Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Ibadah

Pandangan ulama tentang orang yang tidak shalat bertahun-tahun

Avatar photo
32
×

Pandangan ulama tentang orang yang tidak shalat bertahun-tahun

Share this article

Sebagaimana yang kita ketahui, shalat merupakan tiang agama. Barang siapa meninggalkan shalat, sejatinya ia tengah merobohkan agamanya.

Shalat sendiri memiliki posisi yang sangat sentral, sebab shalat merupakan satu-satunya rukun Islam yang terus menerus dikerjakan. Lain halnya dengan 4 rukun Islam lainnya, di mana hanya dilakukan hanya dalam keadaan tertentu saja.

Membaca syahadat, diperuntukkan bagi mereka yang belum Islam. Lalu Puasa diperuntukkan bagi orang yang mampu secara syara’, untuk berpuasa di bulan Ramadhan. Zakat juga dilakukan sekali setahun saja, dan haji diperuntukkan bagi mereka yang mampu dari segala sisi. Sedang untuk shalat, ini dikerjakan dalam porsi yang lebih banyak dan lebih rutin.

Bahkan karena saking wajibnya shalat, jika ada orang yang tidak mampu shalat dengan berdiri, maka ia diperbolehkan shalat dengan duduk. Jika tidak bisa lagi, ia boleh dengan tidur miring. Jika tidak bisa, dilakukan dengan tidur terlentang. Jika tidak bisa, maka dengan isyarat kepala atau kelopak mata. Bahkan jika ia masih saja tidak mampu, ia wajib shalat dengan isyarat hati. Intinya;

فلا تسقط عنه الصلاة ما دام عقله ثابتا

Tidaklah gugur kewajiban shalat, selagi ia masih berakal. (Syekh Zainuddin Al-Malibari, Fath al-Muin bi syarh qurrat al-ain, PDF Hal. 98)

Ini menurut pandangan mazhab Syafi’i. Adapun menurut Imam Abi Hanifah dan Imam Malik, jika ada orang yang sudah tidak bisa shalat dengan isyarat kepala, niscaya kewajiban shalat sudah gugur baginya. (Syekh Abi Bakar Syatha’ Al-Dimyathi, I’anah al-thalibin fi hall alfadz fath al-muin, PDF Juz 1 Hal. 161)

Demikian karena saking wajibnya shalat, bahkan dalam titik terakhir pun ia masih wajib shalat. Lalu bagaimana jika ada orang yang sudah bertahun-tahun tidak shalat karena malas? Ia tetap wajib mengqadanya, sejumlah dengan shalat yang ditinggalkannya. Imam al-Nawawi mengatakan;

أَجْمَعَ الَّذِيْنَ يُعْتَدُّ بِهِمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاَةً عَمْدًا لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا

Para ulama yang berkompeten telah konsensus, bahwa sesiapa meninggalkan shalat secara sengaja, maka ia harus mengqadhanya atau menggantinya. (Imam An-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab, PDF Juz 3 hal. 71)

Lalu bagaimana jika karena saking banyaknya shalat yang ditinggalkan, ia lupa tepatnya berapa kali shalat yang belum ia kerjakan. Bagaimana solusi atas permasalahan ini? Dijelaskan oleh Syekh Abdurrahman Al-Jaziri dalam redaksi berikut;

من عليه فوائت لا يدري عددها يجب عليه أن يقضي حتى يتيقن براءة ذمته، عند الشافعية، والحنابلة؛ وقال المالكية، والحنفية: يكفي أن يغلب على ظنه براءة ذمته

Seseorang yang mempunyai tanggungan salat dan dia tidak tahu jumlahnya, dia wajib mengqadha hingga yakin tanggungannya sudah terpenuhi, ini menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan menurut mazhab Maliki dan Hanafi cukup dengan adanya dugaan kuat, meski tidak sampai taraf yakin”. (Al-Jaziri, Al-Fikih ala mazhab al-arba’ah, PDF Juz 1 Hal. 450)

Dengan demikian, ia wajib mengqada shalat yang ditinggalkan, sesuai dengan arahan dari 4 mazhab tadi.

Namun ada catatan penting untuknya, jika ia meninggalkan shalat karena malas, maka ia wajib mengqadhanya dengan segera. Ia tidak boleh menyibukkan dir dengan melakukan aktifitas shalat sunnah atau lainnya.

Ketika ia meninggalkannya karena udzur semisal sebab tidur atau lupa, maka ia sunnah untuk mengqadhanya dengan segera.

Kemudian sunnah baginya untuk merunut pengerjaan qadha shalat wajib yang ditinggal dengan adanya udzur, namun wajib baginya untuk merunut pengerjaan shalat qadha yang ditinggalkan tanpa adanya udzur.

