Tasmiyah, membaca basmalah merupakan salah satu bacaan pembawa berkah. Hukum membacanya bermacam-macam, tergantung untuk apa ia dibaca. Adakalanya wajib seperti membacanya sebagai bagian dari surat Al-Fatihah di setiap sholat kita. Di samping itu bisa jadi sunnah seperti membacanya di saat berwudhu.
Taqrib adalah salah satu kitab wajib bagi setiap santri dalam mempelajari ilmu fikih. Dalam kitab ini dengan tegas ditulis bahwa termasuk sunnah berwudhu adalah membaca basmalah. Sesuai dengan pengantar yang ditulis oleh mushonnif Al-Qodhi Abu Syuja’ bahwa kitab ini didesain sebagai ringkasan sehingga tidak menampilkan keterangan yang panjang lebar terlebih dalilnya. Tapi jangan salah paham terhadap kitab fikih semacam ini, tidak menulis dalil bukan berarti tidak berdalil. Tidak ada fikih yang lahir tanpa dalil. Penting untuk dicatat.
Mungkin karena adanya pemikiran nakal dan liar seperti ini lantas Syeikh Dr. Mushthofa Dib Bugho menulis kitab Al-Tadzhib yang menjabarkan sebagian dari dalil dari ibarot; teks fikih yang ada di dalam Taqrib. Sebutlah dalil tentang kesunnahan membaca basmalah di dalam wudhu.
Berikut dalil yang ditulis Syeikh Dr. Mushthofa Dib Bugho atas kesunnahan membaca basmalah di dalam berwudhu:
روى النسائي (٦١/١) بإسناد جيد: عن أنس رضي الله عنه قال: طلبَ بعضُ أصحابِ النَّبيِّ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ وَضوءًا فلم يجدوا ماء، فقالَ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ : هل معَ أحدٍ منْكم ماءٌ ؟ فأتي بماء فوَضعَ يدَهُ في الماءِ، ثم قال: توضَّؤوا بسمِ الله أي قائلين ذلك، فرأيتُ الماءَ يفور من بينِ أصابعِهِ، حتَّى تَوضَّأ نحو سبعين رجلا.
Imam Al-Nasa’i meriwayatkan sebuah riwayat dengan sanad yang jayyid bahwa Sayyidina Anas bin Malik berkata: Beberapa sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم mencari air guna berwudhu, namun tidak menemukannya. Lalu Nabi bertanya, “Apakah di antara kalian ada yang memiliki air?” (Setelah itu) beliau diberi air, kemudian beliau meletakkan tangan mulia beliau di dalam wadah air tersebut seraya berkata kepada para sahabat, “Berwudhulah kalian semua dengan membaca Bismillah.”
Sayyiduna Anas berkata: Saya menyaksikan (dengan mata kepala saya) bahwa air itu lantas keluar dari jari jemari mulia Rasulullah, lalu sekitar tujuh puluh (70) sahabat berwudhu (dengan air tersebut).
Dari riwayat yang ditulis dalam Al-Tadzhib ini kita bisa memahami bahwa:
1. Fikih selalu bersandar pada dalil,
2. Sang empu kitab; Mushonnif tidak menuliskan dalil bukan berati tidak ada dalil tapi karena ada pertimbangan lain,
3. Mushonnif adalah sosok yang sangat alim allamah. Walau Al-Quran tidak menyebutkan kata basmalah di dalam ayat wudhu tapi beliau mengetahui adanya hadits yang menerangkannya. Kealiman berikutnya tampak sekali bahwa sekalipun bentuk riwayat hadits menggunakan bentuk kata perintah (amar) tapi tidak serta merta kemudian berarti wajib membaca basmalah di dalam wudhu,
4. Sebagai sosok orang yang awam, janganlah kita mudah suudhon dengan menilai turots; kitab kuning yang tidak menyebutkan dalil lalu kita nilai sebagai kitab yang tidak nyunnah; bid’ah dan lain-lain.
Terakhir, kami ingin menegaskan seperti yang ditulis oleh Syeikh Yusuf Ad Dijw yang kemudian disarikan di dalam bahasa jawa oleh Hadhrotusy Syeikh KH. M. Hasyim Asy’ari dalam Risalah fi Jawazit Taqlid. Syeikh Yusuf berkata:
وما كتب الفروع إلا شرح للكتاب والسنة
Kitab-kitab kuning; turots; fikih itu pastilah merupakan syarah; penjelasan dari al-Kitab dan Sunnah.
Bagi kami, ngaji Taqrib, Fathul Qorib, Hasyiyah Al Bajuri atau yang lainnya sejatinya adalah ngaji Tafsir Ayat dan Hadits Ahkam tanpa menyebutkan ayat dan haditsnya. Wallahu a’lam.