Artikel

12 Dalil Anjuran Merayakan Maulid Nabi

30 Oct 2020 01:07 WIB
2396
.
12 Dalil Anjuran Merayakan Maulid Nabi

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW selalu menjadi polemik tiada henti yang terus dibicarakan umat Islam di dunia khususnya di Indonesia.

Tanpa berlarut dalam perdebatan tak berguna itu, kami perlu menyuguhkan 12 dalil diperbolehkannya perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW untuk menjawab pertanyaan tentang dalil merayakan hari kelahiran Baginda Rasulullah.

Pertama: Perayaan Maulid sebagai Bukti Cinta dan Bahagia

Merayakan hari kelahiran Nabi dengan memperingatinya adalah bukti cinta, bahagia, dan senang atas diutusnya Nabi penyebar kasih sayang, Nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan dalam kitab Sahih Bukhari bahwa Abu Lahab, paman nabi yang sangat memusuhi dan memerangi nabi, diberikan keringanan azab di setiap hari senin. Apa sebabnya? Karena pada saat kelahiran Baginda Rasulullah SAW, Abu Lahab merasa senang dan bahagia.

Jika Abu Lahab yang kafir, merasa senang dan bahagia dengan kelahiran Rasul, lantas bagaimana sepatutnya yang harus dirasakan oleh seseorang yang sepanjang hidupnya adalah seorang muslim?

Kedua: Nabi Muhammad Selalu Mengagungkan Hari Kelahirannya

Beliau menumpahkan rasa syukurnya dengan berpuasa. Diriwayatkan dari Abu Qatadah, bahwa Baginda Rasul pernah ditanyakan tentang puasa pada hari Senin. Lalu beliau menjawab, “Pada hari itu, aku dilahirkan dan aku diturunkan.”

Ketiga: Bahagia dan Cinta Kepada Rasul adalah Perintah Al-Qur’an

Rasa bahagia, senang, dan cinta kepada Rasul adalah anjuran yang diperintahkan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,

قل بفضل الله و برحمته فبذلك فليفرحوا

“Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.” (QS. Yunus [10]: 58)

Baca juga: Ulama Arab Saudi: Menghina Nabi Bantu Ekstremis Sebarkan Kebencian

Dituliskan dalam kitab Ad-Durr Al-Manstur karya Imam As-Suyuthi, Ibnu Abbas menjelaskan bahwa “fadhlullah” dalam ayat tersebut adalah ilmu sedangkan “rahmat-Nya” adalah Nabi Muhammad SAW. Hal ini senada dengan firman Allah yang berbunyi:

و ما أرسلناك إلارحمة للعالمين

"Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya` [20]: 107)

Keempat: Perintah Bersyukur dengan Tepat

Allah SWT berkali-kali memerintahkan kepada manusia dalam ayat-ayat-Nya untuk bersyukur dan mengingatnya dengan cara dan waktu yang tepat. Salah satu contoh yang dilakukan oleh Baginda Rasul adalah, bahwa beliau berpuasa Asyura pada tanggal 10 Muharam dengan sebab bahwa pada hari tersebut diselamatkannya Nabi Musa dari kejaran Fir’aun.

Dengan merayakan sebuah nikmat, itu akan lebih mendekatkan diri manusia dengan rasa syukur. Dan apa nikmat terbesar bagi seorang muslim di akhir zaman selain diutusnya Baginda Rasul kepada mereka?

Kelima: Meneladani Perilaku Nabi

Ketika Baginda Rasul menghidupkan hari Asyura dengan berpuasa karena diselamatkannya Nabi Musa, maka itu menjadi bukti diperbolehkannya merayakan sebuah kebaikan dan nikmat yang Allah berikan kepada makhluk-Nya.

Keenam: Nabi Melakukan Aqiqah

Ada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi, dari Anas bin Malik bahwa Baginda Rasulullah SAW mengaqiqah dirinya sendiri setelah terjadinya bi’stah (diutus menjadi rasul). Hal itu membuktikan bahwa beliau merayakan kelahirannya serta memperlihatkan rasa syukurnya. Maka sebab itu disunnahkan bagi kita merayakan kelahiran Baginda Rasul dengan saling berbagi satu dengan yang lainnya.

Ketujuh: Mencontoh Hari Jumat

Banyak sekali hadist dan riwayat tentang keutamaan hari Jumat, salah satunya adalah: bahwa pada hari Jumat itu diciptakannya Nabi Adam.

Jika hari Jumat memiliki banyak keutamaan yang salah satu sebabnya karena kelahiran Nabi Adam, lantas bagaimana dengan hari dilahirkannya manusia paling agung, sang Kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW?

