendirikan shalat fardhu qadha’ dengan jenis yang sama (qadha zuhur dengan qadha dzuhur dan bukan dengan rakaat yang sama dengan zuhur seeprti isya dan asar) secara berjamaah akan tetapi hukumnya sunnah. Adapun shalat fardhu qadha berjamaah dengan shalat ada’ dan begitupun sebaliknya atau shalat qadha berjamaah dengan qadha (dengan dua jenis shalat yang berbeda) maka hukumnya bukanlah sunnah dan bukan makruh akan tetapi hanyalah menyelisihi sunah. 

Dari paparan di atas kita mengetahui bahwa hukum shalat jamaah adalah fardhu kifayah bagi laki laki, merdeka, muqim, berpakaian dan shalat fardhu yang dilakukan di dalam waktunya (ada’). 

Lalu bagaimana hukum jamaah di masjid bagi perempuan?

Maulana Syeikh Abdul Aziz Syihawi dalam salah satu fatwanya mengatakan bahwa sejatinya hukum jamaah bagi wanita di masjid adalah mubah atau boleh. Namun, mendirikan shalat jamaah di rumah bagi wanita lebih baik. Dan bukan hak bagi laki- laki untuk melarang istrinya mendirikan shalat jamaah di masjid, sebagaimana beliau katakan:

ليس من حق الرجل أن يمنع زوجه عن صلاة الجماعة في المسجد، لأن أمر الرسول صلى الله عليه وسلم ثابت

Bukan hak seorang laki- laki untuk melarang istrinya mendirikan shalat jamaah di masjid, karena perintah Rasulullah Saw yang ada tidak berubah yaitu:

عن ابنِ عُمرَ رَضِيَ اللهُ عنهما، قال: قال رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((لا تَمنعوا نِساءَكم المساجدَ، وبيوتُهنَّ 
خيرٌ لهنَّ )).

Dari sahabat abdullah bin Umar ra, dia berkata: Rasulullah saw, bersabda, “Janganlah kalian melarang istri kalian pergi ke masjid. Namun, rumah mereka adalah lebih baik bagi mereka. (HR. Abu Daud)

Kemudian beliau melanjutkan, adapun hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah:

لوْ أنَّ رَسولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ رَأَى ما أحْدَثَ النِّساءُ لَمَنَعَهُنَّ المَسْجِدَ كما مُنِعَتْ نِساءُ بَنِي إسْرائِيلَ. 

“Seandainya Rasulullah Saw melihat apa yang diperbincangkan para wanita, niscaya beiau akan mencegah mereka memasuki masjid sebagaimama wanita Bani Israil dilarang.”

Dua hadits yang kontradiktif. Pembahasan ini masuk ke dalam pembahasan mukhtaliful hadits, dan kita merujuk ke pendapat ulama atas hadits ini bahwa sebab hadits ini adalah ditakutkan akan terjadi fitnah, termasuk di dalamnya wanita muda yang berparas cantik dan bersolek secara berlebihan, maka hukum pergi ke masjid baginya adalah makruh karena ditakutkan terjadi fitnah. 

Bagi wanita yang tidak bersolek berlebihan, sudah sepuh, dan tidak ditakutkan terjadi fitnah maka hukumnya adalah boleh dan tidak makruh untuk shalat jamaah di masjid. Wallahu a’lam bis showab.

Kontributor

  • Ade Rizal Kuncoro

    Dari Madiun Jawa Timur. Alumni PP Hamalatul Qur'an Jogoroto Jombang. Sekarang menjadi mahasiswa Universitas al-Azhar Fakultas Ushuluddin Jurusan Hadits.