Selain itu, ia wajib mendahukukan qadha shalat yang ditinggalkan dengan tanpa adanya udzur. Bahkan ia wajib mendahulukannya,dari pada shalat hadirah (yang akan dikerjakan di suatu waktu), kecuali ia takut akan keluarnya waktu shalat hadirah tersebut. (Taqrirat al-sadidah, PDF Juz 1 Hal. 198)

Mungkin terlihat menyulitkan diri, sebab boleh jadi ia juga harus bekerja untuk menafkahi dan lainnya. Mungkin ini bisa jadi solusi baginya.

Ada pendapat dari Al-Imam Abdullah Al-Haddad yang bisa dijadikan solusi, namun ia tetap harus berkomitmen untuk menyelesaikan qadhanya. Sebagaimana dikutip dalam Bughyah al-Musytarsyidin:

ومن كلام الحبيب القطب عبد الله الحداد : ويلزم التائب أن يقضي ما فرط فيه من الواجبات كالصلاة والصوم والزكاة لا بد له منه ، ويكون على التراخي والاستطاعة من غير تضييق ولا تساهل فإن الدين متين وقد قال : “بعثت بالحنيفية السمحاء“. وقال : “يسروا ولا تعسروااهـ وهذا كما ترى أولى مما قاله الفقهاء من وجوب صرف جميع وقته للقضاء ، ما عدا ما يحتاجه له ولممونه لما في ذلك من الحرج الشديد

“Sebagian dawuh Al-Habib Abdullah Al-haddad: seseorang yang tobat wajib mengqadha kewajiban shalat, puasa, zakat yang pernah ia tinggalkan. Kewajiban ini dilakukan semampunya. sehingga ia tidak merasa sulit dan keberatan, namun juga tidak boleh sampai  menganggap sepele, sesungguhnya agama Islam telah kuat. Nabi bersabda, “Aku diutus dengan membawa agama yang dicondongi, yang murah” “permudahlah, jangan mempersulit. Pendapat ini -seperti yang anda lihat- lebih utama dari pendapat ulama yang mengatakan tidak boleh melakukan apapun selain menqadha shalat, ia hanya diperbolehkan melakukan aktifitas lain untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarganya. Karena sulit diamalkan”. (Abdurrahman Ba’alawi, Bughyat al-mustarsyidin, PDF Hal. 58)

Dengan demikian, ia masih bisa memenuhi segala kewajibannya. Yakni kewajiban mengqadha dan kewajiban bekerja atau belajar. Namun jika ia didahului oleh ajal, sedang masih banyak tanggungannya, maka amalan Imam Tajuddin al-Subki ini boleh dicoba. Dalam Fathul Mu’in, Zainuddin Al-Malibari mengatakan:

من مات وعليه صلاة فرض لم تقض ولم تفد عنه، وفي قول: إنها تفعل عنه، أوصى بها أم لا، حكاه العبادي عن الشافعي لخبر فيه، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه

Orang yang sudah meninggal dan memiliki tanggungan shalat wajib tidak diwajibkan qadha dan tidak pula bayar fidyah. Menurut satu pendapat, dianjurkan qadha, baik diwasiatkan maupun tidak, sebagaimana yang dikisahkan Al-‘Abadi dari As-Syafi’i karena ada hadis mengenai persoalan ini. Bahkan, As-Subki melakukan (qadha shalat) untuk sebagian sanak-familinya.” (Fath al-Muin, PDF Hal. 37)

Syarih kitab ini, Syekh Abi Bakar Syatha menjelaskan bahwa menurut salah satu wajah (pendapat) di mana mayoritas ashab menyetujuinya, ahli waris tidak mengqadha shalatnya, namun mereka menyedekahkan satu mud untuk satu kali shalat yang ditinggalkan.

Menurut mazhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah, hal semacam ini, baik sifatnya sunnah maupun wajib, ini akan sampai pahalanya pada mayyit. (I’anah al-thalibin, PDF Juz 1 Hal. 33)

Demikianlah penjelasan mengenai pandangan ulama tentang orang yang tidak shalat bertahun-tahun. Semoga mereka diberi ketabahan dan kekuatan untuk mengqadhanya. Apalagi Rasulullah saw telah memberikan bocoran bahwa shalat merupakan amalan yang pertama kali akan dihisab kelak, maka dari itu perbaiki shalatmu. Robbi ij’alna muqimi al-shalat.

Kontributor

  • Ahmad Hidhir Adib

    Asal dari Pasuruan. Sekarang menempuh studi program Double degree di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada program studi PAI dan Fikih Muqaran dan tinggal Wisma Ma’had Aly UIN Malang.