Kedelapan: Mendorong Memperbanyak Shalawat

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW mendorong seorang muslim untuk memperbanyak shalawat kepadanya. Perintah memperbanyak shalawat kepada Baginda Nabi diterangkan dengan jelas dalam Al-Qur’an pada surat Al-Ahzab ayat 56.

Baca juga: Syarah Kasidah Pujian “Kanjeng Nabi Muhammad”

Hal ini berkaitan dengan kaidah fikih yang berbunyi:

 الباعث على المطلوب شرعا مطلوب شرعا

“Sesuatu yang mendorong atau mendukung dalam pelaksanaan sebuah perintah syara’ maka diperintahkan dalam syara’.”

Kesembilan: Maulid Sebagai Wasilah

Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah wasilah mengingat, membaca, merenungkan, dan menghayati kehidupan mulia beliau. Bukankah kita diperintahkan mengikuti jejak beliau? Bukankah dengan membaca sirah dan syamail Baginda Rasul, kita jadi tahu jejak kehidupan beliau? Maulid Nabi adalah bagian dari proses pembelajaran mengenal sosok teragung dalam sejarah umat manusia.

Kesepuluh: Berkaca pada Sejarah

Diriwayatkan bahwa para penyair zaman dulu, senang sekali datang kepada Baginda Rasul lalu membacakan syair-syair pujian untuk beliau. Tak jarang Rasulullah pun memberikan hadiah bagi seseorang yang mensenandungkan syair yang indah. Salah satunya adalah Ka’ab Ibn Zuhair. Nabi memberikan pakaian beliau kepadanya, sebab Ka’ab memujinya dengan qasidah syair yang antara lain berbunyi:

 إن الرسول لنور يستضاء به # مهند من سيوف الله مسلول

Sesungguhnya Baginda Rasul adalah cahaya yang terang bederang
Beliau pedang Allah yang terhunus dengan tajam

jika dengan seutas syair yang dibacakan kepadanya, Baginda Rasul ridha dan senang, apalagi dengan sirah dan syamail yang dikumpulkan dengan bait-bait indah mengenang kehidupan beliau?

Kesebelas: Cara Meneguhkan Keimanan

Perayaan Maulid Nabi adalah salah jalan menguatkan dan meneguhkan keimanan kepada Allah dan kecintaan kepada Baginda Rasul. Karena jika tidak, hati kita akan lalai. Bukankah hati itu cepat berubah-ubah? Allah berfirman:

 و كلا نقص عليك من أنباء الرسل ما نثبت به فؤادك

"Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu." (QS. Hud [10]: 120)

Kedua Belas: Tak Ada Dalil Sharih yang Melarang

Poin terakhir yang menjadi dalil diperbolehkannya perayaan Maulid Nabi adalah bahwa tidak ada dalil sharih yang mengharamkannya. Sebuah kaidah berbunyi:

 الأصل الإباحة إن لم يدل الدليل على غيرها

“Asal dari sesuatu yang diperbolehkan adalah jika tidak ada dalil yang menunjukan hal tersebut kepada sesuatu yang lain (halal atau haram).”

Diriwayatkan dalam Sunan Abi Daud, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مَا أَحَلَّ فَهُوَ حَلَالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ وَتَلَا { قُلْ لَا أَجِدُ فِيمَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا } إِلَى آخِرِ الْآيَةِ

“Maka apa yang Allah halalkan adalah halal, apa yang Allah haramkan adalah haram, dan apa yang Allah diamkan, maka hukumnya dimaafkan. Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat: '(Katakanlah: Aku tidak mendapatkan dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan…)' (QS. Al-An'am [6]: 145) hingga akhir ayat.”

Sekian belasan dalil yang mampu penulis kumpulkan. Tidak bermaksud membatasi, karena tentu masih banyak dalil-dalil yang lain. Dan rasanya jika belum cinta, tak cukup 12 bukti untuk sebuah mengungkapkan sebuah rasa. Tapi jika sudah cinta, tak perlu dalil dan bukti, karena cinta adalah buktinya.

Dengan semua dalil di atas, minimal kita tidak lagi mempertanyakan Maulid Nabi boleh atau tidak, tapi menjadi anjuran bagi setiap muslim untuk merayakannya. Bahkan bukan hanya di bulan Maulid ini, tapi juga setiap bulan, setiap minggu, setiap hari, setiap jam, atau setiap hembusan nafas kita dengan cara bershalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Wallahua’lam bis shawab.

Khoirul Ibad
Khoirul Ibad / 4 Artikel

Alumni Pesantren Modern Daarul Uluum Lido 2017 dan Institute Imam Malik, Tetouan-Maroko 2021, belajar sambil mengajar di Pesantren Tahfizh Dulido. 

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: