Dalam melaksanakan shalat jamaah, ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Kesemuanya harus dipenuhi secara holistik. Namun tidak semua orang itu bisa jadi makmum, dalam artian ia tidak boleh mengikuti shalat berjamaah.
Kriteria seperti apakah yang menyebabkan seseorang itu tidak bisa menjadi makmum, mari simak redaksi berikut:
فَائِدَةٌ: قَالَ الْإِسْنَوِيُّ: رَجُلٌ يَجُوزُ كَوْنُهُ إمَامًا لَا مَأْمُومًا وَهُوَ الْأَعْمَى الْأَصَمُّ يَكُونُ إمَامًا لِاسْتِقْلَالِهِ بِأَفْعَالِهِ لَا مَأْمُومًا إذْ لَا طَرِيقَ لَهُ إلَى الْعِلْمِ بِانْتِقَالَاتِ الْإِمَامِ إلَّا إنْ كَانَ بِجَنْبِهِ ثِقَةٌ يُعَرِّفُهُ بِهَا اهـ.
Faidah: Imam Al-isnawi berkata, “Orang yang boleh menjadi imam tapi tidak boleh menjadi makmum adalah orang buta yang juga tuli. Ia boleh menjadi imam sebab dia independen atas gerakannya. Lain halnya dengan makmum yang harus terikat dengan gerakan imam (wajib mutaba’ah, yakni mengikuti gerakannya imam). Sedangkan orang yang buta sekaligus tuli itu tidak mengetahui gerak pergerakan Imam. Namun ia diperbolehkan untuk menjadi makmum ketika ia mempunyai informan yang dapat dipercaya, guna memberitahukan gerakan Imam. (Tuhfat Al-Habib Ala Syarh Al-Khatib, biasa dikenal dengan nama Hasyiyah Al-Bujairimi Ala Al-khatib Ala Syarh Al-Khatib, 2/139)
Demikian kriteria orang yang tidak bisa menjadi makmum, jadi ia tidak bisa ikut shalat jamaah. Namun jika ia mempunyai orang yang dipercaya untuk menginformasikan gerakan imam, maka ia diperbolehkan untuk mengikuti shalat berjamaah.
Qadiyyah ini masyhur dalam kajian fikih ibadah, bahkan disebutkan dalam beberapa literatur fikih semisal Kasyifat As-Saja Syarh Safinat An-Naja dan Hasyiyah Syarqawy ala Tuhfat at-Thullab Syarh Tahrir Tanqih al-Lubab. Permasalahan ini biasa dijadikan Alghaz al-Fiqhiyyah atau teka-teki fikih, dengan pertanyaan “seseorang yang bisa jadi imam, tapi tidak bisa menjadi makmum?” Pelopor teka-teki ini adalah Imam Al-Isnawi.